Feti Mulia Sukma | DETaK
Siang ini tidak panas tidak juga mendung, adem. Angin sepoi-sepoi terlihat nakal menyentuh pohon rambutan depan rumahku. Dari balik gorden oranye tebal, mataku diam-diam mencuri pandang pada laki-laki yang saat ini berdiri tepat di depan pohon rambutan. Aku masih belum yakin apakah itu Bang Iyan atau bukan. Postur tubuh dan gaya rambutnya cukup meyakinkan. Suara yang sayup-sayup terdengar juga agaknya sama dengan suara Bang Iyan. Karena merasa belum yakin, aku terus bertahan pada posisiku, mengintip dari balik jendela ke arah laki-laki yang kini mulai berjalan menuju meunasah.
Meunasah kampong Lubok Batee. Meunasah yang berdiri megah di tengah-tengah rumah penduduk ini sedang ramai. Bagaimana tidak, hari ini adalah H-1 menuju bulan ramadhan. Kebiasaan masyarakat Aceh melaksanakan tradisi meugang juga dilakukan masyarakat gampong Lubok Batee. Setelah sehari sebelumnya mengumpulkan uang dan dana dari masyarakat untuk membeli daging, hari ini daging akan dimasak dan dibagikan kembali ke masyarakat. Ramai dan riuh, rumahku yang terletak tepat di depan meunasah ini merasakan sensasinya. Setelah terbiasa mendengar suara azan berseru lantang hingga jantungku bergetar, kini suara laki-laki muda dan paruh baya yang saling berseru terdengar jelas hingga ke tempatku mengintip. Di balik gorden oranye.
Laki-laki yang tadi kutebak Bang Iyan ternyata benar. Jelas di mataku kulihat Bang Iyan sedang tersenyum sambil sesekali memasukkan nangka ke dalam belanga besar yang lazim disebut beulangong itu. Tradisi meugang di gampong kami adalah dengan gotong royong memasak kuah beulangong. Di kesempatan seperti inilah silaturrahmi antar warga dikukuhkan. Mulai dari para pegawai negeri, teungku-teungku, mahasiswa bahkan anak-anak kecil bersatu melestarikan budaya. Begitu juga Bang Iyan, seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB), sama sepertiku.
Senyum yang ditebar Bang Iyan benar-benar tulus. Ia adalah senior yang tak banyak bicara. Di kampus dan organisasi aku tak memiliki banyak kesempatan untuk berbicara dengannya. Sama seperti kondisiku saat ini, hanya mengintip.
“Heeiii!! Cut kak, dari tadi dipanggil umi dari dapur! Kenapa nggak nyahut?” tiba-tiba Aina adikku memukul lenganku keras. “Cut kak enggak dengar na, kenapa?” jawabku pelan sambil mengusap bekas rasa sakit pukulan Aina. “Bantu umi masak sie reuboh!” belum sempat melanjutkan perkataannya, Aina tiba-tiba melirik ke arah jendela dan kemudian senyum menyebalkannya dilontarkan kepadaku “Lagi liatin Bang Iyan ya?” godanya sambil menertawakanku. “Apasih na, belajar sana biar lulus kuliah!” elakku asal kepada calon mahasiswi ini. “Yee.. udah lulus undangan juga! Kalau suka tu bilang, jangan cuma berani ngintip” sungguh, aku rasakan wajahku memerah karena malu. “Udah ah cutkak mau bantu umi” aku langsung berlari ke dapur meninggalkan Aina yang sedang terbahak-bahak menertawakanku.
Di dapur kulihat umi sedang ngomel-ngomel sambil mengaduk rendang. “Umi…” panggilku ragu-ragu.
“Kamu ya ra, ngapain aja sih! Ini umi sendirian udah masak sop, daging kecap, sekarang mau masak sie reboh lagi! Tega nanti umi pingsan?” omelan umi membuatku mematung. Kulirik keadaan dapur yang sedikit penuh. Daging kecap dan kuah sop yang sudah masak umi letakkan di atas meja. Aroma rendang yang sedang umi masak mengundang selera makanku. “Umi sanggup sendirian masak sebegini banyak?” tanyaku takjub. Umi menghela nafas sebelum menjawab pertanyaanku “Ya bagaimana, anak gadis di rumah ini pada sok sibuk” jawab umi sambil menekankan setiap kata-katanya.
