Sesuap Nasi Dari Setumpuk Sampah
Rabu 22 Desember 2009. Seorang lelaki tua dengan rambut yang memutih, duduk di kursi kayu usang. Matanya terus menatap sandal rusak yang tengah dijahitnya sambil sesekali mengoleskan lem, untuk mengeratkan bagian sandal yang terlepas.
“Sandal ini saya dapat saat memungut sampah dijalanan,” kata lelaki tua itu, datar.
Syama’un alias Pu’ak, demikian ia biasa si panggil, adalah seorang kakek tua berusia 85 tahun. Pemulung adalah pekerjaannya sehari-hari.
Bersama sang istri, Pu’ak menempati sebuah gubuk kecil berukuran 5 x 4 meter. Didalamnya, terdapat dua ruangan yang dipisahkan oleh sebuah dinding kayu. Ruang depan yang seharusnya menjadi ruang tamu terisi oleh berbagai jenis benda yang tak teratur letaknya. Beberapa tas,sepatu, dan barang-barang bekas lainnya menghiasi ruangan itu. Dibagian belakang, digunakan sebagai dapur sekaligus tempat tidur mereka berdua.
Di dinding gubuk itu, baju-baju bergantungan pada beberapa paku yang sengaja ditancapkan. Sebuah jam yang terus berdetak melekat erat disana di samping sebuah poster artis terkenal. Dibawahnya, sebuah tape rocerder kecil, mengeluarkan senandung lagu sendu. Menurut Syamsiah, istri Pu’ak, tape recorder itulah yang mampu menemani sepi mereka berdua. ““Rumah ini pemberian masyarakat disini,” ungkap Pu’ak, sambil mengamati sandal yang tengah diperbaikinya.
Halaman depan rumah di Jalan Lingkar Kampus Gampong Rukoh Banda Aceh itu juga terlihat tidak terawat. Sebuah keranjang yang terisi penuh boto-botol minuman kosong, setumpuk karton bekas yang disusun di pojok halaman rumah itu .
“Saya juga ikut mengumpulkan barang-barang bekas itu. Setiap harinya kami bisa mendapatkan uang sekitar Rp 15.000. Dari uang itulah kami bertahan hidup. Pekerjaan ini memang cukup melelahkan, apalagi jika cuacanya panas, mengorek-orek sampah di bawah terik matahari cukup menyiksa , tapi inilah resiko pekerjaan kami,” ucap Syamsiah, perempuan tua berusia sekitar 50 tahun yang baru delapan bulan lalu dinikahi Pu’ak.
Syamsiah adalah istri kedua Syami’un setelah istri pertamanya meninggal terbawa tsunami 2004 silam. Bagi Pu’ak, Syamsiah adalah istri yang setia. Karena, Syamsiah juga turut serta membantu suaminya mengumpulkan barang –barang bekas dijalanan.
“Setelah operasi usus buntu delapan bulan yang lalu, saya menikahinya. Karena saya membutuhkan orang yang bisa menjaga dan merawat saya,“ ungkap Pu’ak seraya menunjukkan bekas luka jahitan di perutnya.
Semenjak operasi itulah, Pu’ak tidak dapat melakukan pekerjaan berat lagi. Apalagi usianya yang sudah renta, pekerjaan berat sudah tidak mungkin lagi dilakukannya. Menjadi pemulung adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya.
Karena usia yang sudah renta itu, Pu’ak hanya bisa mengumpulkan barang-barang bekas di seputaran kampus IAIN dan disekitaran gampong. Hal ini dilakukannya karena Pu’ak tidk mampu berjalan jauh. “Saya bekerja dari jam enam pagi hingga jam empat sore. Hasilnya pun tidak seberapa dan tidak menentu, paling banyak 15 kg sehari, harga botol plastik aqua ini Rp.1500 per kg, sedangkan karton-karton bekas Rp 350 per kg. Saya juga terkadang menemukan barang-barang lain seperti sandal ini, saya perbaiki dan kemudian saya jual, harganya bisa mencapai Rp 5000 sepasang.” Jelasnya.
Dengan pendapatn sebesar itu, sangat sulit bagi Pu’ak dan istrinya menabung. Harga kebutuhan pokok saat ini sudah diluar batas jangkauan mereka berdua. “Untung kami diizinkan tinggal di rumah ini oleh penduduk gampong tanpa membayar sepeser pun. Jika harus bayar bisa-bisa kami tidak makan karena uang yang kami peroleh hanya cukup untuk makan,” ujar Syamsiah menyambung ucapan Pu’ak.
Saat disinggung tentang anak, ternyata, Pu’ak masih memiliki seorang anak dari istri pertamanya. Sang anak, kini berada di Lhoksemawe dan bekerja sebagai pembuat pintu rumah. Namun, hubungan anatar ayah dan anak, seperti tlah terputus. “Anak saya tidak pernah mengirim uang, bahkan dia tidak tahu bahwa ayahnya kini adalah seorang pemulung, ungkap Pu’ak dengan nada sedih.
Hidup dalam himpitan ekonomi, bukan berarti Pu’ak tidak ingin membahagiakan sang istri. Hal ini dapat dilihat dari seuntai emas yang melekat dileher Syamsiah. Sebagaimana pengakuan Pu’ak, emas itu dibelinya dari uang hasil penjualan barang bekas yang ditabungnya.
”Walaupun saya seorang pemulung, saya ingin membahagiakan istri saya. dialah satu-satunya orang yang masih peduli dan setia mendampingi saya,” ujar lelaki yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan ini sambil tersenyum menatap istrinya.
Selain itu, Pu’ak juga memiliki impian pada pekerjaannya ini. Ia berharap, harga barang-barang bekas yang dikumpulkannya naik. Tidak hanya harga sembako dan kebutuhan hidup lainnya yang selalu naik. “Paling tidak Rp 3000 per kg, jadi penghasilan saya bertambah. Jika harga barang bekas naik, saya bisa nabung untuk persiapan jika suatu saat nanti saya tidak mampu bekerja lagi,” ujar Pu’ak sambil tertawa memamerkan gigi ompongnya.
Kondisi Pu’ak dan istrinya ini, ternyata menjadi perhatian beberapa tetangganya. Salah satunya Nana. Ibu dua anak yang tinggal tidak jauh dari rumah pemulung itu mengaku prihatin. Nana kerap berkunjung kerumah Pu’ak untuk memberikan sedikit makanan. Dia berharap, suatu saat nanti, akan ada orang yang berbaik hati mau menolong Pu’ak. Karena, pasutri renta itu, seharusnya sudah menikmati masa-masa istirahat bersama anak cucunya.
“Seharusnya pemerintah juga memperhatikan nasib Pu’ak dan Syamsiah. Bukankah dalam undang-undang Indonesia, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara?” Tanya Nana, prihatin.
Apa yang dikatakan Nana bisa jadi benar. Pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh, seharusnya lebih peduli pada nasib rakyat kecil seperti Pu’ak. Apalagi, banyakanya dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Aceh yang sangat tinggi, seharusnya mampu dinikmati oleh Pu’ak.
Namun begitu, apapun yang terjadi, kita harus tetap bersyukur atas segala nikmat yang kita miliki. Kita tidak boleh menyerah pada kerasnya hidup apalagi sampai putus asa, harus tetap berjuang seperti syami’un dan istrinya yang hidup dari sampah yang terkadang kita anggap tak berguna. Hidup adalah belajar, dan belajar berarti hidup karena makna hidup adalah hidup penuh makna.
Oleh: RINI SUSANTI
Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=22