Herry [AM] | DETaK
Darussalam – Seminar Nasional bertajuk “Mewujudkan Intelektual yang Kritis pada Kaum Perempuan Aceh” ini diadakan dalam rangka meramaikan acara Unsyiah Fair XII. Kegiatan ini menghadirkan dua pemateri dan satu pembicara utama, yang diselenggarakan di Event Hall Academic Activity Center (AAC) Dayan Dawood, Selasa, 7 November 2017.
Acara dibuka secara langsung oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Nevi Ariani. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa DP3A Aceh sebagai lembaga yang diberi mandat untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak mempunyai kewenangan yang terdiri dari 6 sub urusan.
“Menurut UU No. 23 Tahun 2014, ada 6 sub urusan yaitu peningkatan kualitas hidup perempuan, perlindungan perempuan, peningkatan kualitas keluarga, perlindungan khusus anak, data gender dan anak, dan pemenuhan hak,” tuturnya.
Materi pertama disampaikan oleh Azriana Rambe Manalu, selaku keynote speaker. Ketua Komnas Perempuan itu memberi judul Perlindungan Hak Konstitusional Perempuan pada pidatonya, untuk menegaskan bahwa perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan terhadap hak-hak perempuan yang telah dijamin dalam konstitusi, bukan sedang membicarakan perlindungan fisik perempuan. Ia juga memaparkan bagaimana intelektual yang kritis pada kaum perempuan dapat diwujudkan.
“Dalam pandangan saya, intelektualitas dapat dibentuk oleh 3 hal. Yang pertama kapasitas personal, yang mana bukan ditentukan oleh IQ semata, tetapi juga kepribadian. Kedua, sistem pendidikan, apabila sistem tersebut menumbuhkan keterampilan untuk bertanya dan menentukan jawaban, akan berdampak pada meningkatnya kapasitas personal. Yang terakhir ruang eksternal, dalam konteks inilah gender sebagai sistem sosial juga turut memainkan pengaruhnya,” ujar lulusan Fakultas Hukum Unsyiah tersebut.
Sementara itu, Vice President of ACT Foundation, Rini Maryani, menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan siapa dalam berbuat kebaikan, melainkan menyebut sesama manusia. Dalam berbuat kebaikan, hanya berbagi peran yang diperlukan.
“Misalnya dalam mengevakuasi korban gempa di Padang, saya menyadari kapasitas fisik saya tidak mampu melakukannya. Jadi saya kembali ke posko untuk mempersiapkan logistik. Jadi ini berbicara tentang pembagian peran, dalam keinginan melakukan yang terbaik, saya memilih peran yang terbaik yang mampu saya lakukan,” tegasnya.
Kemudian pemateri terakhir, yaitu Suraiya Kamaruzzaman membagikan pengetahuannya. Pendiri Yayasan Flower Aceh dan Dosen Unsyiah itu memaparkan bahwa alasan persoalan perempuan merupakan hal penting karena secara biologis dan konstruksi masyarakat berbeda sehingga dampaknya juga berbeda, maka perlu usaha untuk mengangkat persoalan itu agar diakui sama dengan persoalan-persoalan lain.
Acara ini ditutup dengan sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Novriyanti Fatimah. Ratusan peserta cukup antusias dengan tema yang diangkat, terbukti dengan persentase peserta yang hadir sekitar 90%-nya merupakan perempuan.[]
Editor: Dhenok Megawulandari