Beranda Artikel Oversharing di Media Sosial: Tinjauan Literatur Psikologi

Oversharing di Media Sosial: Tinjauan Literatur Psikologi

Ilustrasi (Sumber: Google)
loading...

Artikel | DETaK

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara interaksi antarindividu. Internet menjadi ruang digital baru yang memberikan banyak kemudahan bagi penggunanya. Berbagai informasi dan hiburan dari berbagai penjuru dunia dapat diakses melalui internet. Laporan yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta pengguna dari total jumlah penduduk Indonesia 274,9 juta jiwa. Pengguna internet di Indonesia berusia 16 hingga 64 tahun dan smartphone menjadi perangkat yang paling populer.

Media sosial menjadi konten internet yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia. Sebanyak 170 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial yang rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di media sosial. Dilansir dari HootSuite, Youtube menjadi platform yang paling sering digunakan yang mencapai 88%, selanjutnya WhatsApp sebesar 84%, Facebook sebesar 82%, dan Instagram 79%. Kemenkominfo mengungkapkan bahwa kebanyakan pengguna media sosial di Indonesia adalah konsumen, yang hanya sekadar memperbaharui status, menimpali komentar, dan mengunggah foto ke media sosial.

IKLAN
loading...


Merujuk pada hasil temuan Wiltfong (2013) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang paling banyak melakukan perilaku berbagi (sharing) di media sosial. Terdapat 15 persen masyarakat Indonesia melakukan perilaku berbagi semua hal, 35 persen hal-hal penting, 45 persen beberapa hal saja, dan 5 persen tidak melakukan perilaku berbagi hal apapun di media sosial. Lebih lanjut ditemukan bahwa konten yang paling sering dibagikan adalah gambar (53%), opini (42%), memperbaharui status tentang kegiatan yang sedang dilakukan (37%), tautan artikel (36%), sesuatu yang disukai  (35%),  dan memperbaharui status yang sedang dirasakan (33%). Sementara konten yang paling jarang dibagikan adalah video klip (17%) dan berita (17%).

Pew Research Center Study, AS, menemukan bahwa alasan individu suka berbagi (sharing) di media sosial ialah untuk mendapatkan perhatian, pujian, dan komentar dari setiap postingan atau informasi yang dibagikan sehingga akan membuat individu merasa populer. Alasan berikutnya untuk menunjukkan citra atau kesan diri yang positif dan berharap orang lain akan memandang dirinya seperti yang diharapkan. Hingga akhirnya, perilaku ini akan membuat individu mengalami kecanduan dan terjebak dalam lingkaran media sosial. Para ahli kontemporer menyebut fenomena ini sebagai perilaku oversharing.

Webster’s New World College Dictionary (2008) mengartikan oversharing sebagai kegiatan mengekspos terlalu banyak informasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Disisi lain, Hoffman (2009) mengatakan bahwa oversharing merupakan bentuk pengungkapan informasi secara berlebihan dan tidak sesuai dengan konteks tertentu. Lebih lanjut, Griffiths (2013) dalam kajiannya menjelaskan bahwa perilaku oversharing dapat menimbulkan efek adiktif, sehingga membutuhkan terapi dengan pendekatan biologis, psikologis, dan sosial. Perilaku ini juga dapat memicu timbulnya ketakutan akan kehilangan informasi dari media sosial atau internet (fear of missing out)  (Przybylski  et al.,  2013) dan adiksi internet (Kuss  &  Lopez-Fernandez,  2016).

Berdasarkan tinjauan psikologi, perilaku oversharing dapat dianalisis dengan menggunakan teori addictive behaviour. Model neurobiologis pada perilaku adiktif menekankan pada peran sentral sistem saraf dan aktifitas di jalur neurotransmitter di otak. Studi yang dilakukan di Harvard menemukan bahwa ketika seseorang membagikan informasi kepada orang lain dapat mengaktifkan sistem mesolimbik dopamin yang memberikan efek  menyenangkan dan perasaan lebih bahagia. Begitu pun dengan rasa aman dan bahagia saat seseorang bercerita, mengutarakan opini atau sikapnya di media sosial menjadi penyebab terstimulasi dopamin dalam otak, sehingga menimbulkan keinginan untuk terus mengulangi perilaku berbagi (sharing) di media sosial.

Model sosial dan model perilaku dalam perilaku adiktif menekankan peran kebiasaan dan kecanduan yang dipelajari sesuai dengan prinsip teori pembelajaran sosial, baik faktor interpersonal dan intrapersonal. Keinginan individu secara terus menerus yang ingin menunjukkan harga diri atau kesan diri yang ideal saat membagikan postingan atau informasi di media sosial mengarah pada perilaku oversharing di media sosial. Temuan lain menunjukkan bahwa motif presentasi atau harga diri terkait pula dengan pengungkapan jati diri.

Penelitian dilakukan Youyou, et al., (2015) yang melihat kepribadian seseorang dengan model Big-Five personality berdasarkan aktivitas di media sosial. Hasil studi menunjukkan bahwa aktivitas seseorang seperti menyukai postingan di media sosial dapat memprediksi kepribadian. Saat seseorang menyukai tentang pesta menunjukkan ekstraversi yang tinggi terhadap hal tersebut. Penilaian terhadap postingan ataupun informasi di media sosial juga dipengaruhi faktor interpersonal seperti sikap politik, teman sebaya, dan lain-lain. Juwita, et al., (2015) menemukan bahwa individu cenderung merasa bosan ketika tidak membuka media sosial sehingga mendorong untuk berbagi tautan atau artikel yang unik dan menarik.

Kombinasi biologis, psikologis, dan faktor sosial berkontribusi pada perilaku oversharing di media sosial. Efek negatif dari perilaku ini yaitu individu akan membandingkan diri dengan orang lain yang dapat menurunkan harga diri serta dapat memicu penyalahgunaan data atau dokumen pribadi. Oleh karena itu, perilaku oversharing yang memuat informasi secara berlebihan di media sosial perlu untuk dihindari dan gunakan media sosial secara bijak dan tepat.[]

Penulis bernama Ulya Layyina, mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Kedokteran (FK), Universitas Syiah Kuala angkatan 2018.

Editor: Cut Siti Raihan