Suasana ruang makan malam itu benar-benar menegangkan. Bahkan bunyi dentingan gelas ataupun sendok yang diletakkan di atas meja sekalipun nyaris tak terdengar. Hanya sesekali terlihat sang pembantu mondar-mandir mempersiapkan menu makanan dan peralatannya untuk tuan majikan. Itupun dilakukannya dengan penuh kehati-hatian. Tampaknya si pembantu ini paham akan aura mencekam yang sedang dihadapinya. Ia tidak mau terlibat dalam perseteruan keluarga yang memang sudah sering beradu argumen itu. Debat terbuka, yang pada hakikatnya adalah antara seorang ayah dengan anaknya itu kerap menjadi santapan bagi si pembantu di malam hari, sebagaimana halnya yang kembali terulang malam itu.
“Malam ini, sebagaimana juga malam-malam sebelumnya, aku kembali menghadap kepadamu bukan sebagai seorang anak yang ingin bercengkerama dengan ayahnya. Aku menemuimu disini sebagai seorang penghujat, representasi suara rakyat yang sudah gerah dengan perilaku bejatmu menumpuk harta dengan mengantongi hak-hak mereka!” sebuah pengantar dengan intonasi yang lantang dan tegas dibuka oleh sang anak, Fandi.
“Baiklah, anak muda. Tak masalah jika kau menemuiku atas tuntutan profesionalitas. Kita punya peran dan tugas masing-masing. Tapi sekali lagi kuingatkan, jangan pernah kau jual nama rakyat disini. Kau usung saja nama kelompok pelajarmu itu kalau ingin menghujatku!” sang ayahpun tak kalah nada dalam menyahut. Suasana semakin memanas.
“Kau pikir kami bodoh? tak pernah sekalipun kami menjual nama rakyat. Apa yang kami lakukan ini semua murni berawal dari kegelisahan dan kekecewaan rakyat atas segala kebobrokanmu selama ini. Apa kau tak paham hal itu?!”
“Sudah berulangkali kukatakan, jangan kau jual nama rakyat. Aku bisa seperti ini juga karena rakyat memilihku dulu. Jangan mencoba bodohi aku! Rakyat itu tak pernah salah dalam memilih. Mereka bukan komoditas pasar. Tak mengerti juga rupanya kau?!”
“Benar seperti katamu. Maka rakyat pula yang akan menumbangkan rezimmu kelak. Jangan kau mempermalukan dirimu sendiri. Malah kau yang dulu menjual nama rakyat. Kau berkoar-koar di atas mimbar. Di hadapan mereka semua, kau mengumbar sejuta janji buta. Janji yang kau sendiripun tak pernah berhasrat untuk merealisasikannya!”
“Tak usah kau ajari aku. Kau belajar saja dulu yang rajin. Sudah 6 tahun kuliah tak tamat-tamat, malah kau ingin ajari aku pula. Aku juga sudah pernah menjadi mahasiswa sepertimu itu, tapi sayangnya kau belum pernah sekalipun merasakan bagaimana rasanya menjadi orang besar sepertiku sekarang ini.”
“Ah, percuma saja berdebat denganmu. Kau hanya bisa menyampaikan pembenaran, namun tak pernah sekalipun memberikan ruang bagi pencapaian kebenaran. Ternyata memang benar seperti apa yang pernah dikatakan Nietzsche, bahwa kebenaran adalah milik mereka yang punya kekuatan, dan kau adalah salah satunya!” sang anak menunjuk lancang ke arah ayahnya sembari geleng-geleng kepala.
“Hentikan retorika bualanmu itu. Belum habis kau hafal pasal-pasal dalam Undang-Undang Negara yang menjadi mata kuliahmu itu, masih saja kau mengoceh. Kau benar-benar keras kepala!”
“Sudah, sudah cukup! Kalian hanya bisa membuat aib keluarga saja di rumah ini. Tak pernah sekalipun peduli terhadap nasib keluarga sendiri, malah sibuk mengurusi masalah pribadi. Hancurkan saja sekalian rumah ini, biar kalian semua puas nafsunya!” sang ibu yang sedari tadi hanya diam menjadi saksi atas percekcokan dua anak manusia yang masih sedarah itu, kini meradang. Ia begitu kecewa dengan realita keluarganya itu. Harmoni keluarga hanyalah mimpi buruk menjelang subuh baginya. Semua telah tersulut api kegeraman masing-masing. Suasana ruang makan itu kembali diam, sunyi mencekam.
“Jadi, kapan kau dan kelompokmu itu akan melakukan demonstrasi ke kantorku?” sang ayah kembali memecah kesunyian.
“Itu rahasia organisasi.”
“Oke, sampai berjumpa pada tanggal mainnya nanti!”
“Pasti, siapkan saja mentalmu!”
