Kita sering membaca berbagai kasus kejahatan korupsi dimedia massa yang dipraktekkan oleh oknum pejabat pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Adapun kasus dipusat seperti bank century, gayus, mafia pajak, maupun kasus–kasus lainnya. Sedangkan kasus di daerah seperti kasus penggelapan uang deposito, dana pajak, dana hibbah banjir, besi jembatan, kasus yayasan Tarbiyah dan 71 kasus (menurut gerak Aceh) lainnya yang belum terungkap di media massa. Kasus-kasus tersebut terus bertambah seiring dengan semakin canggihnya teknologi dan ketidaktegasan hukum yang berlaku. Apabila kejahatan korupsi tersebut terus dilakukan, ada satu pertayaan, kapan pemerintah kita dapat mewujudkan clean governance atau good governance baik di pusat maupun di daerah.
Pemberantasan kejahatan korupsi memang merupakan permasalahan krusial yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, baik pasca runtuhnya rejim Soeharto sampai presiden Susilo Bambang Yudoyono. Beberapa kebijakan penting telah dikeluarkan seperti Undang-Undang Anti korupsi No. 30/2002, Undang-undang No. 32/2002 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Intruksi Presiden (Inpres) No. 5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2005 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi kebijakan-kebijakan tersebut tidak pernah menyebabkan kejahatan korupsi menurun, malah semakin meningkat. Para pelakupun tidak pernah jera dan semakin lihai berlindung di sebalik legalitas sistem, proses dan prosedur undang-Undang tersebut.
Mengapa kasus-kasus kejahatan korupsi belum dapat dibasmi oleh pemerintah sampai saat ini, hal ini disebabkan karena kejahatan korupsi tidak bersifat statis, juga kejahatan-kejahatan korupsi mempunyai kekuatan tidak hanya cukup untuk mempertahankan diri, tetapi mampu untuk secara aktif meluaskan wilayah kekuasaannya. Kekuatan tersebut didukung oleh kelompok yang luas dan sangat professional dalam bidangnya. Mereka mempunyai kepentingan dan kekuatan. Kekuatannya terletak pada kekayaan dan kekuasaan yang disalahgunakan. Melalui kekuatan keuangan yang besar dan penyalah-gunaan kekuasaan mereka menjebak dan sekaligus merusakkan opini publik terhadap upaya-upaya yang hendak mewujudkan pemerintahan yang bersih Akibatnya, bukan tidak mungkin, sebagian dari reformis yang pada awalnya bersikap membasmi kejahatan korupsi, menjadi bagian atau bahkan menjadi alat dari kejahatan itu sendiri. Kelemahan atau kekeliruan kecil yang terjadi pada kelompok reformis akan diekspose secara luas untuk menghilangkan kepercayaan rakyat dan menghancurkan karir mereka. Upaya untuk mempertahankan tindakan korupsi juga dapat terjadi dengan mengorbankan seseorang diantara mereka atau sejumlah kecil kekayaan demi menyembunyikan sejumlah kasus lain yang lebih banyak atau nilainya jauh lebih besar.
Benar seperti realita yang digambarkan oleh Huntington ( 1991:256) tentang praktek-praktek kejahatan korupsi dalam konteks kehidupan politik terutama pada era demokrasi transisional, perilaku korup para pejabat publik dan aktivis politik nampak pada awal transisi dari sistem politik otoriter ke sistem politik yang lebih demokratis. Secara politik, ketika pemerintah demokratis menampakkan kaki dipanggung kekuasaan dengan munculnya koalisi-koalisi longgar dan fragmentatif sehingga mengurangi efektifitas pemerintahan demokratis dan meningkatnya tuntutan percepatan demokratisasi, hal ini kemudian teryata tidak berjalan paralel dengan kemajuan ekonomi dan berbagai solusi problem sosial, bahkan ketika para pemimpin demokrasi mengendalikan pemerintahan maka yang nampak adalah inkompetensi, arogansi dan korup.
Kejahatan korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, secara singkat sering disebut KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), atau dengan istilah lainnya kebobrokan-sistemik. Artinya, kebobrokan itu tidak hanya terjadi pada satu unit organisasi atau institusi saja, tetapi telah meluas menguasai keseluruhan sistem pemerintahan. Kebobrokan-sistemik itu tidak hanya berbentuk pencurian/penggelapan uang negara, akan tetapi dapat juga berbentuk berbagai kelemahan pelayanan publik dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai contoh, beberapa bentuk kebobrokan-sistemik itu dapat terjadi dalam bidang-bidang seperti prosedur pelayanan, pembinaan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Dalam bidang prosedur pelayanan, praktek korupsi dapat terjadi seperti pemberian fasilitas istimewa kepada famili, kerabat atau konconya, penggunaan hak prerogatif yang tidak wajar dan proporsional oleh pimpinan, sikap yang minta dilayani ketimbang melayani, upeti kepada atasan, rumit, lambat dan mahalnya pelayanan masyarakat, penggelembungan biaya, dan anggapan rendah kepada rakyat sebagai pemilik kekuasaan negara.
