Opini | DETaK
Hubungan antara relevansi ideologi negara kita dengan transaksional politiknya itu sangat kontradiktif dengan sistem yang ada di negara kita. Karena menurut penulis transaksional politik itu, diibaratkan seperti sebuah bisnis yang dijalani dengan adanya sebuah konsumen, yang mana ideologi kita sebagai sebuah konsumen di dalam melakukan bisnis tersebut dan politik transaksional adalah sebagai pelaku daripada bisnis tersebut. Modal dari bisnis tersebut ialah dari para partai politik maupun dari kantong pribadi para pelaku politik itu sendiri.
Karena sebagaimana kita ketahui bahwa politik yang terjadi di Indonesia saat ini bukan lagi pentas untuk mencari pemimpin yang adil, tetapi sudah sebagai ladang bisnis bagi pihak-pihak yang mempunyai suatu kepentingan sendiri. Tentu, dalam melakukan pencalonan untuk menjadi pemimpin itu sangatlah mahal.
Karena sebelum mencalon, para bakal calon harus melakukan pendaftaran melalui partai pengusung untuk mendukung di dalam suatu pemilihan. Nah, di dalam masa-masa pencalonan itu pasti melakukan kampanye. Pada saat melakukan kampanye ini, banyak sekali para calon pemimpin itu melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah sebuah negara demokrasi yang dianut oleh sistem Negara Indonesia yaitu ideologi pancasila, yang di mana di saat-saat masa kampanye para calon pemimpin ini melakukan serangan fajar ataupun melakukan suap kepada masyarakat dengan tujuan agar suara mereka di saat penghitungan meningkat.
Ironisnya di saat para calon pemimpin tersebut melakukan serangan fajar, masyarakat dengan begitu mudahnya mau saja menerima duit dari serangan fajar tersebut, tanpa memikirkan apa yang terjadi ke depannya. Biaya yang dikeluarkan para calon bukanlah sedikit.
Alhasil di saat mereka menjadi pejabat, mereka pun banyak melakukan korupsi sebagai bentuk untuk mengembalikan uang mereka saat melakukan pencalonan dan kalau dikaji dalam bentuk bisnis ini merupakan fenomena antara si untung dan si rugi.
Jika hal tersebut dikaji dalam ideologi pancasila, itu merupakan suatu hal yang salah karena di dalam ideologi tersebut mengemukakan bahwa kesejahteraan rakyat itulah yang lebih utama. Dalam hal ini rakyat pun jangan mau di saat para pemimpin elit politik memanfaatkan mereka di dalam merebut sebuah kursi kekuasaan dengan hal-hal yang licik, karena sebagai rakyat harus memiliki sebuah idealisasi sendiri di dalam menentukan siapa yang berhak di dalam memimpin.
Dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, rakyat merupakan sebuah pengatur di dalam menjalankan kekuasaan dan para pemimpin merupakan suatu alat bagi rakyat di dalam menjalankan sebuah negara yang dikehendaki oleh rakyat agar menjadi sebuah negara yang baik, adil, dan juga makmur, karena semboyan negara demokratis itu ialah Dari rakyat, Oleh rakyat, dan Untuk rakyat. []
Penulis bernama Buhari Hapiansyah. Ia merupakan mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala.
Editor: Herry A.