Karya Muarrief Rahmat
Hari ini masih seperti hari-hari sebelumnya. Ketika aku duduk di pagi Minggu di warung kopi yahwa, sebutan untuk abang dari ayahku. Warung kopi ini agak sempit yang dibatasi oleh dinding-dinding bambu, mejanya pun terbuat dari batang pohon kelapa yang sudah diamplas terlebih dahulu. Maklum, warung kopi atau istilah lainnya warkop kalau di kampung memang begitu adanya, berbeda dengan di kota yang lebih modern yang dilengkapi dengan Wi-Fi. Dan bila tidak ada Wi-Fi, mungkin saja mereka tidak mau bermalas-malasan untuk duduk berjam-jam di warkop tersebut. Walaupun ada yang duduk, itu pun hanya orangtua dan para pengangguran yang entah mengapa hanya melamun saja kerjaannya.
Suasana pagi itu di kedai kopi yahwa ramai dengan gurauan para pemuda dan petua-petua kampung yang masih “setia” dengan lentingan rokok daun nipah. Sekali-kali terdengar suara hirupan air kopi, “ hruup… hruup… hruup”. Aku tak tahu di mana letak kenikmatan kopi tersebut, tapi mereka dengan leluasa merasakan kenikmatan secangkir kopi di pagi yang masih berkabut. Aku menempati salah satu sudut kedai itu. Aku memesan kopi pada yahwa, kebetulan pagi itu dia yang berjualan.
“Yahwa, kupi susu satu ya!”
“Ya, tunggu sebentar,” sahut yahwa dengan nada seadanya.
Sambil menunggu kopi disiapkan, yang disuguhkan lebih dulu adalah kuenya. Banyak ragam mcam kue-kue itu. Seperti pulot, timphan, kue lapis dan lain sebagainya.
Semua kue itu tanpa bahan pengawet, jadi bukan hanya kelezatan yang kita peroleh, tapi juga sehat pastinya. Kalau ingat masalah kesehatan, aku jadi teringat akan satu hal dalam hidupku ini. Ketika itu sore Sabtu. Pertemuanku dengan Aisyah untuk yang terakhir kalinya.
Sore itu memang hujan masih dengan rintik-rintiknya membasahi tanah endatu ini. Aku duduk sendiri menatap anak-anak kecil yang dengan senangnya bermain sepakbola yang sesekali terdengar gelak tawanya. Dari kejauhan tampak seseorang sedang menuju ke arahku. Tanpa ada perintah, aku langsung mengalihkan pandanganku.
Ternyata sesosok perempuan dengan berpayung menatap ke arahku. Tak kusangka itu Aisyah. Dia adalah gadis yang kulamar beberapa bulan yang lalu, namun Aku tak diterima oleh ibunya untuk menjadi calon menantunya. Waktu itu setelah usai shalat jum’at, Aku langsung menuju ke rumah Aisyah. Jarak rumahnya memang agak jauh. Maklum saja motor yang kupunya lebih tua dari umurku. Motor C-70 kepunyaanku itu keluaran tahun pertama. Bayangkan saja jalannya bagai kura-kura beranak dan sering mogok tanpa sebab yang jelas. Motor ini bukan hasil dari korupsi seperti elit politik negeri ini yang bangga dengan mobil hasil curian dari orang-orang miskin.
Sesampai di rumah Aisyah, kulihat beberapa orang sedang sibuk dengan berbagai kegiatan. Sepertinya akan ada satu hajatan penting di rumah ini. Di depan rumah berdiri ibunya Aisyah yang dari tadi menatap tajam ke arahku. Ayahnya meninggal dalam musibah tenggelamnya kapal Gurita beberapa tahun silam. Ibunya mempersilahkanku masuk ke dalam. Aku duduk di kursi sofa nan empuk, bukan seperti di rumahku yang ada hanya kursi bambu hasil buatan Utoh Liah yang belum pernah sama sekali kursi bambu buatannya itu masuk daftar ekspor.
Ibunya menyuguhkan secangkir teh hangat kepadaku tanpa didampingi penganan dan kue. Kuteguk air itu tanpa ada arahan dari sang calon mertua. Maklum saja dari tadi berangkat baru kali ini aku minum air. Beberapa detik berselang. Kusampaikan niatku ingin melamar anaknya yaitu Aisyah. Segalanya sudah kukatakan padanya, bahwa aku benar-benar ingin memperistrikan Aisyah.
