Opini | DETaK
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) berlakukan kebijakan mengenai kewajiban mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bagi mahasiswa baru semester ini. Tak tanggung-tanggung, Wakil Rektor III, Alfiansyah Yuliannur, menyatakan minimal 2 UKM yang harus diikuti, yang terdiri dari satu UKM Olahraga dan satu UKM lainnya.
Ia mengatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan agar para lulusan Unsyiah dapat berhasil di dunia kerja dan dapat membuka kewirausahaan sendiri, serta agar mahasiswa rajin berolahraga sehingga mahasiswa selalu sehat dan prima.
Terkait dengan kebijakan wajib UKM tersebut, tujuannya positif, di mana pihak universitas melatih dan membiasakan para mahasiswanya untuk bergabung dengan UKM agar mendorong perkembangan dirinya. Namun, hal ini terlalu memaksakan para mahasiswa untuk membuatnya menjadi terikat dengan sebuah UKM.
Telah kita ketahui bersama bahwasanya mahasiswa adalah tingkatan pelajar yang paling tinggi, yang mana diharapkan mahasiswa sudah mampu untuk menentukan jalur yang ia anggap sesuai dengan kemampuan dirinya. Ketika kebijakan seperti ini diberlakukan, maka sudah tidak ada lagi kebebasan bagi mahasiswa untuk menentukan pilihan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ditambah lagi dengan wajibnya UKM olahraga, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua mahasiswa memiliki keterampilan dan kesukaan di bidang olahraga.
Pertanyaan besar apa yang menjadi perihal sehingga kebijakan wajib UKM ini dipisah menjadi 2, UKM olahraga dan UKM lainnya. Jika alasan untuk menjadi sehat dan prima, tanpa mengikuti UKM pun mahasiswa bisa berolahraga sendiri. Seandainya pun bergabung di salah satu UKM olahraga, tidak menjamin mahasiswa akan sering berolahraga karena bisa jadi alasan bergabungnya hanya demi ‘SKPI’.
Mungkin saja, kebijakan ini dibuat dikarenakan jumlah UKM Olahraga yang mendominasi di Unsyiah, namun tak sebanding dengan minat mahasiswa untuk mengikuti UKM tersebut. Lebih anehnya lagi, kebijakan tersebut tidak didahulukan dengan pembuatan dasar hukum.
Untuk memastikan jalannya fungsi dan tujuan suatu UKM, tentu tak lepas dari kerja keras struktur organisasi di dalamnya. Tak pernah dibayangkan oleh pembuat kebijakan betapa sulitnya membagi waktu antara kegiatan akademik dan non akademik, yang mana untuk mengemban tanggung jawab pengurus suatu UKM tentu bukan hal yang mudah dan sederhana.
Di samping mengurus UKM yang menyita waktu, ada kegiatan akademik yang sangat menguras pikiran dan tenaga. Pihak pembuat kebijakan tidak memikirkan risiko bagaimana jika mahasiswa mengalami penurunan nilai akademik, yang berakibat pada lama studinya di kampus dan harus menanggung beban biaya kuliah lebih lama.
Daripada mewajibkan mahasiswa untuk ikut UKM, lebih baik rektorat membuat program pengenalan UKM ke setiap fakultas, sehingga UKM bisa lebih gencar menarik minat mahasiswa dan dapat lebih tersosialisasi secara merata. Tidak perlu membuat kebijakan yang tidak manusiawi, memaksakan kehendak, dan ‘membocahkan’ mahasiswa yang notabene dianggap memiliki intelektualitas yang tinggi. []
Penulis: Herry A.