Opini | DETaK
Air merupakan senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan di muka bumi ini. Tidak hanya penting bahkan menyangkut pada kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Jika air tidak ada, maka manusia akan terancam pada kematian. Begitu pula dengan lingkungan, jika air tidak ada maka akan kering kerontang dan punah. Sebab, air adalah kebutuhan pokok yang sangat mendasar dalam kehidupan.
Hampir 71% bumi ini dipenuhi dengan air. Baik di gunung, darat, dan laut. Tentu, masyarakat akan dengan mudah mendapatkannya dan tidak perlu membeli. Merupakan anugerah Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat ini di tanah bumi Pertiwi. Jika kita bandingkan dengan negara lain seperti Timur Tengah misalnya, di sana sangat sedikit sumber mata air. Oleh karena itu, kita patut bersyukur dengan terus berupaya melestarikan kebersihan air dan menjaganya dari tindakan apapun yang dapat merusak keberlangsungannya.
Namun sangat disayangkan, saat ini masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan air bersih. Masyarakat sering mengeluhkan mengenai pencemaran air bersih. Misalnya, air sungai yang mulai keruh dan berlumpur akibat penggalian tambang emas. Padahal dulunya air sungai bersih dan jernih sehingga airnya dapat diminum. Pun begitu dengan pengurasan air dari aktivitas PT. Batu Bara di Kalimantan Timur yang juga menjadi polemik mengorupsi air oleh pengusaha. Seharusnya air mengalir di pemukiman warga menjadi terhenti akibat air diserap ke lokasi penambangan. Begitu juga dengan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan air yang ikut andil menambah masalah dengan membuang sampah di sungai-sungai.
Ketika kesulitan itu terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, maka solusi yang ditawarkan kepada masyarakat bukan menghentikan aktivitas tambang yang mencemari air tersebut. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan adalah membeli air bersih yang sudah diolah oleh perusahaan air mineral seperti Aqua, Mount, Cleo, dan banyak lagi produksi air bersih dari perusahaan lama dan baru berdiri yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan dari masyarakat. Dengan demikian masyarakat dipaksa harus membeli air yang ada di tanah air mereka sendiri. Ini sungguh tidak pantas terjadi!
Penyebabnya adalah karena penerapan sistem kapitalisasi demokrasi di negeri ini. Setiap orang berhak dan bebas untuk menguasai harta milik umum seperti air. Tidak ada batasan bagi para pengusaha. Yang penting memiliki modal besar sudah bisa menguasai kekayaan alam tersebut. Inilah tabiat buruknya peri’ayahan dari sistem kapitalisasi demokrasi yang mendewakan uang dan mengabaikan halal dan haram. Bahkan tak bisa dipungkiri setiap penghitungannya kembali pada prinsip ekonomi “modal sekecil-kecilnya untung sebesar-besarnya”, sehingga untuk mewujudkan keuntungan itu tidak peduli keterancaman hajat hidup orang banyak.
Lebih mirisnya lagi sistem kapitalisme ini sudah terjangkit di dunia pendidikan. Sivitas akademika tidak lagi terfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang ahli dalam bidangnya, malah beralih pada bagaimana mendapatkan keuntungan dari pemasaran kekayaan kampus dengan membentuk Badan Bisnis Pengembangan Unsyiah (BPBU) yang berkonsentrasi pada pengembangan bisnis kampus. Serta menjalin kerjasama dengan pihak perusahaan yang sebenarnya dapat merugikan masyarakat. Dunia pendidikan telah digiring kepada memampukan kampus untuk menghasilkan keuntungan dari segi materi. Seperti baru-baru ini BPB Unsyiah telah menandatangani kesepakatan kerjasama dengan PT. Aini Sejahtera dalam mengembangkan produksi Air Kemasan Murni. Ini adalah konsekuensi Unsyiah yang sudah beralih sistem dari Satuan Kerja (Satker) ke Badan Layanan Umum (BLU). Artinya kampus dituntut agar mampu menghasilkan dana untuk operasional pendidikan secara mandiri dan terlepas dari tanggung jawab pemerintah. Untuk mendapatkan pemasukan dana tersebut Unsyiah akan memberlakukan komersialisasi aset kampus kepada publik baik dari sektor Akademik maupun Non Akademik.