“Sini-sini biar Rara bantu, buat sie reboh kan?” kupeluk umi dan kucium pelan pipinya. “Emang kamu bisa ra?” wah umi meragukan keahlianku. “Bisa, kalau umi yang ngajarin!” kulihat senyum umi mulai terukir di bibirnya. “Tapi mi, Rara sama Aina enggak suka sie reboh, umi juga kan? Jadi ngapain dimasakin?” iya, seingatku umi jarang menyajikan sie reboh di meja makan. “Ayah kan suka sie reboh ra,” jawab umi.
“Ayahmu suka makan setelah selesai tarawih, dan biasanya juga kalau sahur ayah makannya lebih awal dari kita kan, umi suka panasin sie reboh buat ayah karna ayah lahap makannya” kali ini umi tertawa sambil memperagakan cara ayah makan.
“Rara enggak suka baunya mi, tapi suka rasanya” sie reboh buatan umi enak, hanya saja karena baunya yang kuat dan susah hilang membuatku malas makan sie reboh. “Rara lebih suka sop” tambahku.
“Ra, kita masak bukan sekedar buat jadi lauk ketika makan, tapi juga melestarikan budaya” umiku yang berprofesi sebagai seorang guru ini mulai semangat menceritakan segala hal tentang sie reboh. “Sie reboh ini nggak sekedar daging yang direbus pake cabe merah, cabe rawit, cabe kering, kunyit dan garam. Kuliner satu ini budaya, ra”
Umi memberika centong yang digunakannya untuk mengaduk rendang kepadaku, kemudian mengambil beberapa bahan masakan dari dalam kulkas. “Olahan daging satu ini ra, kuliner pusaka khas Aceh Rayeuk.” Umi kembali mengambil centong dari tanganku dan memintaku membersihkan bahan-bahan tadi.
“Proses pembuatan sie reboh enggak ribet, kita tumis daging dengan bubuk cabai yang digiling. Biarkan dagingnya ini empuk dan lemaknya meleleh” lagi-lagi umi memberiku isyarat untuk mengambil rempah-rempah lain dan menghidupkan kompor. “Nanti kamu tambahin kunyit, lengkuas, jahe, bawang putih dan bawang merah, lada dan kemudian beri sejumput garam sampai rasanya pas di lidah” kuikuti instruksi umi satu persatu dengan seksama.
“Cukanya gimana mi?” tiba-tiba aku teringat dengan bau asam yang dihasilkan sie reboh. “Cukanya tambahin di akhir ra” jawab umi sambil terus mengaduk rendang. “Biar asam?” tanyaku. “Bukan sekadar bikin asam, cuka ini juga nantinya bantu bikin daging jadi empuk”
Cuka yang beraroma khas asam dan sedikit bau manis biasanya disebut cuka ijuk. Banyak terdapat di pasar-pasar tradisional. Seperti di pasar induk Lambaro. Cuka ijuk biasanya dijajakan oleh nyakwa-nyakwa dan ditempatkan berjajar dengan plik u dan minyak kelapa.
“Taruhnya jangan kebanyakan ra, asam,” pesan umi.
Sungguh, aku tak tahu bahwa sie reboh seistimewa ini, dan sebelumnya aku tak terlalu peduli. Level kemampuan memasakku masih bertahan di tahap tumis dan goring. Kurasa sie reboh sedikit berat. Tetapi, kesabaran umi dalam membimbingku membuatku tambah semangat. Sebenarnya agak kesal dengan Aina yang tidak bantu apa-apa dengan dalih cari info untuk penerimaan mahasiswa baru di kampusnya, Universitas Brawijaya. Tapi kunikmati kesempatan berharga ini sekaligus menyenangkan hati umi.
