Siaran Pers | DETaK
Darussalam- Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Unsyiah (MPM-U) melaksanakan Sidang Paripurna Pengesahan Undang-Undang Dasar Mahasiswa (UUDM) Universitas Syiah Kuala pada Minggu, 15 September 2019 di Balee Kerukon, Fakultas Teknik Unsyiah.
Pelaksanaan sidang paripurna tersebut dinilai cacat oleh sejumlah pihak. Pasalnya, sidang yang dilaksanakan oleh MPM-U tidak tertib administratif. Dimulai dari surat bertajuk permohonan pelaksanaan sosialisasi UUDM, undangan menghadiri sidang, serta diskusi publik yang masih kurang dari segi persiapan.
“Saya mendapatkan surat undangan saja H-2 sidang. Ini sangat tidak etik dan tertib administrasi. Bahkan, surat yang diberikan tanpa ada amplop surat,” tutur Siswandy, selaku Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).
Anggota DPM Unsyiah, Maryono juga menyebut semua anggota majelis tidak mendapatkan surat undangan yang resmi, hanya mengandalkan broadcast aplikasi pesan-Whatsapp.
“Ini sangat tidak etis untuk sidang sakral membahas UUDM yang akan diterapkan di seluruh mahasiswa Unsyiah,” tambah Maryono.
Di samping itu, MPM Unsyiah dinilai terlalu terburu-buru untuk mengesahkan UUDM ini. Hal ini dikarenakan tidak adanya diskusi publik dan belum melibatkan semua elemen mahasiswa. Padahal, dalam hukum kenegaraan Indonesia, syarat membuat Peraturan Perundang-Undangan harus melibatkan Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR RI serta DPD sebagai lembaga legislatif.
Namun, konsep tersebut tidak diterapkan oleh MPM Unsyiah. MPM-U hanya melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) sekali dan hanya melibatkan internal MPM-U itu sendiri. Bahkan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsyiah sebagai lembaga eksekutif juga tidak dilibatkan dalam hal ini.
“Saya khawatir, kekecewaan dan gejolak mahasiswa akan timbul jika UUDM yang tanpa sosialisasi ini diterapkan di mahasiswa, atau UUDM ini hanya kita jadikan simbol untuk cari muka di hadapan mahasiswa,” pungkas Siswandy.[]
Editor: Nurul Hasanah