Bagaimana dengan Tridarma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian, apakah akan terwujud dengan diterapkannya sistem BLU? Jawabannya tentu tidak! Selama kapitalisasi pendidikan terus terjadi di kampus maka hal itu mustahil akan terealisasi dengan baik. Sebab kampus beralih fungsi dari tujuan pendidikan yang seharusnya mengembangkan ilmu pengetahuan untuk pengabdian kepada masyarakat, menjadi terfokus pada tujuan mengembangkan laba dan keuntungan materi semata. Padahal tanggung jawab lembaga pendidikan dalam hal memberikan pemikiran Islam, moralitas dan kepribadian Islam jauh lebih utama dibandingkan mendahulukan mahasiswa dalam hal kewirausahaan. Dehumanisasi kian terjadi pada tubuh intelektual masa kini. Dan hal itu tidak bisa diselesaikan dengan hanya memfokuskan pada pendapatan materi. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. Seharusnya ditujukan pada kemaslahatan masyarakat. Namun pada faktanya diarahkan pada keuntungan para kapitalis saja. Baik individu maupun kelompok. Lantas bagaimana pengabdian bisa terwujud jika Tridarma Perguruan Tinggi ini dikhianati dengan mengalihkan fungsi pendidikan menjadi bisnis.
Walhasil, lagi-lagi yang dirugikan adalah masyarakat. Sebab banyak masyarakat yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat Perguruan Tinggi akibat dampak dari bisnis ini seperti mahalnya biaya pendidikan. Dan siapa yang diuntungkan? Pertama, pemerintah yang tidak lagi memperhitungkan pengeluaran dana APBN untuk membiayai pendidikan. Kedua, para kapitalis, di mana para pengusaha ini nantinya akan dengan mudah mendapatkan hasil penelitian dari mahasiswa bahkan gratis dengan hanya mengandalkan kesepakatan kerjasama. Padahal jika harus dibayar maka sebuah perusahaan akan mengeluarkan dana yang sangat mahal untuk membayar hasil penelitian seseorang. Inilah yang disebut pengusaha memanfaatkan buruh terdidik.
Pendidikan dalam Islam haruslah diperoleh rakyat secara gratis, mudah, murah, dan berkualitas. Pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap pengadaan biaya operasional pendidikan. Seperti penyediaan prasarana dan sarana, laboratorium, pustaka, pusat bahasa, dan bahkan biaya penelitian. Tentu saja kampus tidak perlu sibuk mencari dana operasional pendidikan. Sebab dalam Islam, dana operasional pendidikan akan diperoleh dari sumber harta kepemilikan umum misalnya dari hasil pengelolaan tambang emas, minyak dan, batu bara yang dikelola sepenuhnya oleh pemerintah. Pengelolaan sumber daya alam dalam sistem kapitalisasi demokrasi dengan sistem khilafah sangat jauh berbeda. Dalam sistem kapitalisasi demokrasi dikuasai oleh individu atau kelompok untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya saja. Sedangkan dalam sistem khilafah dikuasai oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda: “Manusia berserikat pada tiga hal, padang rumput, air, dan api“. (H.R. Abu Daud No. 3745)
Bayangkan saja jika seluruh harta milik umum ini benar-benar dikelola oleh pemimpin negara untuk kepentingan rakyat maka tidak ada lagi yang mengeluhkan tidak bisa kuliah karena alasan tidak memiliki biaya, mengeluhkan tingginya biaya pendidikan atau bahkan terjadinya ketidakadilan antara kaya dan miskin dalam hal pembayaran SPP. Sebab kekayaan alam di Indonesia sangatlah banyak. Akan tetapi mustahil terjadi apabila kita berharap pada sistem demokrasi-kapitalisme yang rusak saat ini. Kesejahteraan dalam dunia pendidikan akan dapat diperoleh apabila negara telah menerapkan hukum Allah secara kaffah di dalam sistem Khilafah. Wallahu a’laam. []
Penulis adalah Zinnirah Abdillah. Ia merupakan alumnus UIN Ar-Raniry.
Editor: Herry A.