Febby Andriyani | DETaK
Darussalam- Pengumuman kelulusan anggota Komisi Pemilihan Raya (KPR) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang dipublikasikan di akun Instagram Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Unsyiah pada Senin 11 November 2019, menimbulkan polemik di kalangan mahasiswa terkait sistem rekrutmennya. Pasalnya dalam kriteria kelulusan Panitia khusus (Pansus) mempublikasikan komposisi nilai berkas sebanyak 20%, tes baca Alquran 30%, sedangkan tes wawancara memiliki bobot 50%.
Terkait hal ini, Ketua Pansus KPR terpilih, Zulfahmi Alfarisy menerangkan alasan mengapa tim penyeleksi menaruh bobot nilai wawancara lebih besar dari bobot nilai lainnya. Mereka beralasan sesi wawancara membuat tim penyeleksi dapat melihat secara psikologis apakah si pendaftar berbohong atau berkata jujur.
“KPR ingin merubah sistem politik Unsyiah. Pemilihan Raya (Pemira) ini dianggap hal yang sangat sensitif. Tes baca Alquran dalam konsep keimanan bukan berarti ia akan benar dalam perilaku, karena semua kembali lagi ke hati nurani dan keimanan kita,” ujar Zulfahmi saat ditemui oleh tim detak-unsyiah pada Rabu, 14 November 2019.
Beberapa Fakultas seperti Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Fakultas Keperawatan (FKEP), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), dan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) tidak masuk dalam daftar nama kelulusaan anggota KPR. Menurut Zulfahmi yang dilihat dari proses seleksi rekrutmen anggota KPR adalah kualitas orangnya bukan dari Fakultas mana ia berasal.
“Anggota KPR harus netral, karena ketika mereka dititipkan dari fakultas untuk menjadi anggota akan timbul rasa kurang percaya akan independensi. Hal-hal seperti ini perlu dikaji untuk meminimalisir adanya kecurangan-kecurangan,” jelasnya.
Transparansi hasil nilai pada proses penentuan kelulusan juga menjadi tanda tanya terbesar di kalangan sebagian mahasiswa, sebab tidak seluruhnya hasil penilaian pendaftar dipublikasikan, hanya ke-33 anggota yang lulus saja.
Terlebih lagi separuh dari jumlah mahasiswi yang mendaftar tidak berhasil lulus menjadi anggota KPR sebab mereka tidak mendapatakan nilai yang cukup pada tes baca Alquran. Hal ini menjadi alasan panitia penyeleksi untuk tidak mempublikasikan nilai mereka yang tidak lulus, karena mereka khawatir pihak rektorat akan merasa malu terhadap hasil program UP3AI yang tampaknya tidak menimbulkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat terlihat dari hasil tes baca Alquran dari beberapa mahasiswi tersebut.
“Saat tes baca Alquran, 50% mahasiswi tidak lewat dalam tes ini tentu hal ini sangat memprihatinkan. Dan jika dipublikasikan, kita sebagai mahasiswa maupun rektorat Unsyiah akan malu sebagaimana telah diprogramkannya UP3AI di Unsyiah namun kualitas baca Alquran mahasiswanya tidak memadai,” ujar Zulfahmi.
Sebelumnya, Zulfahmi juga sempat mengundang mahasiswa yang turut berkomentar di kolom lini masa Instagram MPM untuk datang dan berdiskusi terkait polemik ini di kesekretariatan MPM. “Katanya mereka bermaksud menjelaskan mengenai kebenaran hasil penilaian, namun tidak ada yang datang,” sambungnya.
“Jangan pernah menanamkan kebencian kepada orang lain. Kami ingin menghilangkan politik kampus mengenai gap-gap antara ‘kantin dan musolla’ di Unsyiah sekarang. Sebenarnya kita tidak sadar telah ditanamkan kebencian-kebencian itu dan kita merasa benar akan hal itu. Makanya jika berbicara kebenaran jangan membawa ego,” tutupnya. [*]
Editor: Sri Elmanita S.