Fitria Anggraini | DETaK
Darussalam – Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Unsyiah periode tiga sudah berakhir dua bulan yang lalu. Tepatnya pada 16 Januari – 15 Febuari 2013 silam di wilayah Aceh Besar. Banyak pengalaman berkesan bagi para peserta KKN yang terlibat, baik itu pengalamanan yang menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Semua memiliki kesan tersendiri bagi mahasiswa Unsyiah yang mengikutinya.
Ahmad Febi Rozaki misalnya, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsyiah. Ia dan rekan sekelompoknya diberi kesempatan untuk melakukan KKN di daerah Indrapuri Kecamatan Cot Glie, desa Ie Alam Lamghui. Baginya KKN itu hukumnya wajib, karena banyak manfaat dan kenangan yang ia dapat. “KKN itu bisa nambah saudara dan teman baru. Bagi pribadi saya sendiri juga menjadikan saya lebih mandiri, selain itu banyak ide kreatif yang muncul di saat KKN. Tentunya ide tersebut bisa mengharumkan nama universitas,” jelasnya pada detakusk.com, minggu (7/4/2013).
Tak hanya itu, ia dan rekannya juga mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Febi bercerita bahwa dirinya sering kurang tidur. “Kami sering begadang kalau malam, tidur pun sering digangguin sama anak-anak di desa, nyamuknya juga besar-besar kali. Untuk wc juga kurang memadai, kami ya maklum aja mugkin karena di desa,” tutur Febi.
Sama halnya dengan Lidzar, mahasiswa Fakultas Pertanian (FP) Unsyiah. Saat tiba di daerah Lembah Seulawah, gampong Lamkubu, Aceh Besar, ia lumayan kaget dan merasa susah sendiri. Menurutnya, desa tersebut berada di pelosok dalam hutan. Namun setelah mengenal dan akrab dengan warga sekitar, Lidzar merasa senang bahkan mengaku tidak ingin pulang lagi.
Hal menarik lainnya juga datang dari Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Unsyiah, Ira Mentari. “Banyak kendala sewaktu KKN di desa Cucum, Jantho, mulai dari air di desa yang kritis. Jadi kalau mau mandi harus angkat air dulu dari rumah tetangga. Terus juga bahasa, karena saya nggak bisa bahasa Aceh, sedangkan masyarakat disitu ngomongnya pakai bahasa Aceh. masih ada yang nggak bisa bahasa indonesia. Sampek ada kejadian lucu, anak-anak di desa itu kalau kami ngomong pakek bahasa Indonesia diterjemahin lagi ke bahasa Aceh,” ungkapnya panjang lebar.
Ira juga mendapatkan pelajaran berharga ketika melihat anak-anak disana yang semangat belajar walau dengan banyak keterbatasan, baik dari tempat, sekolah yang jauh, sampai minimnya ketersediaan alat sekolah. “Kami jadi dapat menghargai segala hal yang kami dapat dan bersyukur dengan apapun walau hal tersebut kecil,” terang Ira.
Penuturan ketiga mahasiswa diatas ternyata berbeda dengan Wahidul Qahar, Mahasiswa FISIP Unsyiah. Ia merasa KKN yang ia alami tidak ada hal yang menarik. “Mungkin dikarenakan letak Desa Lampakuk tempat saya KKN yang pas di Tepi jalan raya, atau mungkin karena masyarakat yang sudah sangat terbiasa dengan keberadaan mahasiswa KKN. Setidaknya saya mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan cepat dan bertemu dengan teman baru,” jelasnya.
Wahid berpendapat bahwa KKN itu perlu dan penting. Namun ia berpesan agar kedepannya mahasiswa ditempatkan di daerah yang tepat yang memang butuh pembenahan oleh mahasiswa KKN. Sehingga KKN benar-benar mempunyai orientasi dan menimbulkan dampak positif, baik dari mahasiswa ke masyarakat, maupun sebaliknya.[]