Beranda Headline Dua Unsur Pondasi Kebangkitan Bangsa Yang Kita Lupa

Dua Unsur Pondasi Kebangkitan Bangsa Yang Kita Lupa

BERBAGI

Opini | DETaK 

Biografi Dr. Sutomo (Sumber: Google)
Biografi Dr. Sutomo (Sumber: Google)

Oleh : Muhammad Saifullah 

Bila berbicara tentang hari kebangkitan bangsa, maka kita akan terperangkap tentang perseteruan mengenai kapan seharusnya hari kebangkitan bangsa yang pasti, Budi Utomo atau Serikat Islam? Yang pasti berbagai pendapat telah dikeluarkan dari kalangan para tokoh masyarakat, sejarawan, aktivis, serta mahasiswa mengenai hal tersbut dengan lakon tulisan masing-masing. Tetapi bagi penulis, perseteruan tersebut tidak ada habisnya dan akan terus berlanjut, karena setiap manusia memiliki pemikiran dan pendapat yang tidak akan pernah sama namun semua itu adalah rahmat dari yang Maha Kuasa.

Iklan Souvenir DETaK

Kali ini penulis tidak menyinggung tentang siapa di antara ke duannya yang pantas disebut sebagai organisasi pergerakan pertama membangkitkan bangsa ini. Namun penulis lebih memfokuskan mengenai kebangkitan, persatuan, serta kemajuan bangsa.

***

Rapuhnya Pondasi Menggoyangkan Pilar Bangsa

Kita sering mendengar semboyan empat pilar batang tumbuh dalam kehidupan berbangsa dan negara, yang dalam pilar-pilar tersebut ada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan Bhineka Tunggal Ika. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah begitu gempur mensosialisasikan ke empat pilar yang menjadi penopang berdirinya bangsa, baik sosialisasi di tingkat siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum hanya untuk meningkatkan rasa nasionalisme. Namun sungguh disayangkan, ketika pilar-pilar penopang diusahakan untuk tegak berdiri dengan penerapan-penerapan melalui sosialisasi tetapi pemerintah lupa akan lebih pentingnya sebuah pondasi. Yang seharusnya pondasi ini merupakan cikal bakal untuk penahan tegaknya pilar-pilar dari bangsa ini.

Bagi penulis, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar, maju dan bangkit serta meningkatkan rasa nasionalisme dan integrasi bangsa bukanlah terletak pada empat pilar yang ada, namun terletak pada pondasi pijakan bagi pilar-pilar tersebut. Dan pondasi dari sebuah bangsa dan negara adalah sejarah dan budaya. Karena bagaimana mungkin pilar dapat berdiri dengan tegak dan kokoh bila pondasi begitu rapuh dan keropos.

Dampak dari rapunya pondasi bangsa kita bisa kita lihat pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di beberapa daerah Indonesia. Lemahnya akan pengetahuan tentang rasa kesatuan serta kesamaan tentang sejarah dan budaya bangsa mengakibatkan perpecahan konflik hingga berujung dengan pertumpahan darah, bahkan ingin memisahkan diri. Hampir setiap gejolak dari peristiwa di belakangnya ada pihak asing yang bermain dengan berdalih sebagai penengah dalam penyelesaian masalah, seperti kejadian di Aceh, Papua, Maluku, Poso dan beberapa daerah lainnya. Ini merupakan bagian politik Devide et Impera yang pernah digunakan oleh Belanda saat ingin menguasai Nusantara. Dinamika yang dibangun untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa yang besar ini menjadi kelompok-kelompok kecil dengan cara menguasai kepala pemerintahan, membatasi peran dari agama, merusak budaya asli yang ada, dan mengagung-agungkan serta memutarbalik sejarah yang sesungguhnya dari masing-masing daerah.

Selain itu permasalahan yang terjadi saat ini adalah bangsa kita telah kehilangan identitasnya. Secara tidak langsung budaya asli bangsa kita berlahan mulai menghilang dari tanah air kita? Tidak perlu jauh mencontohkan, dalam berbahasa saja kita lebih sering menggunakan dan membanggakan bahasa asing dari pada menggunakan Bahasa Indonesia. Terbukti dari beberapa universitas yang ada di Indonesia dan salah satunya adalah universitas saya sekarang mematokkan lulusan sarjananya harus bisa berbahasa Inggris dengan dibuktikan melalui Toefel. Padahal di Australia yang tidak memiliki hubungan budaya dengan bangsa kita malahan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran pilihan. Kita telah merusak apa yang menajdi cikal bakal serta identitas negara ini. Ini merupakan bukti, bahwa pondasi bangsa ini begitu rapuh, pilar-pilar yang ada dapat dengan mudah digoyangkan sehingga memberi kesempatan bagi pihak asing yang ingin menguasai dan melakukan neokolonialis di negeri ini.