Namun, betapa terkejutnya aku ternyata Aisyah sudah duluan dilamar oleh orang lain. Katanya pelamar itu adalah seorang pengusaha muda yang punya saham di perusahaan-perusahaan lokal. Besok rencananya akan dilakukan acara pertunangan di rumah ini. Aisyah juga sudah menyutujuinya. Apa hendak dikata maksud hati memeluk gunung. Aisyah adalah calon dokter. Tapi, aku hanya sarjana pengangguran, yang hanya tamatan sarjana keguruan. Apa yang akan aku beri kepada anaknya, itu yang dipikirkan oleh ibu Aisyah . Ibunya juga mengatakan agar aku tak banyak mengharap lagi,
“Tak ada yang bisa kamu andalkan” sindir perempuan setengah baya tersebut.
Kuteguk teh itu sekali lagi sebagai tanda perpisahan. Selanjutnya aku berpamit padanya dan juga Aisyah yang dari tadi duduk menyendiri di ruang keluarga bersama adiknya. Kuhidupkan motorku yang sudah dari tadi kepanasan. Lalu, aku kembali beranjak pulang lagi ke kosanku di Darussalam.
***
Aisyah yang dari tadi menunggu dengan berpayung dari hujan mendekatiku, namun masih ada jarak di antara kami.
“Maaf, ini sudah menjadi keputusanku dan untuk kebaikan bagi kita di kemudian hari,” ia menjawab dengan nada melemah.
Setelah itu dia pamit pulang, tanpa ingin tahu jawaban yang akan kukatakan padanya. Aku membisu masih teringat kata-kata terakhirnya itu, ternyata kekayaan dapat meleburkan cinta seseorang. Benar sekali pilihanmu itu, Aisyah, walaupun kamu nanti jadi istriku toh mungkin kamu akan menderita, aku membatin.
Hujan belum juga reda. Suasana di Lapangan Tugu juga sudah tak seramai sebelumnya. Kicauan burung tak terdengar. Hanya motorku ini yang selalu setia menjadi pasangan dalam berbagai keadaan semenjak pertemuan pertamaku dengan Aisyah sampai perpisahan dengannya. Dalam rintikan hujan ini kukendarai motor bututku dengan berbasah-basahan yang seakan tak mau berhenti menyirami bumi ini. Aku pulang ke kediamanku yang dapat dikatakan sebuah gubuk, namun masih ada segi eksostisnya.
***
Kopi susu sudah dari tadi disuguhkan yahwa di saat aku melamun panjang mengenang sejarah yang pernah hinggap di hati ini. Yahwa mengejutkanku.
“Hai ka jep kupi-kupi dile, bek gadoh tahee!” (minum kopi dulu, jangan asyik melamun!)
“Ya yahwa) sahutku dengan sedikit terkejut.
Kopi sudah dingin tak senikmat orang yang meminum di awal tadi. Kuteguk hampir habis kopi tersebut. Kuambil satu kue pulot, lalu kukunyah habis. Rasanya sangat enak dan manis, lebih enak lagi bila dimakan dengan susu.
Kuteguk kopi susu ini sekali lagi, kuenya tak banyak yang kumakan. Uang di sakupun pas-pasan. Cukup untuk sekedar mengisi kerisauan perut ini. Kubayar semua pesananku yang tadi pada yahwa lantas pulang ke rumahku, yang merupakan peninggalan ayahku semasa dia hidup.
Keseharianku sekarang ini adalah membantu ibu di sawah dan memelihara ternak kepunyaan orang yang dipercayakan kepadaku untuk memeliharanya. Aku tidak tinggal lagi di Kuta Raja, aku pulang untuk membantu ibuku yang sudah mulai sakit-sakitan di usia senjanya.
Kutinggalkan semua kenangan yang terjadi di sana dan juga kenangan tentang Aisyah yang mungkin sekarang sudah mendapatkan kebahagiaan yang dikatakannya itu. Sementara, aku juga mendapatkan kebahagianku sendiri di sini. Aku dapat membantu ibuku. Membantu segala kebutuhannya. Selalu kuberikan yang terbaik untuknya, Ibu, kaulah cinta pertamaku di dunia ini…
Penulis adalah mahasiswa FKIP Bimbingan dan Konseling Unsyiah Angkatan 2010, berdomisili di Banda Aceh.