Oleh: Zulfata
Sosok dari seorang jokowi bagaikan gambaran langit yang selalu terpapar di setiap waktu oleh rakyat Indonesia, artinya ketika rakyat mendengar kata Jokowi maka berbagai interpretasi positif cenderung disampaikan. Peristiwa ini suka tidak suka diakibatkan oleh pegalaman kepemimpinan Jokowi mulai dari Pengusaha Kayu, Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga ke kursi presiden RI sangat menarik perhatian rakyat Indonesia di Nusantara ini. Terlepas dari permainan problematika media, Jokowi telah sukses memikat sebagian hati rakyat Indonesia dengan kepribadian khasnya yakni, seseorang yang polos, sederhana, dan cinta rakyat kecil yang diterapkan melalui teknik “pemerintahan blusukan”.
Setelah dilantik sebagai presiden RI, program revolusi mental yang akan diterapkan oleh kabinet Jokowi-Jk menciptakan sebagian antusias warga tidak sabar lagi untuk menunggu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Dapat dipahami bahwa terdapat beberapa poin yang tercantum dalam revolusi mental tersebut diantaranya:
Pertama: Revolusi di bidang keadilan. Dalam tahapan ini, pemerintahan Jokowi-Jk akan merekontruksi segala bentuk lembaga hukum yang ada di Indonesia agar menghasilkan produk hukum yang adil tanpa dibalut oleh unsur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), revolusi yang seperti ini akan menghilangkan istilah bahwa hukum di Indonesia “tajama ke bawah dan tumpul ke atas”. Artinya, pemerihan jikowi-Jk secara tidak langsung ingin mengembalikan ruh keadilan kepada lembaga-lembaga hukum di Indonesia dengan sebaik-baiknya hingga sesuai dengan cita-cita dan harapan rakyat Indonesia yanga tercantum dalam butir-butir pancasila.
Kedua: Revolusi di bidang pemberantasan kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh sebagian rayat Indonesia adalah sebagai hasil dari ketidak-efesiensinya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan 1945. Pemandangan yang menampilkan simbol-simbol kemiskinan di Indonesia semakin hari semakin tidak mengindahkan, hal ini terbukti bahwa terdapat beberapa provinsi di Indonesia masih adanya rakyat yang mengalami busung lapar seperti di wilayah papua dan kalimantan, dan infrastruktur pendidikan yang belum mencapai skala stantar yang dialami oleh sebagian besar provinsi di negara yang kaya sumber daya alamnya ini. Dengan pertiwa yang seperti ini revolusi mental hadir untuk merubah produk kebijakan yang menghasilkan kemiskinan rakyat kepada produk kebijakan yang akan mengakat harkat dan martabat rakyat sebagai objek kekuasaan tertinggi di negara ini.
Ketiga: Revolusi dibidang produksi industri kreatif. Sumberdaya manusia di Indonesia sangat berpotensial dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, namun asumsi ini sering dilupakan oleh pemerintahan, ketika rakyat Indonesia dikatakan sebagai rakyat yang multi kebudayaan, ini berarti bahwa kreatifitas rakyat Indonesia dapat diprioritaskan melalui pembentukan sistem yang dikhususkan untuk itu, sistem industri rumah tangga misalnya, dengan inndustri rumah tangga ini selain membangun perekonomian rumah tangga dan perdesaan, juga meningkatkan kualitas perdagangan (ekspor) dalam ranah Internasional. Kebijakan ini sangat urgen untuk diterapkan, karena semakin banyak produktifitas rakyat yang berkualitas ekspor maka semakin meningkatlah perekonomian rakyat.
Ke-empat: revolusi dibidang pemberantasan korupsi. Korupsi bagaikan virus yang telah merasuki tubuh para birokrat di republik ini, segingga tidak salah terdapat istilah bahwa “Indonesia melestarikan budaya korupsi”, faktanya prapemerintahan ke pemerintahan selanjutnya selalu diwarnai dengan kasus korupsi yang mayoritasnya dimainkan oleh para birokrat kelas atas (elit politik). Sejatinya birokrat menjaga amanah yang delah dimandatkan oleh rakyat, namun hal itu tidak dapat diindahkan, walaupun tidak semua birokrat yang berwatak korup, namun hal ini perlu ketegasan dan ketelitian yang intensif bagi lembaga-lembaga pemerintahan dalam memberantas korupsi di NKRI.
Keempat garis besar dari revolusi mental kabinet Jokowi-Jk tersebut semoga tidak terjebak dalam retorika kampanye politik yang selalu menipu rakyat demi kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Sampai kapan terus menunggu?
Berbagai macam interpretasi janji politik Jokowi-Jk mewarnai wacana media negeri ini. Kini tiba saatnya menghidupkan wacana untuk melihat dan membuktikan sejauh mana penerapan janji-janji politik tersebut, sehingga janji tidak hanya sebatas janji dan penuh dengan sandiwara politik.
Dalam ajaran Islam telah menjelaskan berbagai tafsir tentang persoalan janji, diantaranya dalam QS. Al-Isra’ : 34 yang artinya “…dan Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggungan jawabannya”. Tafsirannya adalah segala perbuatan yang dihubungkan dengan janji, sudah pasti diminta pertanggung jawabnya. Artinya, syari’at menganjurkan kepada manusia untuk bijak untuk berjanji, baik berjanji dengan Allah Swt. maupun berjanji dengan sesama manusia.
