Folklor Rifqy
I remembered the tale of a knight that you’ve told me long time ago
About how he walked home from his battlefield
With shredded shield and broken sword
He’s wounded and over blooded
Dust and sweat dried under the shiny sun
You said
He came to see you
You and your dreams took a lead
Rules the night
And imperialized it
Now where is the knight gone?
Now could you tell me once again
How was it feel when you embraced the star?
Was it hot?
How was it feel
When you sunken in the middle of the ocean?
You told me it felt like a miracle
You were covered by the serene solitudeness of sea
Seeing your own body turned into froth
Scintillating and beamed by sun
Could you tell me?
I wish i could hear it directly from you
(Poetry “A Folklore About You” . Author : Teuku Rifqy Ratzarsyah. Volume 4, Issue 7 : Winter, 2008.)
Pada Mulanya
“Hah? Ke Amerika ? Beneran?”, itu adalah ekspresi Rifqy ketika pertama kali dia mendapat telepon dari panitia seleksi yang menginformasikan bahwa Rifqy lulus seleksi dan mendapat kesempatan untuk berangkat ke Amerika. Rifqy, begitu biasanya dia dipanggil oleh teman-temannya, tidak pernah menyangka bahwa dia akan lulus.
“Persaingannya ketat sekali. Semua mahasiswa yang ikut kebanyakan adalah mahasiswa PIC (Pre International Class), dan cuma saya seorang dari mahasiswa reguler. Tapi Alhamdulillah, saya yang lulus”, katanya. Rifqy sama sekali tidak mengetahui tentang program ini, kecuali pada suatu sore, seorang koleganya sesama staf perpustakaan jurusan Akuntansi meneleponnya, dan menyuruh Rifqy untuk segera ikut tes TOEFL esok harinya. Rifqy langsung ikut tes TOEFL, dan memperoleh nilai 537. Yang mengikuti seleksi ini sekitar 35 orang, dan kemudian setelah tes TOEFL, Rifqy diwawancara oleh tim. Dan kemudian berita baik itu menghampirinya, Rifqy berhasil lulus seleksi, dan akan berangkat ke negeri Abang Sam.
Negeri Abang Sam tidak pernah menjadi destinasi impiannya. “Saya lebih tertarik ke Eropa dibandingkan Amerika, tapi syukur juga dech saya berhasil lulus seleksi”, ujarnya. Setelah selesai mengurus segala administrasi dan visa di Kedutaan, Rifqy dan tiga orang dosen dari Unsyiah akhirnya berangkat ke Amerika, tepatnya ke Oberlin, di negara bagian Ohio. “Hanya saya yang mewakili mahasiswa dari Unsyiah”, ungkapnya dengan senyum khasnya yang selalu menghiasi keceriaannya di setiap saat berjumpa.
Rifqy mengikuti program Oberlin Shansi Visiting Student, di Oberlin College, Oberlin, Ohio, USA. Rifqy tidak merasa kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris dialek Amerika. Sebelumnya, selepas tsunami, Rifqy berkesempatan menjadi relawan lapangan sebagai penerjemah dan juga asisten dan penerjemah di kapal induk milik Amerika Serikat yang saat itu sedang memberi bantuan tanggap darurat tsunami di Aceh, yaitu kapal USNS Mercy.
Rifqy yang dilahirkan di Jakarta pada 18 September 1987, telah belajar bahasa Inggris sejak berumur dua tahun. “Ibu saya yang pertama sekali mengajari saya bahasa Inggris”, ujarnya. Rifqy yang bernama lengkap Teuku Rifqy Ratzarsyah adalah anak pertama dari dua bersaudara. Rifqy menghabiskan masa kecilnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, karena orang tuanya bekerja sebagai PNS dan ditempatkan di sana. Lebih kurang enam tahun Rifqy tinggal di sana. Dan di sekitar tahun 1999, Rifqy dan keluarganya pindah ke Aceh.