Fandi mengakhiri pembicaraan dengan nada becus, dan mereka berdua berpencar menuju peraduan masing-masing. Sang ibu masih terduduk lemas dengan jemari tangan beradu di hamparan meja makan. Kepalanya menunduk dalam. Tampak dari wajahnya yang mulai keriput itu beberapa tetesan bening yang satu persatu jatuh ke lantai. Sementara si pembantu hanya mengintip sedikit dari balik dapur. Sekujur tubuhnya gemetaran menyaksikan adegan ala telenovela yang baru saja berakhir itu.
***
Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Matahari belum sepenuhnya terbit di ujung langit. Jalanan masih lengang, belum banyak kendaraan yang melintas. Gerombolan burung-burung kecil mulai bersahut-sahutan melantunkan kicauan khasnya dengan ritme sedikit sumbang, pertanda pagi kembali menjelang. Burung-burung itu mendendangkan nyanyian seraya bertengger di antara ranting-ranting pohon yang layu karena setiap hari tak henti-henti diterpa polusi udara yang sangat kotor dan berdebu di kota metropolitan itu.
Di sisi kanan jalan, tepatnya di sebuah rumah sewaan yang tidak begitu besar, tampak serombongan manusia dengan atribut lengkap. Mereka terdiri dari kaum lelaki dan perempuan, mengenakan jaket hijau seragam dengan simbol universitas di bagian dada sebelah kiri, simbol organisasi di lengan kanan, memakai ikat kepala merah bertuliskan “Kaum Intelektual Pejuang Rakyat,” membawa poster-poster besar yang kebanyakan berisi pesan-pesan kecaman, serta menyuarakan aspirasinya dengan satu unit pengeras suara.
Mereka melakukan konsolidasi internal untuk yang terakhir kalinya di rumah yang disewa Fandi sebagai sekretariat sementara untuk menampung massa sebelum turun ke jalan itu. Target aksi mereka adalah gedung pemerintah berpagar besi tinggi di seberang jalan. Disanalah kantor ayahnya Fandi, yang disinyalir massa sebagai tempat praktek korupsi. Praktek ilegal yang telah menjelma menjadi tradisi.
Demonstrasi yang hendak dilakukan itu merupakan demonstrasi ilegal, karena tidak dilaporkan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, sehingga gedung pemerintah di seberang jalan itu tidak mendapatkan pengamanan apa-apa. Namun, aksi sudah terlanjur dijalankan.
Teriakan massa membahana. Fandi berdiri lebih tinggi di atas beton penyangga depan gerbang gedung pemerintah itu dan menyemangati kawan-kawannya yang lain. Satpam mulai kelabakan. Tiga orang satpam berlari kocar-kacir ke arah gedung, melewati deretan mobil mewah mengkilap yang berjejer di sepanjang jalan pekarangan gedung yang begitu luas itu. Mereka melapor ke satpam lain di dalam gedung, agar memberitahukan kepada seluruh pejabat dan pegawai yang sedang bertugas untuk waspada, karena tamu-tamu tak diundang sedang menunaikan hajatannya. Sementara itu, seorang satpam lainnya yang masih berada di pos jaga depan gerbang sedang berusaha keras menelepon nomor keamanan darurat pihak yang berwenang dengan tangan gemetaran. Tak terasa keringat dingin mulai membasahi seragam putihnya.
Kabar yang tak mengenakkan bagi para pejabat itu akhirnya sampai pula di telinga ayah Fandi. Sebagai pemimpin tertinggi di kota metropolitan itu, ia hanya mencibir sinis menanggapi aksi para demonstran yang diketuai oleh seorang koordinator aksi, yang juga merupakan anak kandungnya itu.
Di satu sisi, ia begitu geram dengan kelakuan Fandi. Namun, di sisi yang lain, dari nurani yang terdalam, sebenarnya ia begitu salut dan bangga kepada anaknya itu yang memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi, dan juga peduli dengan kepentingan khalayak ramai. Tapi, dalam hati ia juga berdalih bahwa uang yang diambil dari kas pemerintah itu juga untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Memberi nafkah serta menyekolahkan anaknya, Fandi. Tak lupa juga membeli perhiasan dan kebutuhan lain untuk sang istri, agar istrinya senang. Selain itu juga untuk memenuhi keperluan lainnya bagi keluarga. Walaupun ia tahu bahwa caranya itu salah, namun ia memiliki niat yang baik dan tulus dengan hajatannya itu. Kini, ia benar-benar tengah dirundung dilema.