Dalam konteks “menunggu janji Jokowi” dapat dipahami bahwa posisi janji-janji yang dipaparkan oleh Jokowi tersebut berada dalam kawasan janji yang harus dipertanggung jawabkan, terkadang dalam dunia perpolitikan di Indonesia sedikit “aneh” karena memaknai janji dengan sesuka hati dan lebih parah lagi bahwa permainan politik cendrung tidak adanya unsur profan (Nilai syari’at dari Allah). Pemikiran yang salah kaprah tentang permainan politik yang tidak profan tersebut harus dimusnahkan dalam pendidikan politik bangsa ini, perlu diketahui bahwa pergolakan politik bukan berarti mengandalkan strategi manipulasi dan kekompakan atas kepentingan kelompok, namun bagaimana mengupayakan agar rakyat dan pemerintah bersatu dalam mewujudkan kedamaian bersama, baik damai secara ekonomi, politik, Agama, kesehatan dan sosial. Hal ini mungkin terlalu utopis bagi pembaca, namun perlu dipahami bahwa segala persoalan yang ada dinegeri ini terutama mengenai persoalan politik hanya dapat ditangani dengan watak pendidikan dan keteladanan, sehingga para birokrat harus mampu memahami apa yang sebenarnya tentang pendidikan dan keteladanan tersebut.
Tidak hanya tercantum dalam Alqur’an, persoalan janji pun terdapat dalam Hadits Shahih Muslim yang artinya: “Tanda-tanda munafik ada tiga, apa bila berbicara berdusta, apabila ber”janji” meng”ingkari dan apabila dipercaya, berkhianat” (HR. Muslim). Sangat tegas hadis diatas menjelaskan bahwa tanda-tanda orang munafik salah satunya adalah tidak menepati janji. Dalam konteks tulisan ini, jika kabinet Jakowi-Jk terindikasi sebagai kabinet yang tidak menepati janji-janji politiknya, maka atas dasar dalil hadis ini dapat dikatakan bahwa kabinet tersebut adalah kabinet yang penuh dengan kemunafikan. dan orang-orang yang munafik sudah tentu akan mendapat ganjaran yang pedih di akhirat kelak.
Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang menepati janji dalam QS. Ali Imran: 78, “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menempati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertaqwa”. Dapat dipahami bahwa orang yang menepati janji adalah salah satu indikasi orang-orang yang bertaqwa. dan bagi orang-orang yang bertaqwa tersebut Allah telah menjanjikan surga baginya.
Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa janji-janji politik kabinet Jokowi-Jk jika ditepati dan efesien terhadap implementasinya, maka kabinet Jokowi-Jk sangat berpeluang besar untuk tergolong orang-orang yang bertaqwa dan pastinya sejarah politik di Indonesia mengalami perkembangan yang lebih baik. Semoga hal ini dapat terwujud walaupun ini hanya sebatas harapan penulis untuk perubahan negeri ini.
Sebenarnya menjadi seorang birokrat akan memberikan peluang besar untuk mengabdi kepada Alla Swt. karena dibalik resiko yang diemban terdapat ganjaran kebaikan yang setimpal pula, tentunya ganjaran kebaikan tersebut diberikan apabila pekerjaan birokrat tersebut sesusai dengan amanah yang diembannya, seperti tidak memiliki kepribadian KKN terhadap rakyat.
Kemanakah etika politik negeri ini?
Pasca pengumuman kenaikan BBM (17/11/214) telah menciptakan berbagai spekulasi dan retorika politik pro dan kontra sesama rakyat di negeri ini, yang pro mengatakan bahwa naiknya BBM sebagai dampak positif terhadap pembangunan infrastruktur negeri, dan yang kontra menyatakan bahwa kabinet Jokowi-Jk telah korupsi kebijakan pada awal pelaksanaan programnya.
Pernyataan-pernyataan diatas penulis sampaikan untuk mewakili berbagai pernyataan yang termuat dari berbagai media, baik itu media cetak maupun online, yang jelas bahwa dalam tahapan ini komunikasi politik antara kabinet Jokowi-Jk dengan rakyat Indonesia belum menemukan benang merah untuk mendamaikannya. Tentunya upaya-upaya untuk mengintegrasi antara harapan rakyat dan harapan kabinet Jokowi-Jk dapat diterapkan melalui etika politik yang berlandaskan UUD 1945.
Etika politik semestinya dikedepankan dalam mengarungi samudra perpolitikan di Indonesia, sehingga wacana politik dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang mudah dipahami tanpa unsur kemunafikan yang terkadang tampak “aneh” jika dilakukan oleh seorang birokrat. Fakta sekarang membuktikan bahwa eksistensi etika politik tidak menjadi tameng ataupun tidak dihiraukan oleh para aktor politik, dan inilah salah satu penyebab mengapa arus perkembangan politik di Indonesia terkesan bagaikan api yang membara yang siap untuk membakar karakter anak bangsa di masa yang akan datang. untuk selanjutnya hanya pembacalah yang dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai dampak-dampak dari proses perpolitikan di Indonesia yang mayoritasnya mengandung dampak perpolitikan yang negatif.
Penulis adalah Zulfata, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, aktif sebagai Instruktur HMI dan Volunteer ICAIOS Aceh.