Mulya Rizki Nanda | DETaK
Banda Aceh – Debat kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden RI yang dihelat di Balai Sarbini, Jakarta dan secara langsung ditayangkan di beberapa stasiun TV, turut menjadi perhatian bagi kalangan mahasiswa di Aceh. Perhatian itu berbentuk sebuah keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam peningkatan nilai objektivitas pemilih dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli mendatang.
Seperti hal nya yang dihadirkan oleh Komunitas Akar Rumput (KAR). Mereka memfasilitasi kegiatan nonton bareng dan diskusi membedah substansi debat kandidat Capres dan Cawapres ala mahasiswa di salah satu warung kopi di kawasan Lampineung, Banda Aceh tadi malam, Senin, 9 Juni 2014.
Pengawal acara, seluruh peserta yang hadir terlebih dahulu menyimak jalannya debat kandidat. Tampak hadir disana Dekan Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik, Syarifuddin Hasyim dan beberapa akademisi juga salah seorang perwakilan Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh.
Selepas itu, pada pukul 23.30 saat debat usai, sesi diskusi dibuka dan dipandu oleh Rajif Syarief, mahasiswa Fisip Unsyiah dengan memberi kesempatan kepada akademisi sekaligus pengamat politik, Aryos Nevada sebagai panelis untuk memberi tanggapan tentang debat kandidat capres-cawapres.
Dalam tanggapannya, Dia menyoroti beberapa hal yang mendasar dari seluruh segmen debat. Diantaranya adalah aspek pendekatan (approaching), metode, dan substansi dalam penyampaian visi-misi mengenai tema “Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih, dan Kepastian Hukum” dalam debat perdana itu.
Ihwal aspek pendekatan dan metode, Ilham berpendapat bahwa dari sisi birokrasi dan penegakan hukum Prabowo-Hatta lebih substantif dibanding Jokowi-JK yang cenderung berbicara mengenai teknis yang berdasar pada pengalaman dan praktik di lapangan.
Sedang mengenai Penegakan Hak Asasi Manusia, Dia menilai belum tergambarkan secara konkret dari pasangan kandidat Prabowo-Hatta. Demikian juga dengan Jokowi-JK pada persoalan yang sama, secara konsepsi menurutnya belum sangat jelas dipaparkan oleh mereka.
Sementara itu, Ilham Saputra dari perwakilan RRI Banda Aceh yang juga panelis pada diskusi itu justru menyoroti pertanyaan-pertanyaan yang dituju kepada lawan kandidat masing-masing capres-cawapres.
Seperti soal pemekaran daerah, menurutnya, pertanyaan Probowo tidak terlalu menohok pasangan Jokowi-JK. Ketika diberi kesempatan mengapa tidak ia menanyakan tentang aturan orang yang sudah menjabat kemudian mengundurkan diri begitu saja demi jabatan yang lebih tinggi. “Barangkali itu lebih tepat,” katanya.
Soal pertanyaan JK tentang HAM kepada Prabowo, menurutnya adalah sebuah pertanyaan yang menohok. “Saya kira itu adalah… kalau kita bayangkan zamannya Mike Tyson dan Olive, kena huge lah Prabowo itu ya,” katanya dengan canda.
“Kena huge telak tanpa in cover. Tanpa pertahanan,” lanjutnya lagi.
Dalam pandangannya, gestur seorang Prabowo menanggapi pertanyaan JK adalah gestur seorang militer. Gaya bahasa “mempertahankan negara… tanah air… tumpah darah” yang disampaikan oleh Prabowo menunjukkan identitasnya sebagai prajurit yang dibentuk dengan jiwa Sapta Marga yang sudah melekat pada dirinya.
“Itukan gaya bahasa tentara di masa orde baru,” jelasnya.
Dia juga memberi penilaian terhadap Prabowo dalam menjawab pertanyaan JK. Baginya, Prabowo hampir berada dalam situasi di luar kontrol. Yaitu pada saat dia menyampaikan kepada JK: “saya paham… itukan yang ingin bapak sampaikan?”
Namun, Dia menilai Prabowo dapat keluar dari situasi itu dengan statement yang dirasa cukup baik, bahwa Prabowo mengatakan “Kami bertanggung jawab kepada atasan, silakan tanya atasan saya!”
“Tanya atasan saya!” yang disampaikan Prabowo, menurut Ilham adalah sebuah momentum yang ia gunakan untuk mengembalikan serangan. “Dia tahu betul bahwa atasannya ketika itu, kini berada di kelompoknya Jokowi.”
Pendapat dan Analisa ala Mahasiswa
Selain pendapat dari dua panelis, peserta diskusi yang didominasi oleh mahasiswa juga ikut angkat bicara. Tanggapan, pandangan, dan pertanyaan sahut menyahut diantara mereka. Namun, ada pula yang merasa tak mendapat sesuatu yang baru dalam Debat Perdana Capres-Cawapres kali ini.
Adalah Winda Zulkarnaini, Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fisip Unsyiah. Dia merasa tak menemukan hal yang ditunggu-tunggu. Meski tak disebutkan jelas perihal itu, Winda merasa debat kandidat Capres-Cawapres kali ini mengangkat isu yang sudah ramai dibicarakan oleh masyarakat luas. “Seputar HAM, itu adalah pembentukan opini yang selama ini kita sudah ikuti,” katanya.
Meski demikian, dia mengaku akan tetap menunggu debat kandidat capres-cawapres selanjutnya.
Beda pula dengan mahasiswa yang lain, diantara mereka ada beberapa yang menyayangkan tidak disebutnya langkah-langkah serta komitmen Capres-Cawapres masing-masing kandidat dalam pemeliharaan perdamaian Aceh. Seperti halnya dengan yang disampaikan oleh Remol, sapaan akrab Reza Maulana Ketua BEM Fisip Unsyiah.
Namun, Firdaus yang juga mahasiswa Fisip Unsyiah tidak sependapat dengan hal itu. “Ini kan debat Capres-Cawapres yang tingkatnya nasional, tidak mungkin dibahas mengenai daerah. Terlebih Aceh secara Khusus.”
Tata, Presiden KAR justru mengemukakan pandangannya dalam melihat kontestasi Pilpres ini dari segi keberpihakan media pada salah satu kandidat. Ia merasa tidak menemukan kredibilitas pada pemberitaan media belakangan ini.
Namun, dibalik diskusi itu. Hal terpenting yang ingin disampaikan adalah bagaimana kita dapat jujur dan bijak dalam menentukan pilihan agar terlahir pemimpin yang berkualitas untuk memimpin negeri ini.[]
Editor: Mulya Rizki Nanda