Judul film : Tanah Surga Katanya
Sutradara : Deddy Miswar dan Herwin Novianto
Produksi : Citra Sinema
Durasi : 90 menit
Tanggal Rilis : 15 Agustus 2012
Film bertemakan nasionalisme ini mengulas seputar luputnya bangsa memperhatikan setanah daerah yang masih menjadi bagian dari negara. Berlatar di suatu daerah terpencil yang berada diperbatasan antara negeri Indonesia dan Malaysia, tepatnya di pulau Kalimantan Barat yang sepatutnya hidup di bawah naungan negara namun kenyataannya masih terbengkalai dan sangat ironi. Seakan masyarakat didalamnya hidup tanpa mengenal tanah airnya sendiri. Bahkan mata uang yang digunakan bukan mata uang Negara Indonesia, melainkan ringgit yang merupakan mata uang negara tetangga, yaitu Malaysia. Begitu pula dengan bendera yang menjadi lambang negara pun terlihat asing dan tak dikenali oleh anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki peranan penting bagi kelangsungan bangsa di masa yang akan datang.
Keadaan tersebut seakan menjadi lelucon sekaligus mengundang senyuman pahit, sinema yang disutradari oleh Deddy Mizwar dan Herwin Novianto ini seakan menguak fakta bahwa Indonesia yang telah berumur 67 tahun ini belum cukup mampu merangkul seluruh masyarakat bangsa untuk mengenal dan menghargai negerinya. Cerita ini dimulai dengan kehidupan suatu keluarga yaitu Hasyim (Fuad Idris) salah seorang mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 yang tinggal bersama kedua cucunya, Salman (Osa Aji santoso) dan Salina (Tissa Biani Azzahra) yang merupakan anak dari Haris (Ence Bagus). Haris yang telah bekerja di Serawak (Malaysia) suatu ketika kembali ke rumah untuk mengajak keluarganya pindah ke Serawak dengan alasan memperoleh kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan menjanjikan.
Memang jika dibandingkan dengan desanya yang masih memakai obor sebagai penerang karena belum dialiri listrik, minimnya berbagai fasilitas umum seperti rumah sakit, juga perbedaan yang cukup mencolok seperti jalan yang masih bebatuan. Namun, sang ayahanda yang memiliki sejarah patriotisme bangsa dan mengutarakan bahwa negeri Indonesia cukup makmur menolak ajakan tersebut.
Meski Haris telah mengutarakan pendapatnya dengan mengatakan daerah mereka cukup tertinggal sehingga tidak ada yang bisa diharapkan dari pemerintah. Dengan tegas Hasyim mengatakan “Aku mencintai negeri ini bukan untuk pemerintah tapi untuk bangsaku sendiri!” sebagai kalimat kepastian bahwa ia tidak akan merubah pikirannya, dan akan tetap tinggal. Akhirnya Haris hanya berhasil mengajak Salina saja sedangkan Salman memilih untuk tetap tinggal dengan sang kakek.
Film berdurasi satu setengah jam ini menyajikan sedikit kisah asmara kocak antara seorang guru dan dokter yang mengabdikan diri mereka untuk kehidupan penduduk desa meski alasan awalnya untuk berada ditempat itu cukup unik. Di desa yang hanya memiliki satu sekolah dan juga memiliki satu orang guru, Astuti (Astri Nurdin). Ia mengajar semua mata pelajaran. Selain itu mereka hanya memiliki sepetak bangunan yang dibelah menjadi dua ruangan, kelas tiga dan empat.
Pernah pula kegiatan mengajar berhenti selama satu tahun karena tidak memiliki pengajar. Begitu pun bagian fasilitas kesehatan, desa tersebut bahkan sempat tidak memiliki dokter dan akhirnya diisi oleh kedatangan dokter Anwar (Ringgo Agus Rahman) yang disapa dengan dokter intel yang berasal dari bandung.
Dalam perannya Astri Nurdin cukup baik, ia bersikap layaknya seorang guru yang bijak, lembut dan tegas. Gaya bicaranya melayu, cocok dengan lingkungannya. Agus berkarakter casual, diselingi guyon khasnya. Selanjutnya untuk aktor dan artis cilik disini juga cukup mampu memerankan perannya, terutama Osa Aji yang memiliki peran lebih banyak, mulai dari ia bekerja untuk pengobatan sang kakek sampai ia menukarkan kain yang baru dibeli dengan hasil kerjanya, lalu ia tukarkan dengan bendera Indonesia yang dijadikan kain pembungkus dagangan salah seorang pedangang yang berada di Serawak. Selain itu, ekspresi dan emosi Fuad Idris juga sangat jelas tergambar ketika memerankan seseorang yang memiliki sikap nasionalisme tinggi.
Alur cerita yang digarap oleh Citra Sinema ini tergolong cukup menarik namun pada ending cerita terasa tanggung.[]
Muallifah adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsyiah.