Mohammad Adzannie Bessania – DETaK
Darussalam – Kerusakan hutan yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tiap tahunnya dikhawatirkan dapat mengganggu daerah resapan air, jumlah gas karbondioksida, dan keberadaan satwa yang berada disekitarnya. Hal tersebut disampaikan oleh penggiat Forum Konservasi Leuser (FKL), Mukhlis, dalam sebuah diskusi santai pada acara Saman Pengawal Leuser di Taman Sari Banda Aceh. Sabtu, 5 Agustus 2017.
Pemahaman masyarakat mengenai fungsi hutan sangat minim, yaitu sebagai daerah resapan air, penyerap gas karbondioksida, dan tempat tinggal satwa. Mukhlis menyebutkan, hal pertama yang dikhawatirkan dari kerusakan hutan setiap tahun adalah daerah resapan air. Menurutnya, debit air yang turun ketika hujan menjadi tidak terkendali, sehingga seluruh wilayah di sekitar KEL akan mengalami banjir bandang.
“Contohnya tragedi di Aceh Tamiang pada tahun 2006. Kalau kita hitung, kerugian negara mencapai 2,7 triliun rupiah. Itu sangat merugikan,” ujar Mukhlis.
Mukhlis melanjutkan, hutan juga berfungsi sebagai penyerap karbondioksida. Namun, ia menyayangkan banyaknya karbon yang berasal dari kendaraan bermotor, asap rokok, industri, mencapai ribuan ton pertahun sehingga mengakibatkan atmosfer bumi menipis. Kerusakan hutan juga berdampak pada kenaikan gas karbondioksida.
“Ada sebagian daerah yang dulunya dingin sekarang menjadi lebih hangat karena kandungan karbondioksida di udara berlebihan. Hutan-lah sebagai penyerap karbondioksida dan menggantinya menjadi oksigen,” lanjut Mukhlis.
Kerusakan hutan juga berdampak pada keberadaan satwa, sambung Mukhlis. Sayangnya, masyarakat masih belum memahami fungsi dari satwa atau binatang itu sendiri.
“Kami, praktisi lapangan, ketika membicarakan ‘kita harus menjaga binatang’, masyarakat tanya ‘Pak, pentingin binatang atau masyarakat, sih?’. Pertanyaan ini kalau kita jelaskan susah, tetapi kami coba jelaskan pelan-pelan,” sambungnya.
Untuk itu, ia bersama FKL datang ke berbagai sekolah dan masyarakat untuk menjelaskan fungsi hutan dan satwa didalamnya. Menurutnya, satwa berperan besar dalam penyerbukan biji secara alami dan rantai makanan. Apabila salah satu rantai makanan putus, maka akan menjadi bencana. Misalnya, harimau diburu, populasi babi menjadi meningkat dan populasi harimau menurun. Jumlah tersebut tidak stabil dan menjadi bencana.
“Contoh lain, di daerah Aceh Timur sebenarnya dapat memproduksi 5 ton madu alami pertahun, namun sekarang tidak terjadi karena proses penyerbukan bunga terhambat. Salah satu faktornya adalah perubahan iklim dimana seharusnya sekarang masuk musim kemarau, kini menjadi musim hujan. Ini sudah tidak stabil,” tutur Mukhlis.
Mukhlis berharap masyarakat peka dengan kondisi yang terjadi saat ini akibat kerusakan hutan. Salah satu akibat terbesar ialah mencairnya es di kutub dan meningkatnya debit air di sungai.
“Kalau kita katakan ini ke masyarakat, mereka bilang itu fana, tapi kenyataan terjadi. Sebagian kepulauan hilang, pulau-pulau tenggelam. Karena debit air meningkat. Coba kita lihat di pinggiran sungai sudah mulai merasakan. Mau percaya atau tidak, itu sudah terjadi sekarang,” tegasnya.[]
Editor: Alfira Oksalina S.