Saat ini Rifqy sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Rifqy sebenarnya sempat berkuliah di jurusan Agronomi di tahun 2005 tapi kemudian Rifqy pindah ke Akuntansi di tahun 2006.
Pengalaman di Oberlin
Rifqy berkuliah selama lebih kurang empat bulan di Oberlin College. Kampus yang bernama College of Arts & Sciences Admissions, beralamat di 101 N. Professor St., Oberlin, OH 44074.
Sistem perkuliahan di Amerika berbeda, yaitu mahasiswa boleh mengambil beberapa subjek yang berbeda, atau antar-jurusan. Di sana, Rifqy mengambil 12 kredit, yaitu mata kuliah fotografi digital, komunikasi visual, pengantar program komputer, dan hubungan internasional. Rifqy mendapat Index kumulatif di atas 3 untuk semester itu. “Sayangnya nilai itu tidak bisa ditransfer ke universitas di Indonesia”, katanya berseloroh.
Karena kesalahan pengurusan administrasi di awal, Rifqy tinggal dengan tiga orang dosen Unsyiah yang juga mengikuti program itu bersama dalam sebuah rumah yang khusus disediakan bagi tamu universitas. “Sebenarnya saya lebih senang tinggal di asrama, biar proses membaur lebih mudah”, katanya.
Ada pengalaman menarik yang dirasakan Rifqy ketika pertama kali tiba di negeri Abang Sam. “Saat itu, pesawat mendarat di Chicago. Karena perjalanan panjang selama lebih kurang enam belas jam, saya membawa novel. Ketika turun dari pesawat, saya tidak menyadari bahwa novel saya tertinggal di pesawat. Setelah dua jam kemudian, saya baru sadar. Saya mencoba untuk mendapatkan kembali novel saya. Saya pergi ke Departemen Lost and Found (Hilang dan Temu) Maskapai Penerbangan itu. Saat itu di loket itu tidak ada orang. Di sebelah loket itu ada sebuah loket, saya kira itu loket petugas keamanan. Saya bertanya pada mereka, orang sebelah kemana ya? Mereka menjawab. Ada orang tidak? Tidak, jawab saya. Nah, itu urusan kamu. Hal ini tentu berbeda dengan budaya orang Indonesia, bila kita bertanya hal begitu, biasanya orang itu akan mencoba mencari di mana letak posisi petugas yang ada di loker Lost and Found Maskapai Penerbangan itu. Novel saya sah tidak diketahui dimana keberadaannya.”
“Pengalaman lainnya yaitu saat di bagian imigrasi atau custom bandara. Biasanya orang asing yang datang ke Amerika akan diwawancarai. Kebetulan yang mewawancarai saya sepertinya dari etnis India (Asia). Saya kaget, karena di Amerika ada pemeringkatan negara-negara berdasarkan tingkat keamanannya. Dan Indonesia, berada pada rating negara teroris. Sejajar dengan Afghanistan, dan beberapa negara Arab,” ujarnya.
Hal yang paling menyenangkan bagi Rifqy saat berada di negeri Abang Sam adalah melihat salju. “Akhirnya saya dapat melihat dan bermain dengan salju. Salju yang biasanya hanya dapat saya lihat di film televisi, akhirnya dapat saya rasakan di tangan saya, dan merasakan dinginnya musim salju”, kata Rifqy dengan riang.
Oberlin College, menurut Rifqy, adalah kampus yang amat sangat liberal. Kampus ini sangat bebas. Mereka mengkampanyekan safe sex, anti diskriminasi terhadap minoritas, melegalkan homoseksualitas dan lesbian, tidak membedakan orang berdasarkan agama. “Saya beruntung ketika saya masuk ke sana, saya langsung di semester dua. Bila saya masuk dari semester pertama, maka saya akan mendapatkan sebuah paket yang isinya tentang panduan safe sex dari pihak kampus”, katanya. Tambah Rifqy, “Saat itu, di Palestina sedang ada agresi Israel. Mahasiswa Islam dan Yahudi, bersama-sama membangun forum, untuk bersama-sama mencari solusi penyelesaian konflik Palestina.”