“Umi, Rara pernah dengar cerita kalau sie reboh ini jadi bekal dulu pas berperang ya?” tiba-tiba aku ingat cerita yang pernah kubaca di internet untuk tugas kuliah. “Mungkin, kamu tahu ra? Biasanya setelah sie reboh matang, kita dinginkan sampai lemaknya membeku. Baru kemudian kita simpan dikulkas. Dan hebatnya lagi dia mampu bertahan sampai sebulan. “Sama seperti rendang kan” jelas umi.
“Jadi kalau ayahmu mau makan pake sie reboh, umi tinggal panasin aja. Ya mungkin itu alasan dijadiin bekal kali ya?” umi tertawa geli meyakinkan Humaira.
“Mungkin juga umi” jawabku. “Kamu harus pintar masak ra” kali ini wajah umi tampak serius. “Kamu boleh kuliah di mana aja, cari ilmu dan pengalaman di mana aja. Tapi ingat jangan lupakan budaya kita” umi menarik napas sebelum melanjutkan penjelasannya “menjadi istri dan seorang ibu berarti menjadi seorang koki. Kamu harus masakin keluarga kamu masakan yang lezat, enak, halal dan yang paling penting bantu menghemat pengeluaran. Anak teknologi pangan harus paham,” seperti ada sebuah desiran di nadiku. Umiku wanita hebat, dan aku ingin menjadi seperti dirinya.
Selama menghabiskan waktu di dapur. Umi terus mengaduk rendangnya sambil sesekali merentangkan tangannya karena merasa bosan. Dan memasak rendang ternyata lebih banyak memakan waktu dibandingkan dengan memasak sie reboh. Ketika aku selesai memasak sie reboh, ada perasaan bangga dalam diriku karena mampu belajar sampai ke level sulit ini. Selang beberapa menit aku mematikan kompor selesai memasak sie reboh, umi juga selesai dengan rendangnya.
Ketika aku hendak kembali ke kamar untuk beristirahat menunggu waktu asar, tiba-tiba ada yang mengucap salam sambil mengetuk pintu belakang. Aku kenal suaranya, suara yang mampu membuatku senyam-senyum sendiri sambil merasakan kupu-kupu yang terbang di dadaku. Iya, suara Bang Iyan.
“Ra, coba liat siapa!” perintah umi kusahuti dengan semangat.
Dan benar saja setelah memakai kerudung dan membuka pintu kulihat Bang Iyan tersenyum sambil menengadahkan tangannya.
“Ra, ayahmu minta diambilkan garam” ucapnya. Melihatku mengerutkan kening Bang Iyan melanjutkan penjelasannya. “Si Mail anak Pak Geuchik numpahin garam buat kuah beulangongnya” lanjutnya sambil tertawa pelan. Aku meng-iyakan dan kemudian masuk ke dalam untuk mengambil garam.
Setelah memberikannya kepada Bang Iyan, dia tidak kunjung pergi malah melirik kedalam rumah. “Kamu masak ya?” tanyanya. “Iyanih, bantu umi” jawabku menahan gugup. “Wah, pintar masak dong kamu ra” kali ini aku semakin gugup. “Enggak juga bang, Rara masih belajar” jawabku seadanya.
“Masak sie reboh bisa kamu ra?” tanyanya lagi. “Baru juga belajar, sie reboh kesulitannya tinggi Bang Iyan, Rara harus banyak belajar biar benar-benar bisa masak sie reboh yang enak” jawabku.
Ketika melihat Bang Iyan tersenyum, aku tertegun. “Aku tunggu sampai kamu bisa buat sie reboh yang enak Humaira, kamu gak perlu buru-buru. Aku tunggu sampai kamu lulus kuliah dan bisa masakin aku sie reboh” setelah mengakhiri perkataanya, Bang Iyan undur diri dan kembali ke meunasah meninggalkan aku yang membeku sambil mencoba memahami maksud perkataan Bang Iyan. Oh meugang! Aku butuh sie reboh.