Sayed Jamaluddin | DETaK
Darussala – Ingin menjadi guru, memang cita-citanya dari dulu. Walaupun harus tinggal di daerah terpencil, tidak ada listrik, sedikit pun tidak mengurungkan niat Akmal M Roem untuk ikut Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM-3T).
Bukan sendiri, ada juga anak muda Aceh lainnya yang ikut program itu. Di sana, ia ditempatkan di Dusun Serangkang, Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. tinggal di lingkungan yang penduduknya jauh berbeda dengan Aceh.
“Di sini 100% penduduknya non muslim,” kata Akmal. “Kalau mau salat jumat harus menempuh 13 KM. Tapi itu bukan masalah kok. Di sini cukup menyenangkan,” kata Akmal.
“Cita-cita abang memang jadi guru, pun karena abang suka tantangan dan memang ingin mencari pengalaman mengajar di daerah terpencil, makanya abang ikut program ini,” imbuh Akmal.
Masalah bahasa, memang selalu menjadi kendala. Murid-murid di sana masih menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. “Mereka masih menggunakan Bahasa Dayak,” kata Akmal. “Anak-anak di SMP abang (mengajar) hanya dari satu dusun, jadi mental mereka sedikit kurang berani. Apalagi komunikasi, mereka masih sering menggunakan bahasa daerah.”
Sebelum berangkat ke Sanggau, Kalimantan Barat, mereka terlebih dahulu dibekali tentang daerah yang akan mereka tinggali. Awalnya, kami memang sedikit dibekali di prakondisi. Tapi ternyata informasinya cukup jauh (berbeda) dari apa yang selama ini kami dapat,” tambah Akmal.
Saat pertama mereka ditempatkan dan mulai mengajar di sana, kata Akaml, murid-muridnya sedikit pendiam, mereka kurang terbuka dengan pendatang. Namun, kini perkembangannya, terutama dalam hal komunikasi dan belajar sudah sangat bagus. “Mereka mulai terbuka terhadap pendatang seperti kami,” kata Akmal.
“Anak-anak awalnya memang sedikit pendiam, tapi pendekatan abang yang kmudian membuat mereka cukup antusias dalam belajar.”
Di sana, mereka ditempatkan di Dusun Serangkang, Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. “Entikong adalah kecamatan yang berbatasan dengan Negeri Serawak, Malaysia,” kata Akmal.
Akmal M Roem adalah pegiat di Komunitas Tikar Pandan dan pernah mengikuti kelas menulis di Sekolah Menulis Dokari. Asalnya dari Aceh Besar. Dulu, ia kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah angkatan 2005.
Akmal, katanya sering bergabung dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, kepala dusun, dan ketua komite sekolah. “Masyarakat di sini cukup menghargai guru. Kami sering diantarkan sayur dan makanan lainnya yang layak kami makan,” ujar Akmal.
Sepulang sekolah, guru-guru yang ikut dalam program SM-3T itu, kata Akmal, sering diajak memetik sayur dan buah-buahan di kebun oleh murid-murid di sana. “Selama ini lagi musim hujan, kami hampir setiap hari sering cari durian, metik rambutan, dan manggis di hutan,” Akmal bercerita.
Menurut Akmal, di tempat ia mengajar, SMPN 4 Satu Atap Entikong, bangunan sekolahnya sudah lumanyan bagus, hanya saja buku dan guru yang masih kurang. “Ada guru yang mengajar lebih dari dua mata pelajaran. Beberapa tempat yang abang datang ada juga yang belum layak, terutama SD (Sekolah Dasar),” jelasnya.
Berbeda dengan Aceh, tuak adalah minuman yang diharamkan. Daerah yang mereka tinggal kini, tradisi minum tuak sangat kental. “Daerah ini orang bebas mabuk dan memang tradisi minum tuak cukup kuat di sini,” kata Akmal.
Jika di tempat lain ada kepercayaan tentang mistik yang digunakan untuk hal-hal yang dapat mengganggu orang banyak, namun tidak dengan daerah itu. “Memang ada mistik, tapi tidak untuk menciderai orang. Dukun di sini untuk nyembuhkan penyakit-penyakit,” ujar Akmal.
Akmal juga menceritakan tentang perselisihan-perselisihan yang terjadi di tempat ia tinggal. Di sana, kata Akmal adatnya masih sangat kuat, mereka menggunakan hukum adat jika ada perselisihan. “Di sini, adat masih kental sekali, banyak hukum-hukum yang diselesaikan dengan adat. Sesuai tradisi mereka, jelasnya.[]