Achmad Julio | DETaK
Darussalam – Perempuan bercadar dinilai telah berhasil menjaga kehormatan dan mempersembahakan kecantikan seutuhnya hanya kepada sang ayah dan sang suami. Cadar juga merupakan suatu langkah perisai bagi seorang muslimah yang merawat tubuhnya dari kepentingan duniawi sekaligus simbol kepercayaan bahwa ia bukanlah siapa – siapa di hadapan Allah SWT.
Senada dengan Fadwa El-Guindi, antropolog kelahiran Mesir, dalam Jilbab: Antara Kesalehan Kesopanan, dan Perlawanan (2008), menulis bahwa ketentuan memakai veil sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Babilonia, Mesopotamia, dan Asyiria, dan dipakai oleh wanita – wanita terhormat.
Istilah veil (atau voile dalam bahasa Perancis) biasa merujuk pada penutup tradisional untuk kepala, wajah, atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagai kata benda, veil berasal dari kata Latin vêla, bentuk jamak dari vêlum. Makna leksikalnya adalah “penutup”, dalam arti “menutupi” atau “menyembunyikan atau menyamarkan.”
Walaupun di berbagai Universitas di Indonesia terdapat kebijakan yang melarang mahasiswinya untuk memakai cadar, karena dinilai dapat menggangu proses akedemik yang berlangsung. Seperti yang diberitakan media online okezone.com pada 09 Agustus 2017 lalu. Dilaporkan bahwa pihak kampus Universitas Pamulang (Unpam) memperlakukan larangan bagi mahasiswinya untuk mengenakan hijab cadar.
Tidak hanya terjadi di Universitas Pamulang, kasus pelarangan mahasiswi bercadar juga pernah dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara (USU), Fakultas Kedokteran pada 30 November 1999. Dekan Fakultas Kedokteran mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya melarang pemakaian cadar di Fakultas tersebut. Alasannya, cadar dianggap menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen, selain itu, penggunaan cadar juga dianggap menyulitkan kontak dengan pasien ketika bertugas sebagai dokter.
Namun, apakah fenomena bercadar di kalangan mahasiswi Unsyiah terpengaruh oleh berbagai kasus di Universitas yang ada di Indonesia? Serta motivasi seperti apa yang dipegang pemakai sehingga tumbuh minat untuk memakai hijab cadar ?
Berangkat dari pertayaan tersebut, Tim Riset dan Data Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers DETaK Unsyiah menyelengarakan jajak pendapat guna mengetahui lebih dalam terkait fenomena mahasiswi bercadar di Unsyiah.
Responden dipilih dengan menggunakan metode non-probability quota, yaitu pemilihan responden sesuai kriteria tertentu sampai memenuhi kuota yang telah ditentukan.
Dari hasil pemilihan, diperoleh 15 responden mahasiswi Unsyiah yang memakai hjab cadar. Mengacu dari hasil riset ini, ditemukan sebanyak 67% mengaku tidak mendapat dukungan pada saat pertama kali memakai cadar terutama oleh pihak keluarga. Dalam hal interaksi sehari – hari, 73% dari responden tidak terlalu ingin membuka diri terhadap lingkungan sekitar.
Namun, meski sangat sulit membuka diri terhadap lingkungan luar, tidak jarang mereka yang menggunakan cadar sering mendapatkan perlakuan yang kurang layak, hal yang paling sering diterima ialah perlakuan secara verbal dan sebanyak 7% mengaku pernah mendapatkan perlakuan kasar. Hasil riset menunjukkan bahwa motivasi bagi mahasiswi Unsyiah untuk menggunakan cadar ialah yang tertinggi sebanyak 78% memang murni alasan karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, 11% karena ingin mendapatkan jodoh dan 6% karena ikut – ikutan tren di media sosial. []
Editor: Maisyarah Rita