Beranda Headline Kenapa Kasus Pelanggaran HAM Tak Tuntas di Indonesia?

Kenapa Kasus Pelanggaran HAM Tak Tuntas di Indonesia?

BERBAGI

DETaK | Darussalam – Aceh merupakan Provinsi yang memilik kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbanyak sejak masa pemberlakuan Doerah Operasi Militer hingga Darurat Sipil. Namun, kenapa kasus-kasus tersebut hingga kini tidak tuntas diselesaikan padahal Indonesia memiliki Komnas HAM.

Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming menyatakan, terbatasnya kewenangan yang dimiliki Komnas HAM selama ini membuat banyak kasus-kasus pelanggaran HAM terbengkalai tanpa ada penindakan. “Kewenangan Komnas HAM sangat terbatas,” kata dia saat memberi kuliah umum di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Rabu (28/9/2011).

Kewenangan Komnas HAM diberikan Negara hanya sebatas memantau, menyelidiki dan merekomendasikan pelangarangaran yang terjadi, selanjutnya rekomendasi itu dilimpahkan kekejaksan Agung.

Iklan Souvenir DETaK

Menurutnya Komnas HAM dibentuk karena keterpaksaan, dimana Indonesia sempat dinilai sebagai Negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM semasa orde baru sehingga menyulut kecaman dari dunia International. Dibentuklah Komnas HAM untuk menyelamatkan muka Indonesia.

Namun Komnas HAM tidak diberi kewenangan untuk menindak atau menyidik. Tidak seperti Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) meski dibentuk karena buruknya kinerja penegak hukum yang ada, mereka memiliki kewenangan menindak dan menyidik. “Kami tidak sama dengan KPK yang bisa memberikan sanksi kepada pelanggar,” kata dia.

Saharuddin mengakui Komnas HAM sudah banyak merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh berdasarkan investigasi.  Seperti kasus tragedi pembantaian Teungku Bantaqiah bersama 25 santrnya di Beutong Atueh, Nagan Raya pada 23 juli 1999 silam yang merupakan sala satu kasus pelanggara HAM berat di Aceh.

Kasus tersebut diakui dilakukan oleh aparat Negara. Menurut Saharuddin Komnas HAM sudah menyerahkan rekomendasi kasus tersebut lengkap dengan bukti-bukti kepada Kejakgung namun sampai sekarang belum ada penindakan.

Di sisi lain Saharuddin menjelaskan masih minimnya pemahaman HAM dikalangan Pemerintah dan masyarakat di Indonesia mengakibatkan banyak pelanggaran HAM terjadi. Hal itu bahkan terpengaruh pada keputusan-keputusan pengadilan yang jarang merujuk pada instrument-instrumen HAM termasuk undang-undang HAM sendiri.

Saharuddin berharap Perguruan Tinggi di Indonesia menjadi motor dalam member pemahaman sekaligus menegakkan HAM di Indonesia. Pendidikan HAM, kata dia, harus dimasukkan kedalam kurikulum perkuliahan. [Reja H]