Tak lama berselang, sepuluh mobil anti peluru yang memuat anggota pengamanan darurat pihak yang berwenang lengkap dengan peralatan anti huru-hara tiba di lokasi. Mereka langsung membuat pagar betis di depan pintu gerbang gedung pemerintah itu. Massa semakin beringas dan tak memedulikan kehadiran satuan pengamanan anti huru-hara. Tiga orang perwakilan demonstran mulai mencoba menaiki pagar di samping kanan pintu gerbang yang tak terkawal, karena aspirasi mereka tidak diindahkan oleh para pejabat di dalam gedung tersebut. Demonstran lainnya meneriakkan yel-yel lebih lantang. Mereka berdiri berjejeran dan membuat lingkaran sambil melompat-lompat.
Ketiga perwakilan para demonstran yang dikomandani oleh Fandi itu berhasil melewati pagar dan berlari ke arah gedung. Satpam yang ditinggal pergi temannya yang lain di pos jaga depan gerbang itu hanya melongo ketakutan melihat aksi nekat Fandi dan kawan-kawan. Pasukan pengamanan darurat mencoba mengejar mereka dari belakang. Dengan sigap dan beringas, akhirnya pasukan pengamanan darurat itu berhasil menangkap Fandi dan dua kawannya persis di pintu depan gedung pemerintah kota metropolitan itu. Mereka menyeret Fandi dan kawan-kawan layaknya binatang liar buruan yang baru saja ditembak mati.
Ayah Fandi baru saja menapakkan sepatu hitam mengkilap merek Eropa-nya di pintu depan gedung yang sama kala Fandi dan kawan-kawannya masih terus meronta-ronta karena diseret paksa oleh pasukan pengamanan darurat yang anti-iba. Demi melihat sosok ayahnya yang bergegas keluar dari gedung mewah milik pemerintah itu, tiba-tiba dengan cekatan Fandi mencabut pistol yang terselip di pinggang kanan anggota pasukan pengamanan darurat yang mencekalnya. Pada saat yang hampir bersamaan pula, ia mengarahkan moncong senjata itu ke bagian kepala di atas telinga kanannya seraya memekik lantang ke arah ayahnya, “Lebih baik aku mati tersiksa daripada harus hidup terhina dalam gelimangan harta rampasanmu yang jelas-jelas milik rakyat itu!”
Dan, tiba-tiba,
Dor…
Tembakan yang memekakkan telinga itu telah membuat seorang anak manusia roboh bersimbah darah. Fandi meregang nyawa. Melihat apa yang dilakukan sang pemimpin, kedua kawannya juga mengambil inisiatif untuk melakukan hal yang sama. Letupan senjata api yang disusul dengan dengan erangan miris itu kembali berbunyi sebanyak dua kali. Tiga orang tokoh intelektual pejuang rakyat kini telah tiada. Ketiganya roboh dengan posisi mendekap tanah, bersimbah darah.
Keadaan semakin ricuh disertai tangisan dan kemarahan demonstran lain. Mereka terlibat baku hantam dengan pasukan pengamanan. Situasi benar-benar tak bisa dikendalikan. Semuanya sungguh kacau-balau.
Ayah Fandi hanya mampu berdiri mematung di depan pintu menjadi saksi atas peluru yang menembusi kepala anaknya, Fandi. Matanya berkaca-kaca. Tanpa disadari bulir-bulir bening menetes dari kedua sudut bola matanya. Mulutnya terbata. Seluruh tulang-belulang yang menyangga tubuhnya, seakan lepas begitu saja. Akhir yang begitu kelam bagi seorang ayah yang kehilangan putranya di pagi menjelang siang itu. Ia begitu nelangsa.
Dalam kegamangan hati yang begitu menyiksa itu, sang ayah hanya mampu berujar pasrah di dalam sanubarinya,
“Setelah kau menemuiku semalam sebagai seorang intelektual pejuang kaum rakyat dan memintaku beradu argumen secara professional, anakku,” isaknya semakin tak tertahankan, “Aku terus mengharapkan kau akan menemuiku lagi sebagai seorang anak. Sungguh aku sangat rindu kepada anakku. Tidakkah kau sadar, kau bukan saja seorang intelektual pejuang, namun juga anak dari seorang ayah. Apakah aku harus melepaskan nyawaku ini dulu, agar aku bisa menemuimu lagi, sebagai seorang ayah?”
Di luar gedung, situasi semakin pelik di bawah saksi sengatan sinar matahari yang tak terperi menghantarkan terik. Perang fisik antara pasukan pengamanan dari pihak yang berwenang dengan intelektual pejuang kaum rakyat siang itu benar-benar anti-klimaks. Waktu terasa begitu kelam, sekelam takdir seorang ayah yang baru saja kehilangan putra semata wayangnya. Namun yang pasti, itu semua tak pernah sekelam nasib klasik rakyat, yang hak-haknya selalu saja dirampas dan diperas sang penguasa zalim kota metropolitan serta tak pernah tuntas diusut kasusnya, apatah lagi berharap akan dipenjara.
Tanjung Selamat, 21 Februari 2010
DETaK | Sammy Khalifa