Dalam bidang sumberdaya manusia, dapat terjadi seperti politisi yang tidak bermoral dan tidak professional, pejabat yang tidak kompeten dan tidak bermoral, tingkat gaji yang tidak mencukupi untuk hidup, sistem karir tertutup dan pilih kasih, penilaian rendah pada pendidikan dan kemampuan. Sedangkan bidang kelembagaan seperti birokrasi yang tidak relevan dengan tugas dan tanggungjawab, sehingga terdapat banyak tugas yang tidak tertampung dalam satu unit organisasi sementara unit organisasi lain menganggur, terlalu banyak organisasi ad hoc dan tidak jelas batas kedudukan, wewenang, tanggungjawab, biaya dan jangka waktu, struktur organisai yang tidak proporsional dan tidak berorentasi pada pelayanan, anggaran belanja yang tidak relevan dengan masalah dan tujuan yang ingin dicapai.
Mungkinkah pemerintahan yang bersih dapat diwujudkan melalui pemilihan kepala pemerintahan (Presiden, Gubernur, sampai ke Bupati) yang bersih ?, Ini merupakan satu strategi perubahan dari atas. Sebagaimana ungkapan, “hanya sapu yang bersih dapat membersihkan lantai yang kotor”. Akan tetapi, bagaimana mendapatkan sapu yang bersih itu di saat kebobrokan-sistemik sedang menimpa bangsa kita.? Jawaban dari pertanyaan ini menghadapkan kita pada persoalan lebih lanjut dari proses pemilihan kepala pemerintahan selama ini yang berlangsung dalam lingkungan ‘korupsi politik’. Suatu istilah yang sering dipakai oleh Larry Diamond untuk menjelaskan berbagai fenomena politik yang muncul pada era demokrasi transisional atau era konsolidasi demokrasi. Istilah lain tetapi dalam lingkup lebih sempit adalah ‘korupsi kebijakan’.
Pemilihan kepala pemerintahan selama ini tidak bersifat gratis, ada beaya politik yang harus dikeluarkan. Baik iuran partai, uang rokok, beaya proses pencalonan, biaya kampanye, serta biaya-biaya lainnya seperti “uang politik” atau “politik uang”. Beaya-beaya tersebut merupakan bagian ‘ekonomi beaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh sang calon. Sehingga, ketika mereka sudah terpilih sebagai kepala pemerintahan (eksekutif) maka yang akan dilakukan adalah bagaimana menyiasati keadaan agar beaya-beaya tersebut tidak hanya dapat tertutupi, tetapi dapat memperoleh ‘penghasilan lebih’ untuk mengembalikan modal dalam proses menjadi Kepala pemerintahan . Karena itu banyak pihak menjadi apatis dan berpikir, bahwa penggantian kepala pemerintahan bukan satu solusi untuk menyelesaikan persoalan yang sudah “membudaya” itu untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Yang paling ironi, ada paradikma yang berkembang dalam masyarakat kita sebaiknya calon kepala pemerintahan dari ‘orang kaya’, selain mereka dapat memberikan ‘sumbangan politik’ dan dana-dana lainnya. Akan tetapi mereka tidak sadar penduduk kita terdiri dari “orang miskin” yang sangat memerlukan bantuan. Disamping miskin harta, mereka juga miskin pengetahuan politik sehingga mudah sekali terpengaruh oleh “sumbangan politik”, “hadiah politik” serta “politik kedermawanan”. Akibatnya, apabila kepala pemerintahan yang terpilih dari golongan “orang kaya”. Maka nasib rakyat tidak pernah diperdulikan, bagi ‘orang kaya’ suara kemenangan merupakan hasil ‘korupsi politik’ bukan pilihan ikhlas dari rakyat.
Menurut penulis, Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih tidak akan pernah berhasil jika tidak diiringi dengan perubahan sistem yang didukung oleh semua kalangan masyarakat. Pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum seperti yang selama ini sering dilakukan tidak akan mampu untuk mencegah terjadinya korupsi, tanpa ada perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Penegakan hukum pidana misalnya, lebih berorintasi pada penanganan kesalahan yang sudah terjadi. Bukan untuk melakukan pencegahan yang belum terjadi. Hukuman memang dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran hukum. Tetapi hukum tidak mempunyai wewenang untuk menangani pelanggaran yang belum terjadi, kecuali ada indikasi yang dapat dibuktikan akan terjadinya pelanggaran.
Karena itu perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada moral dan ilmu pengetahuan terutama dari generasi muda yang bertekat mewujudkan pemerintahan yang bersih. Peranan generasi muda untuk melakukan sesuatu demi terwujudnya pemerintahan yang bersih menjadi sangat penting. Disatu pihak kaum muda yang bersih dapat bertindak sebagai “tim-seleksi” untuk memilih orang-orang yang bersih dan professional menjadi calon kepala pemerintahan di semua tingkat. Kalau bukan dengan cara demikian, kesinambungan korupsi dan kebobrokan tidak akan pernah berakhir. Dilain pihak, generasi muda tersebut juga dapat menjadi perantara bagi rakyat awam dalam memberikan penilaian terhadap pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Semoga…!
Oleh: Effendi Hasan
Ia adalah Mahasiswa Program Doktor bidang Political Sains Universiti Kebangsaan Malaysia