Tajul Ula | DETaK
Darussalam – Peningkatan nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia, yang signifikan belakangan ini, ternyata tidak menggambarkan pertumbuhan perekonomian Indonesia secara riil. Hal tersebut disampaikan Chenny Seftarita, pengamat ekonomi moneter, dosen Ekonomi Pembangunan (EKP), Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah, pada mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (BLKL) di ruang kuliah FE, Jum’at, 28 Maret 2014.
Peningkatan nilai IHSG yang tidak diikuti dengan peningkatan yang sama di sektor riil (barang), hanya menciptakan “Bubble ekonomi”, yang sewaktu-waktu mudah pecah dan mengakibatkan depresi ekonomi.
Menurut Chenny, yang menyebabkan nilai IHSG meningkat adalah seiring tengah memburuknya kondisi perekonomian di negara-negara barat, dimana investor yang berasal dari negara-negara barat tersebut mencari negara yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Seperti yang dialami kebanyakan negara-negara yang berada di benua Asia saat ini.
Dengan banyak nya investor asing yang masuk dan tertarik menanamkan modalnya di negara-negara Asia, terutama Indonesia, maka nilai IHSG pun meningkat, namun kemungkinan hal ini tidak bertahan lama, karena sewaktu-waktu investor asing tersebut bisa saja menarik kembali modalnya pada saat perekonomian negaranya mulai membaik.
Kondisi ini bisa berdampak pada nilai IHSG yang awalnya tinggi namun dapat jatuh drastis. “ Maka akan selalu ada masalah depresiasi”, tegas Chenny.[]
Editor : Indri Maulina