Sulistiono | DETaK
Langit masih terselimuti awan hitam, cuaca saat itu sangat kontras dengan raut wajah Mahfuzah Ulfah yang tampak berseri. Pasalnya ia akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar bahasa Inggris selama dua bulan. “Seneng banget pastinya. Nggak nyangka dapat kesempatan seperti ini,” ujar nya kamis lalu saat ditemui di taman kolam FKIP Unsyiah.
Uja, begitu biasa dipanggil, adalah salah satu dari dua mahasiswa Aceh yang mendapat beasiswa IELSP (International English Language Study Program) yang merupakan program beasiswa bagi mahasiswa yang didanai oleh Kedutaan Amerika Serikat di bawah Indonesian Internasional Education Foundation (IIEF). Di sana mahasiswa akan diberikan peluang untuk belajar bahasa Inggris selama dua bulan.
Selain itu, mereka juga memperkenalkan kebudayaan asli Indonesia. Beasiswa tersebut sifatnya nasional. Ada sekitar 3.500-an mahasiswa yang mengikuti seleksi yang selanjutnya dipilih 80 orang dari seluruh indonesia. Setelah itu, mahasiswa dibagi dalam empat stage atau kelompok. masing-masing stage berjumlah 20 orang selanjutnya ditempatkan ke empat negara bagian di Amerika, yaitu di Arizona, Virginia, Kansas dan Iowa. Uja terpilih ke negara bagian Iowa.
Di Aceh, penyeleksian dilakukan oleh pusat bahasa Unsyiah, diikuti beberapa perguruan tinggi yang ada di Aceh. “Persiapannya lebih intensif lagi belajarnya. Belajar tari juga karena di sana ada Indonesian Day di mana setiap mahasiswa asal Indonesia akan menampilkan budaya asli indonesia,” ungkap mahasiswi semester enam ini.
Bagi Uja, kesempatan ini merupakan pengalaman kali pertamanya pergi ke luar negeri. Tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Ia harus melewati berbagai rintangan, seperti memenuhi persyaratan yang ditentukan serta menjalani serangkaian tes. Di antaranya peserta harus semester lima ke atas serta mengikuti seleksi berkas dan tes wawancara.
Dalam proses seleksi berkas, Uja harus mengisi empat essai yang panjangnya tidak dibatasi. Khusus untuk hot issue tulisan dibatasi dua sampai tiga paragraf. “Karena kebetulan Uja dari (Fakultas) Pendidikan, ya isunya nggak jauh dari pendidikan, yaitu tentang open school atau sekolah terbuka,” kata mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika Unsyiah ini.
Setelah tes seleksi berkas dinyatakan lulus, tes selanjutnya ialah wawancara. Sewaktu tes wawancara, kata Uja, “Kita diberi suatu masalah, kebetulan dapat tentang masalah lalu-lintas. Dari situ akan dinilai intelegensi dan karakter calon.”
Umumnya orang yang bisa bahasa Inggris karena memang belajar melalui les atau kursus khusus yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun tidak bagi Uja. Karena alasan finansial. ia pun berusaha sendiri untuk bisa berbahasa Inggris. Biasa ia menonton film atau membaca buku yang berbahasa Inggris.
Untuk mengasah keterampilan bicaranya, ia tidak sungkan untuk mengajak ngobrol dengan teman yang mampu berbahasa Inggris. Dan satu hal yang membuat ia tidak pernah bosan untuk belajar bahasa Inggris, “Saya akan merasa iri kalau ada teman yang bahasa Inggrisnya lancar.”
Awalnya ia ingin mengambil jurusan bahasa Inggris. Namun, saat itu ia terpilih sebagai siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu yang mendapat beasiswa mengikuti ujian undangan masuk universitas. Karena sewaktu SMA Uja mengambil kelas IPA, maka kalau mengambil kelompok IPS yang ada jurusan Bahasa Inggris, ia merasa tidak akan mampu menjawab soal yang diujiankan. Akhirnya Uja pun memilih jurusan Pendidikan Matematika. Meski demikian tidak ada rasa penyesalan di hatinya, karena baginya belajar tidak harus terfokus pada satu jurusan. “Ya meskipun dari jurusan matematika, bukan berarti nggak bisa belajar bahasa Inggris dan lainnya,” tuturnya.
Tak ada kesulitan bagi Uja untuk membagi waktu antara belajar matematika yang memang sudah jurusannya dengan belajar bahasa Inggris. Karena baginya bahasa Inggris memang sudah menjadi passion-nya. “Nggak merasa belajar sih kalau bahasa Inggris karena memang suka. Biasa kalau sebelum tidur baca-baca buku tentang bahasa Inggris gitu,”ujar anak kelima dari enam bersaudara itu.
Perjuangan Uja untuk mendapakkan beasiswa IELSP tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain memang ia belajar sendiri untuk bisa bahasa Inggris, Uja juga mau mencari uang sendiri untuk bisa mengikuti tes TOEFL yang biayanya mencapai 350 ribu rupiah untuk sekali tes. Ia pun mencari pekerjaan sambilan sebagai pengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar yang ada di Banda Aceh. Meski begitu, sebagian biaya kuliahnya masih ditanggung orangtua.
Uja tergolong mahasiswa yang aktif. Di samping kesibukan kuliah, ia juga aktif di berbagai organisasi kampus dan menjadi penjaga pustaka di pusat bahasa. Bahkan, ia juga pernah menjadi penyiar di salah satu stasiun radio swasta selama satu tahun. “Cuman karena jarak rumah yang sangat jauh dengan tempat di radio, akhirnya berhenti deh..” kenang Uja.
Selain itu, ia juga pernah menjuarai olimpiade matematika yang diadakan FMIPA pada 2011 silam. Uja berharap dapat memaksimalkan setiap kesempatan yang ada untuk memperdalam kemampuan bahasa Inggrisnya. “Bisa benar-benar belajar, lebih improve lagi bahasa Inggrisnya setelah pulang dari sana (Amerika Serikat, red). Dan ingin sekali dapat beasiswa S2 dan jadi dosen. Pokoknya gila beasiswa banget!” ujarnya sambil terkekeh. []