Sejarah memang sering menjadi objek yang terlupakan. Tidak terkecuali makam Syiah Kuala, yang menjadi symbol dunia pendidikan di Aceh.
Semilir angin laut berhembus lembut, beberapa remaja terlihat khusyu berdoa dan membaca yasin. Belasan remaja tersebut adalah siswa-siswi dari salah satu SMU di Banda Aceh.
Itulah salah satu rutinitas yang terlihat saat DETaK berkunjung ke Makam Syiah Kuala di Desa Deah Raya Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, tiga pekan lalu.
Makam Syiah Kuala memang menjadi wisata rohani bagi ummat muslim. Masyarakat berbagai daerah setiap saat mendatangi makam ini. hingga saat ini masih banyak dikunjungi oleh masyarakat, baik masyarakat Aceh sendiri maupun dari luar Aceh, bahkan juga para turis dari luar negeri seperti India, Jepang, Malaysia dan Thailand. Tujuannya pun beranekaragam, mulai dari melepas nazar, berhajat, hingga sekedar berekreasi.
Tidak terkecuali para siswa-siswi tadi. Mereka datang untuk melakukan pengajian. “Kemarin sebelum Ujian Nasional (UN), saya dan teman-teman satu sekolah mengunjungi makam ini untuk melakukan pengajian dan doa bersama agar Allah SWT meluluskan kami semua,” ungkap Dian, salah seorang dari siswi SMU tersebut.
Pada hari-hari biasa, pengunjung makam itu tidak terlalu ramai. Biasanya masyarakat ramai berkunjung pada hari Senin dan Kamis. Pada hari-hari tersebut, kompleks makam Syiah Kuala selalu dipadati pengunjung, dan yang lebih ramai lagi adalah ketika hari panen penduduk tiba.
Syiah Kuala merupakan ulama yang bernama Syeikh Abdur Rauf. Ayah beliau berasal dari Arab sementara ibunya merupakan orang Aceh. Beliau menuntut ilmu ke Arab Saudi dan setelah itu kembali ke Aceh, tepatnya di desa kuala ini. Di Aceh, beliau memulai kehidupan dan mendekatkan diri dengan masyarakat dengan cara bercocok tanam serta berdakwah mengajak masyarakat untuk masuk Islam. Ia memberikan berbagai jenis tanaman dan sayur-sayuran kepada masyarakat sekaligus mengajarkan mereka cara mengucapkan dua kalimah syahadah.
Begitulah usaha yang dilakukan Syeikh Abdur Rauf dalam rangka Islamisasi masyarakat sekitar secara perlahan-lahan. Ulama yang bernama lengkap Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Jawi merupakan salah seorang ulama besar yang sangat terkenal dan telah menulis banyak buku tentang agama Islam. Ia juga diangkat menjadi Kadhi Malikul Adil pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin pada abad ke-17 Masehi.
Beliau membangun sebuah perguruan agama Islam yang telah menghasilkan banyak ulama. Karena letaknya tidak jauh dari muara sungai yang dalam bahasa Aceh disebut Kuala, maka makam tersebut dinamakan Syiah Kuala.
Terdapat beberapa makam di kompleks makam Syiah Kuala, selain makam Syeikh Abdur Rauf sendiri, keluarga serta murid-muridnya. Makam Syaikh Abdur Rauf dan tiga orang adik beliau sedikit terpisah dengan makam yang lainnya.
Makam yang telah berusia tiga abad ini, dirawat dan dikelola oleh keluarga ibu Cut yang biasa disapa “Makti”. Uniknya, ternyata penjaga makam ini bukan dari sembarang kalangan, tetapi telah turun-temurun dari keluarga ibu Cut hingga sembilan keturunan, dan ibu Cut sediri merupakan keturunan ke-sembilan. Janda berumur 53 tahun ini rela menghabiskan sisa hidupnya untuk menjaga makam tersebut dengan gaji yang terbilang minim, yaitu hanya berkisar Rp 300.000,00 per bulan. “Saya merasa selama menjaga makam ini banyak mendapat berkah dan rahmat, saya tidak mengharap gaji walaupun tetap diberi oleh paman saya,” ungkapnya.
Menurut pengakuan ibu Cut, ia dan keluarganya sama sekali tidak boleh melakukan sedikitpun kesalahan di tempat ini. Pernah suatu ketika dia menemukan sebuah cincin emas di sekitar makam, setelah melakukan berbagai pengumuman tentang siapa pemilik sesungguhnya dan tidak juga ditemukan, ibu Cut pun memutuskan untuk memakai cincin entah berantah itu, namun beberapa hari kemudian Handphone yang baru saja dibelinya langsung raib entah kemana.
“Saya tidak bisa memungut secuil barang apapun yang bukan hak saya di tempat ini, karena suatu saat balasan buruk akan segera menimpa saya,” tambahnya lagi.
Makam yang telah dipercayai oleh masyarakat selama ratusan tahun sebagai tempat keramat itu sempat juga terkena imbas bencana alam terdahsyat yang menimpa Aceh lima tahun silam, yaitu tsunami. Namun hanya sebagian kecil dari makam tersebut yang rusak, sedangkan bangunan di sekitar makam hancur total.
Seperti halnya Aceh yang terus dialiri bantuan dari luar pasca gempa dan tsunami, bantuan dalam bentuk dana yang besar pun mengalir ke makam itu sebagai biaya renovasi. Walaupun begitu, sampai saat ini belum juga selesai direnovasi. Hal ini terlihat jelas saat DETaK berkunjung ke makam tersebut.
Memang sangat disayangkan, disaat bantuan mengalir dan pembangunan hampir menyentuh seluruh sendi, namun makam Syiah Kuala masih terlihat seperti tidak mendapat tempat. Masih banyak bagian yang belum di renovasi.
Menariknya, beberapa informasi yang DETaK peroleh, aliran listrik di Makam Syiah Kuala sempat dimatikan karena tunggakan. Dan yang lebih miris, tunggakan tersebut akhirnya dilunasi oleh para peziarah, seperti peziarah dari Semarang dan Makasar.
Makam Syiah Kuala sendiri dipertanggunggungjawabkan oleh kantor BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan. Pada saat team DETaK mengunjungi dinas tersebut dan bertanya tentang aliran listrik yang dimatikan akibat tunggakan dan kemudian dibayar oleh salah seorang donatur dari kota Semarang, pihak bidang pengembangan pemesiuman sejarah purbakala tidak tahu menahu tentang hal itu.
Inilah salah satu gambaran akan kepedulian kita terhadap sejarah. Peran dan pengorbanan seakan telah terlupakan. Hal ini tentunya dapat dilihat dari proses renovasi yang belum juga selesai!
DETaK | Raubati dan Rahmayani