Cerpen | DETaK
Aku Ghea Ananda, umurku baru saja mencapai 17 tahun. Aku tinggal di keluarga yang sederhana bersama ibuku semenjak ayahku tiada, aku murid di sekolah SMA Pelita. Aku mempunyai seorang sahabat, namanya Michel. Dia seusia denganku dan bersekolah di sekolah yang sama denganku. Michel tinggal bersama orang tuanya. Berbeda denganku, dia tinggal di keluarga yang serba ada dan keluarga yang lengkap.
Suara petir malam itu, seakan memecah keheningan, membuatku terbangun dari mimpi burukku. Aku duduk sejenak sambil memikirkan mimpi yang baru saja kualami itu. Mimpi itu terasa begitu nyata sehingga membuatku begitu takut untuk tidur kembali. Wajah di mimpi itu masih segar di ingatanku. Entah apa arti mimpiku ini. Aku mengambil ponselku yang berada tepat di sampingku, jam di ponselku menunjukkan pukul 2 pagi.
Tiba-tiba suara alarm membangunkanku, ternyata aku tertidur. Lalu seperti biasa aku pergi ke sekolah mengayuh sepedaku. Aku tidak tahu kenapa pagi ini Michel tidak datang ke rumahku dan pergi ke sekolah bersama seperti biasa. Entahlah, mungkin dia telat pikirku. Bel sekolah terdengar seperti biasanya, aku mempercepat langkahku menuju kelas. Pandanganku tertuju pada bangku Michel yang masih kosong, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, ada apa dengannya.
Bel sekolah pun berbunyi, anak-anak berhamburan keluar dari kelas untuk pulang. Sementara aku masih membereskan buku yang bertaburan di atas mejaku. Di perjalanan pulang, aku masih memikirkan kabar Michel yang entah ke mana. Aku pun mempercepat kayuhan sepedaku agar segera sampai ke rumah. Tak sengaja di perjalanan pulang aku bertemu dengan ibuku di sebuah kedai roti, aku berhenti sejenak. Aku berencana ingin mengunjungi Michel dan membawakan roti untuknya. Aku segera menghampiri ibuku yang sedang berdiri di depan kedai itu. Setelah selesai membeli apa yang kubutuhkan, aku segera berpamitan pada ibuku untuk mengunjungi Michel.
Dengan perlahan aku menekan bel di rumah Michel, aku sudah menekan bel itu berkali-kali tapi tidak ada jawaban.
“Apa mungkin dia sedang keluar?” tanyaku dalam hati.
Aku kembali ke rumah dengan rasa penasaran. Sesampaiku di rumah, aku langsung menuju kamar untuk mengecek ponselku. Tidak ada pesan dari Michel. Aku mencoba menghubungi Michel berkali-kali sambil memasukkan buku ke dalam tas sekolahku tapi tetap saja tidak ada jawaban.
“Ah, sudahlah. Mungkin besok dia sudah pergi ke sekolah dan menghilangkan rasa penasaranku ini,” ucapku sembari meletakkan ponselku.
Tanpa sadar jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Aku pun segera menuju tempat tidurku dan bersiap untuk tidur.
Suara kicauan burung terdengar dari luar kamarku. Aku langsung bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Samar-samar dari luar aku mendengar percakapan ibu dengan seseorang yang ternyata itu adalah Michel. Akupun langsung menghampirinya dan berpamitan kepada ibu.
Di perjalanan, Michel tidak mengatakan sepatah kata pun tentang kemarin. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Michel, kamu gak apapa kan? Kok kamu diem terus daritadi?” aku bertanya kepada Michel dengan sedikit khawatir.
“Eh, aku nggak kenapa-kenapa kok Ghea,” jawab Michel sambil tersenyum tipis.
Aku sedikit ragu dengan jawabannya, tapi apa boleh buat. Aku tidak mungkin memaksanya untuk menceritakannya kepadaku, mungkin ada sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan kepadaku.
Hari demi hari pun berlalu, sikap Michel semakin berubah, tidak seperti biasanya.
“Apa mungkin Michel menjauh dariku?” tanyaku dalam hati.
Aku semakin penasaran, apa yang membuatnya berubah jadi begitu dingin seperti es. Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata pesan dari Michel, ia memintaku untuk menemuinya. Aku pun bergegas menemuinya.
Aku mendengar seseorang memanggil namaku, sepertinya aku sangat mengenal suara itu. Aku menoleh ke belakang, dan iya ternyata dia Michel. Dia berjalan ke arahku dengan senyuman. Aku tidak tau kenapa, tapi dia terlihat sedikit pucat.
“Michel kamu nggak lagi sakit kan?” tanyaku.
“Ya nggak lah, kamu tuh aneh-aneh aja,” jawab Michel.
“Tapi kok muka kamu pucet gitu?” tanyaku lagi.
“Ya udah jangan dibahas Ghea, nih ada sesuatu buat kamu, tapi jangan dibuka sekarang,” ucapnya yang terlihat terburu-buru, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.
Aku memandang kotak kecil pemberiannya dalam diam. Ternyata Michel memberiku sebuah buku kecil yang indah, entah apa yang tertulis di dalamnya. Setelah itu, aku pun bergegas untuk pulang.
Seminggu pun berlalu, sejak saat itu aku tidak pernah melihat Michel ataupun menerima kabar darinya. Entah apalagi yang sedang terjadi. Rumahnya begitu sepi seperti tak berpenghuni. Tiba-tiba adik Michel datang ke rumahku menceritakan segalanya dan memintaku untuk menemui Michel di rumahnya.
Air mataku mengalir deras, hatiku pun ikut pilu melihat Michel. Kuangkat tanganku lalu kuusap perlahan air mata di pipiku. Aku berusaha menyembunyikan perasaan sedihku. Sulit rasanya memberi tahu diriku sendiri bahwa keadaannya sudah berubah sekarang. Aku benar-benar tidak percaya bahwa mimpiku waktu itu menjadi nyata. Aku melihat tubuh Michel terbujur kaku dan pucat sepenuhnya.
Hari-hari pun berlalu setelah lama mengurung diri di kamar. Akupun beranjak dari tempat tidurku dan menuju ke sebuah kotak kecil yang berisi buku pemberian Michel waktu itu. Aku pun mulai teringat lagi pada Michel. Air mataku jatuh, ketika membaca tulisan yang ada di dalam buku itu.
“Ada kalanya sesuatu, seseorang, atau apapun itu tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Sekuat apapun kita berusaha. Mungkin sudah saatnya untuk melepaskan, dan tersenyumlah toh jika aku tidak bisa dalam hidupmu kita selalu bisa membuatnya menetap abadi dalam hati kita dan kenangan terbaik.”
Namun aku sadar bahwa berlarut-larut dalam kesedihan tidaklah baik. Aku menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam kotak dan kembali menyimpan buku itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memulai kembali hidupku. Walau aku tahu, setiap perpisahan pasti meninggalkan bekas yang tidak bisa sembuh dalam waktu dekat. []
Penulis bernama Syiffa Al Linnas. Ia merupakan mahasiswi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala.
Editor: Herry A.