Oleh Zahra Nurul Liza
Sajak petang yang telah basi menjadi hiburan. Angin malam yang liar masih terus saja menyelimuti badan. Penantian yang tak kunjung berujung adalah hiburan malam. Semua seakan diam dalam kegelapan. Entah sampai kapan. Semburat merah telah mulai hilang berganti awan hitam. Bintik-bintik putih pun telah lahir dari kegelapan. Tapi, yang menjadi penerang alam adalah bulan. Cahaya bulat kuning itu tepat berada di atas kepala seorang perempuan. Hingga seakan-akan rambut keritingnya terlukis tepat di atas rembulan. Kemudian setetes air jatuh dari dagu bulatnya. Entah hujan atau peluh yang bercucuran.
“Hari sudah malam, mari kita pulang.”
Kata pertama yang diucapkan ketika perempuan itu baru kembali ke rumah setelah seharian bepergian. Lalu perempuan itu masuk ke rumahnya bersama dengan seorang bocah laki-laki yang acap ingusan.
Sesampainya di dalam rumah, seperti biasa yang mereka lakukan. Perempuan yang baru pulang tadi menanak nasi, dari beras yang didapatnya hari ini. Setelah itu, mereka membagi nasi itu untuk tiga kali makan yaitu malam ini, besok pagi, dan besok siang. Sebab malamnya pasti perempuan itu membawa pulang beras lain. Walau entah dari mana.
Setelah membaginya, perempuan itu duduk bersandar melepaskan sedikit lelah yang sedari tadi telah menjamah. Sedangkan bocah ingusan itu pergi ke sisi lain untuk menyembah Tuhan sebab azan telah berkumandang. Selepas itu, barulah mereka kembali bersatu dan hendak menyantap hidangan dari hasil cucur peluh seharian.
Mereka duduk mengelilingi meja kecil yang hanya mampu menampung tiga piring kecil, yaitu dua piring yang mereka gunakan untuk makan sedang satu lagi digunakan untuk tempat garam sebagai lauk saban malam, dan satu piring sedang berisikan nasi yang kemudian akan habis disantap. Tapi, sebelum makan mereka mengucap syukur pada Tuhan sebab telah mengizinkan mereka untuk mencicipi rasa nasi hari ini.
Bocah ingusan itu menengadahkan tangannya, posisi tangannya persis seperti pengemis yang sedang meminta-minta. Sedangkan perempuan itu menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya di dagu, posisi tangannya persis seperti orang sedang menopang dagu. Mereka khusyuk mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Malam semakin tua. Angin yang datang dalam pekat malam adalah mahkota. Dua insan manusia telah terlelap dalam buaiannya. Biarlah mereka mereguk sedikit kenikmatan dunia walau hanya fatamorgana. Kehangatan kasih sayang perempuan kepada anak ingusan itu mengalahkan segalanya. Ada sebongkah kehangatan yang melindungi mereka dari dinginnya malam tua.
***
Angin masih menguasa seisi jagad raya. Tak ada yang menyangka jika akan datang badai raya. Pagi yang indah semestinya. Tapi, sudah tertelan oleh air mata. Pagi ini, sungguh ada yang berbeda. Semuanya tak disangka. Pohon-pohon masih terus saja bergoyang ria. Seakan tak menyadari akan dahannya yang patah hingga tertimpa tubuh manusia. Semua yang bernyawa meminta pertolongan pada Tuhannya.
Kalimat-kalimat pujaan kepada Tuhan terus saja meluncur dari bibir yang sedang ketakutan. Meminta keselamatan sebab takut akan nyawanya yang hilang. Bening-bening pun ikut turut cari perhatian. Meminta untuk diceritakan. Bening-bening yang lahir dari balik pelupuk mata adalah saksi duka akan pagi yang sedang murka.
Beberapa kali sudah jarum jam telah bergerak dari angka semula. Semuanya telah binasa. Pepohonan yang tumbang menjadi pemandangan. Suara yang sedari tadi memuja telah hilang. Sebab tubuh yang bernyawa telah terselimuti pepohonan yang tumbang. Bocah ingusan yang malang. Duduk menatap hampa ke depan. Tidak pun mencari sesuatu yang hilang.
Sepertinya bocah itu tak bisa melihat lagi yang di hadapan. Sebab mata telah penuh dengan bening yang menumpuk keberatan untuk keluar. Remang-remang di hadapan, walau demikian, bocah ingusan itu tetap mencoba berjalan. Menelusuri lekuk jalan yang telah terpenuhi pohon tumbang hingga menjadi bak jembatan. Sepertinya dia tengah mencoba mencari walau tak seperti sedang mencari.
Bocah ingusan. Ditemani ingus yang terus meleleh. Melangkah mencari perempuan yang acap menemaninya saban malam. Terus mencari ke setiap lekuk jalan.
“Di mana kau, takkah kau sedikit saja bersuara agar aku, bocah ingusan ini dapat menemukanmu. Bocah ingusan yang telah lama kau beri makan. Yang telah lama kau perkenalkanku pada Tuhan. Walau cara yang kau perkenalkan padaku dan padamu tak sama. Tuhan, tolong pertemukan aku dengan dia. Dia yang selama ini telah memperkenalkanku pada-Mu.”
“Di mana kau? Tak sudi lagikah kau memberiku makan? Tak sudi lagikah kau kutunggu saban malam? Aku janji, aku takkan pernah menghabiskan jatah makan untuk esok siang. Aku janji, aku akan menunggumu saban malam dan menghapus peluh di wajahmu yang terus bercucuran. Jadi, kumohon kembalilah. Kembalilah ke pelukan. Kumohon, kembalilah! Aku pasti sangat merindukan lukisan rambut keritingmu di atas rembulan. Aku sangat menyayangimu bagai Emakku. Walau kau tak pernah mengeramku di rahimmu.”
Banda Aceh, 24 Oktober 2011
Penulis adalah mahasiswa Gemasastrin dan pegiat di Komunitas Menulis Jeuneurob (KMJ).