Oleh Vera Fitria
Beberapa waktu belakangan ini pembicaraan tentang TOEFL di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) santer terdengar terutama di kalangan mahasiswa. Pembicaraan ini berawal dari kebijakan tentang ujian TOEFL yang dinilai mahasiswa kurang efektif baik dalam hal penerapannya, proses, maupun hasil dari ujian TOEFL tersebut.
Kekurangefektifan itu antara lain dapat kita lihat dari status ujian TOEFL itu sendiri. Ujian TOEFL merupakan ujian yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di Unsyiah untuk memenuhi syarat mengikuti sidang skripsi. Permasalahannya, meskipun wajib, tapi pihak universitas tidak menjadikan TOEFL sebagai salah satu matakuliah umum ataupun matakuliah pilihan yang bisa diikuti mahasiswa. Akibat dari itu, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi ujian TOEFL dengan baik. Memang ada mata kuliah umum bahasa Inggris yang bisa diikuti, hanya saja yang diajarkan dalam mata kuliah umum tersebut hanya sebatas pelajaran bahasa Inggris dasar seperti grammar, tak ada pelajaran yang berkaitan dengan TOEFL.
Permasalahan yang lain berkaitan dengan sistem penilaian yang tak jelas standarnya. Hampir semua mahasiswa yang mengikuti ujian TOEFL tidak tahu bagaimana sebenarnya sistem penilaian dan penghitungan skor atas soal-soal TOEFL itu. Tidak ada penjelasan yang pasti atas sistem penghitungan skor soal. Banyak mahasiswa yang harus mengikuti ulang ujian TOEFL dikarenakan pada ujian sebelumnya tidak mampu mencapai skor minimal yang ditetapkan. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang harus mengulang sampai lebih dari lima kali. Ditambah lagi, antrian kursi ujian bisa sampai berbulan-bulan karena saat ini telah ditetapkan kebijakan pengadaan ujian TOEFL hanya sebulan sekali.
Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan dibalik ujian TOEFL di Universitas Syiah Kuala, seperti sertifikat bukti kelulusan TOEFL yang hanya bisa digunakan untuk sidang skripsi saja, tidak bisa digunakan di luar ruang ligkup Unsyiah, antrian kursi ujian yang panjang, sampai tidak diberlakukannya lagi kursi cadangan, sehingga mahasiswa yang seharusnya mendapat jatah cum laude, menjadi gagal karena menunggu antrian kursi ujian.
Atas sebab-sebab tersebut, pada akhirnya, mau tidak mau, sadar tidak sadar, mahasiswa mengikuti ujian toefl semata-mata hanya sebatas untuk mengejar sertifikat saja. Hal ini menyebabkan menjadi kurang efektifnya proses dan tujuan yang ingin dicapai atas ujian TOEFL tersebut. Selain itu, ketidakjelasan sistem penilaian ujian TOEFL di Unsyiah juga menyebabkan dugaan-dugaan negatif dari mahasiswa. Dugaan-dugaan seperti ini tentu saja menjadi sesuatu yang meresahkan dikarenakan tak adanya kebijakan yang efektif atas penyelenggaraan ujian TOEFL.
Sebuah kebijakan sebaiknya dinilai terlebih dahulu keefektifannya sebelum mengambil keputusan atau menerapkannya. Tidak ada salahnya menimbang kembali kebijakan terhadap ujian TOEFL untuk lebih mengefektifkan proses dan hasil penerapannya. Jika ujian TOEFL wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, sebaiknya pihak universitas menjadikan TOEFL sebagai mata kuliah umum atau mata kuliah pilihan, atau minimal membuka kelas bimbingan rutin untuk TOEFL. Dan lagi, ada baiknya dibuat sebuah kebijakan seperti mendahulukan mahasiswa-mahasiswa yang akan mengikuti sidang skripsi ujian terlebih dahulu, agar mahasiswa-mahasiswa yang mendapat jatah cum laude tidak lagi tertunda apalagi sampai gagal cum laude hanya karena TOEFL. Bukankah universitas akan bangga jika mampu mencetak banyak mahasiswa-mahasiswa yang cum laude?.[]
Penulis adalah Vera Fitria, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala.
Editor: Riska Iwantoni
Baca juga: DETaK TV [Editorial] – Kebijakan yang Menekan | TOEFL Terbukti Hambat Yudisium | Ini yang Harus Dibenahi dari TOEFL | Kemana Aliran Dana TOEFL | Adakah Oknum di Balik Pemalsuan TOEFL? | Begini Nasib Para Pemalsu TOEFL | TOEFL Menjadi Polemik, Ini Jawaban PR I Unsyiah | Sengkarut TOEFL Unsyiah, Ini Jawaban Pakar | Ini Alasan TOEFL Unsyiah Tidak Berlaku di Luar Unsyiah | TOEFL Butuh Persiapan Matang | Pelemik TOEFL Unsyiah