Pakaian mahasiswa juga tidak diatur. Ada yang masuk kuliah memakai celana pendek. Di depan dosen mengangkat kaki. Makan dan minum di kelas saat pelajaran. Kadang-kadang mahasiswa juga membuka laptop, tapi bukan mencari bahan tentang pelajaran itu.
Waktu kuliah cuma 1 jam. Antara dosen dan mahasiswa tidak ada jarak. Dosen memberi waktu yang amat sangat lapang, untuk bertemu dengan mahasiswa, asalkan mahasiswa itu membuat janji terlebih dahulu. Dan 90%, dipenuhi pertemuannya. Saat di kelas hubungan internasional, ada kelas diskusi. Mahasiswa berdiskusi dan mengkritik segala hal atas suatu masalah atau kasus. Efeknya yaitu pola berpikir kritis mahasiswa meningkat. “Itu yang saya rasakan efeknya dari diskusi itu”, katanya.
Rifqy mengatakan pada satu bulan pertamanya di Oberlin, dia tidak memiliki kawan dekat. Mahasiswa setempat juga tidak menyangka Rifqy berasal dari Indonesia, karena lazim bagi mahasiswa di situ melihat rupa wajah Asia.
Rifqy merasa bersyukur tidak pernah salah memahami dalam komunikasi sehari-harinya dengan masyarakat di Amerika. Rifqy melihat bahwa kondisi yang diterapkan di Amerika, kadang kala terkesan lebih islami dibandingkan dengan masyarakat Islam di Aceh sendiri. Rifqy senang dengan budaya mengantri, budaya toleransi, budaya menghormati privasi orang lain, budaya berkendara dengan baik dan menghormati pengendara yang lain, setiap menjumpai orang asing selalu disenyumin, dan publiknya sangat suka mengatakan thank you, sampai hal-hal terkecil. “Dan juga, misalnya kita mau masuk ke toko. Walaupun kita masih berjarak sekitar lima meter, pengunjung yang ingin keluar, menunggu dan menahan pintu agar tetap terbuka, dan menunggu kita masuk,” tambah Rifqy.
Rifqy yang juga senang membaca dan menulis, senang karena puisinya dimuat di jurnal seni dan sastra di Oberlin College. Puisi yang berjudul “A Folklore About You” dimuat di edisi musim dingin di tahun 2008. Puisi di bagian awal tulisan ini adalah bagian dari puisi karya Rifqy.
Bahasa Inggris itu Mudah
Rifqy bingung ketika ada beberapa temannya yang meminta trik khusus bagaimana untuk mudah menguasai bahasa Inggris. “Aduh, saya juga bingung. Intinya ya kita harus belajar dan melatih diri,” katanya. Rifqy hanya belajar di kursus sampai dia bersekolah di tingkat menengah pertama. Pertama sekali Rifqy berbicara bahasa Inggris yaitu di sebuah program radio di kanal Nikoya, dan juga berinteraksi dengan tetangganya yang orang asing. “Saya terkadang mendengar lagu yang berbahasa Inggris, menonton film yang berbahasa Inggris, membaca, dan berbicara sendirian di depan cermin,” tambahnya.
Rifqy berpesan agar kita tak perlu malu untuk belajar mempraktikkan bahasa Inggris. Ajak teman untuk saling berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Tak perlu malu dengan pandangan orang yang mungkin menganggap kita sok ke-british-british-¬an. Tak perlu malu dengan berbicara bahasa Inggris. Kan itu bukan sesuatu yang melanggar norma hukum, agama, adat, susila. Semua orang bisa. Walau tidak dianugerahi langsung bahasa Inggris, tapi kita kan bisa belajar. Dan juga jangan cuma belajar pas menjelang ujian saja. Kita harus selalu belajar dan memperbaiki kesalahan.
Rizki Alfi Syahril
Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=1357