Mulya Rizki Nanda|DETaK
Darussalam – Diskusi Publik yang diadakan oleh Forum Pengawasan Parlemen (Forsapa) Aceh, Rabu, 29 Oktober 2014 pagi tadi banyak membahas persoalan Aceh dari lintas sektor. Diantaranya menyangkut status Ekonomi, Sosial, dan Politik yang khas di Aceh sebagai sebuah entitas politik otonom.
Yarmen Dinamika, Praktisi Media di Aceh mengatakan, Aceh memiliki banyak keistimewaan dibanding daerah lain yang ada di Indonesia. Mulai dari perlakuan terhadap Tahanan Politik (Tapol) eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), penyebutan Pemerintah Aceh tanpa emblem provinsi, adanya nomenklatur wali nanggroe dalam tata pemerintahan, sebutan Kepala Pemerintah Aceh untuk Gubernur, hingga penyebutan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
“Bahkan tukang becak pun tau, Aceh telah berubah signifikan dibanding 9 Tahun lalu,” Kata Yarmen sambil mengundang gelak tawa peserta.
Seperti halnya tema diskusi yang diangkat “Parlemen Baru: Menyelamatkan Amanah MoU Helsinki Dalam Semangat UUPA”. Tentu kita ingin bertanya, bagaimana dengan capaian parlemen sejak penandatangan MoU Helsinki?
Menurut hitungannya, Yarmen mengatakan bahwa capaian dari 71 butir pada nota kesepahaman MoU Helsinki telah terealisasi sekitar 90.14 persen. “Hanya kisaran 7 sampai dengan 8 butir saja yang belum terealisasi.” Dari kisaran yang belum terealisasi, terdapat pos kewajiban di tatanan Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Untuk pos di Pemerintah Aceh, Yarmen menyebut empat hal diantaranya pengaturan mengenai penamaan Aceh. “Apakah akan disebut Provinsi Aceh, NAD, atau Atjeh,” katanya.
Kedua, mengenai gelar pejabat senior dalam hal ini gubernur yang dalam amanat MoU Helsinki yang mengamanatkan untuk disebut sebagai ‘kepala pemeritahan’.
Ketiga, tentang kejelasan batas geografis dan astronomis antara Aceh dan Sumatera Utara sebagai lanjutan dari perjanjian peta yang disepakati pada 1 Juli 1956 silam. Hal ini penting sebab erat kaitannya dengan pengelolaan hasil bumi minyak dan gas kedepan.
“Terutama sekali tentang batas astronomis, sebagai contoh ditemukannya 4 blok situ minyak di Singkil yang satu diantaranya diklaim oleh Kepulauan Nias. Padahal teritorialnya lebih dekat dengan pulau banyak.” Persoalan ini berkaitan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hasil Minyak dan Gas.
“Dengan demikian, Aceh akan berdaulat secara ekonomi,” kata Yarmen. Selain itu, terdapat 8 regulasi yang belum tuntas di pemeritah pusat. Dua diantaranya, adalah tentang pengaturan suku bunga, dan pelaksanaan pengelolaan bandara dan pelabuhan laut.
“Banyangkan iklim investasi yang akan berkembang di Aceh jika suku bunga kredit, misalnya dibawah suku bunga di daerah-daerah lain?” jelas yarmen. Khusus untuk pelaksanaan pengelolaan Bandara dan Pelabuhan laut, Aceh oleh pemerintah pusat dinilai belum cukum mampu sehingga masih dalam pengelolaan PT. Angkasa Pura.
Selain Yarmen, Kautsar yang kini menjabat sebagai Anggota DPR Aceh bertekad untuk terus memperjuangkan butir-butir pada MoU Helsinki tersebut. “Akan dijalin hubungan baik antara Aceh dengan Pemerintah Pusat.”
Terlebih, kata Kautsar dua sosok menteri, Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang) dan Sofyan Djalil (Menko Perekonomian) ditambah dengan Jusuf Kalla adalah orang yang punya kedekatan dengan Aceh.
Meski demikian, Kautsar merasa perlu untuk menjalin komunikasi yang lebih instens dari yang sebelumnya. Karena beberapa pos menteri yang berkaitan dengan realisasi MoU Helsinki kedepan ditempati oleh menteri yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Lebih lanjut, Yarmen dan Kautsar sependapat dengan visi pengawasan yang dilakukan oleh Forum pengawasan Parlemen (Fosapa) Aceh ini. Yarmen bahkan mengapresiasi dan berharap agar pengawasan ini dapat secara kontinu dilakukan. Sementara Kautsar mengajak untuk bersama-sama saling kontrol agar pokok perjuangan rakyat aceh senantiasa tercapai.[]
Editor: –