Sejarah dan Budaya Adalah Pondasi Bangsa

Sejarah dan budaya merupakan dua unsur yang menjadi pondasi penting berdirinya sebuah negara, sebab dari sejarah kita belajar tentang kesalahan, kejayaan serta kebersamaan, dan dari budaya kita belajar untuk bersatu dan menyatu. Kebangkitan serta kemajuan dari suatu bangsa dan negara terletak pada kuatnya pemahaman serta terjaganya sejarah dan budaya dari bangsa itu sendiri. Karena sejarah dan budaya merupakan pondasi terpenting dalam berdirinya sebuah bangsa.

Bangsa-bangsa di Eropa merupakan salah satu contoh yang menghargai sejarah dan budaya, terbukti mereka bisa bangkit dari zaman kegelapan menuju zaman Renaissance. Kesadaran itu timbul setelah mereka percaya bahwa Romawi pernah memiliki peradaban yang tinggi dengan ilmu pengetahuan yang sudah maju. Kepercayaan itu berdasarkan mereka melihat bangunan-bangunan yang berdiri megah di sana. Inilah penyebab yang menjadi dorongan mereka untuk bangkit dan sadar lalu belajar dari masa yang telah ada. Hal serta cara-cara seperti inilah yang seharusnya dipahami dan diikuti oleh bangsa kita.

Di Indonesia sendiri pernah memiliki kerajaan-kerajaan besar dan pernah jaya di Nusantara serta diakui oleh dunia baik kekuatan, ilmu pengetahuan, maupun budayanya seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh Darussalam pada masa Hindu, Budha, dan Islam. Seharusnya bangsa kita banyak belajar dari kejayaan serta kesalahan yang pernah dilakukan oleh kerajaan yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, bukan hanya terhanyut oleh sejarah keangkuhan yang berujung perpecahan.

Dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan integrasi bangsa, marilah kita menjaga sejarah dan budaya kita yang ada. Bung Karno pernah mengatakan pada beberapa pidatonya,“Jangan sekali-kali melupakan sejarah” dan ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya” dan dalam pepatah Aceh di katakan,”Mate aneuk meupat jirat, Gadoh adat pat ta  minta” , bila diartikan Mati anak kuburnya bisa kita cari, tetapi bila adat hilang kemana kita akan mencari. Dari perkataan di atas, sungguh sangat berartinya bagi sebuah bangsa yang besar akan sejarah dan budaya, karena ke duanya merupakan identitas serta pondasi bagi berdirinya bangsa dan penguat untuk berpijaknya pilar-pilar penopang negara.

Mengenai tentang pentingnya ke dua unsur tersebut, ini merupakan tugas penting bagi pemerintah, tokoh masyarakat, dan kawan-kawan aktivis semua. Masyarakat terutama generasi muda harus lebih diperbanyak mempelajari tentang sejarah dan budaya bangsa ini. Agar masyarakat mengerti tentang pentingnya sejarah dan budaya, sebab pengetahuan masyarakat masih sangat minim sehingga akan dengan mudah dipengaruhi dengan hal-hal yang merusak integrasi bangsa ini.

Kita memang berawal dari daerah dan budaya yang berbeda, namun di dalam sejarah kita menjadi satu dalam proses terbentuknya integrasi sebuah bangsa, dengan satu budaya dalam bahasa dan di satukan berbentuk negara yang pernah diikrarkan pada Sumpah Pemuda, sebagai bentuk kesadaran akan senasib dan ingin bangkit bersama dari penindasan penjajahan.

Marilah bersama-sama kita menjaga sejarah dan budaya dari bangsa kita, sebab kalo bukan kita yang menjaga siapa lagi kelak mengajarkan persatuan dan kesatuan kepada anak dan cucu kita sebagai generasi selanjutnya.

***

Penulis adalah mahasiswa di salah satu jurusan pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah, angkatan 2011. Selain hobi menciptakan puisi, mahasiswa kelahiran Medan, Sumatera Utara, 01 Mei 1991 tersebut juga hobi camping, bermain musik, bernyanyi dan menciptakan lagu. 

Editor : Riyanti Herlita