Siaran Pers| DETaK
Darussalam- Pemangkasan aturan wajib jilbab di Aceh dan aturan wanita tidak boleh keluar rumah setelah jam 23.00 menciderai syariat islam di Aceh. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah no 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah no 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
Jelas bahwa kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda adalah rechtspolitiek (politik hukum) pemerintah pusat untuk semakin mencengkeram leher manajemen lokal. Harusnya, yang dipikirkan adalah bagaimana revisi peraturan daerah ini membuat pemerintahan pusat dan hukum itu mampu memfasilitasi dan mengawal desentralisasi hingga tujuan utamanya tercapai.
Persoalan dari revisi ini menyangkut kewenangan pembatalan perda oleh Mendagri dapat menimbulkan komplikasi yuridis. kewenangan membatalkan perda, atau bahasa yuridisnya menyatakan bahwa perda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berada dalam domain judicial review di Mahkamah Agung (MA). Pembatalan juga dapat dilakukan melalui revisi legislasi oleh kekuasaan lokal sendiri atau kekuasaan yang lebih tinggi yang mendapatkan atribusi kewenangan dari undang-undang, bukan pada Mendagri yang notabene hanyalah pembantu presiden dalam kekuasaan eksekutif.
Maka dengan ini pernyataan sikap BEM Unsyiah terhadap pemangkasan aturan wajib jilbab:
1.Hargai keistimewaan Aceh dalam melaksanakan syariat islam
2.Memberikan kewenangan bagi Aceh dalam menjalankan hal dan mengecam Mendagri dalam upaya pelemahan dan pengurangan kekhususan Aceh karena peradilan syari’at islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Darussalam, 24 Februari 2016.[]
Editor : Dinda Triani