Beranda Cerpen Lelaki Paris

Lelaki Paris

BERBAGI

Oleh Cut Atthahirah

Ilustrasi

Langit malam bertaburan bintang bak berlian terhampar. Angin menyapu tebaran dedaunan yang terserak di jalanan. Namun, malam ini sinar bintang tidak terlalu terang, karena purnama sedang menguasai malam.

Beberapa nelayan yang merupakan penduduk pesisir laut selatan, sedang berkumpul di salah satu gubuk yang kerap menjadi tempat favorit para nelayan, kala letih menjemput malam. Gubuk itu dinaungi atap ilalang dan memiliki satu jendela menghadap ke laut. Dari sini mereka dapat menikmati panorama syahdu. Perpaduan apik antara langit dan laut yang biru bila siang terang dan merasakan angin menyapu muka dengan lembut dan syahdu.

Iklan Souvenir DETaK

 

Seperti biasa, malam ini mereka kembali memilih tempat ini sebagai tempat melepas penat dan letih. Sebelum akhirnya, seruan-seruan dari menara masjid terdengar azan isya mengusir pulang mereka. Betapa daerah pesisir itu sangat mengenal agama, bahkan jauh lebih akrab dibanding dengan orang-orang kota, menurut kabarnya. Aku sendiri tidak begitu paham, karena sejak masih bayi, aku telah menjadi penghuni setia pesisir laut selatan itu.

Daerah yang kerap tersohor dengan mitosnya itu. Yang kuingat, sejak kecil hingga kini, tempat yang kukenali hanya pesisir itu. Bahkan, dahulu aku mengira bahwa Indonesia adalah nama lain dari tempat itu.

Lelaki itu, Jose Martin, berkebangsaan Paris yang terseret ombak ke sini, tatkala kapal yang dikemudikannya dibajak oleh sekawanan perompak. Ah, syukur orang-orang kota yang disebut ‘pemerintah’ oleh Jose itu cepat tanggap. Jika tidak, mungkin wajah Jose tak secerah malam ini. Kupandangi wajahnya diam-diam, kutemukan bias kerinduan mendalam di balik matanya yang biru ke abu-abuan. Aku pikir, kerinduan itu teruntuk keluarganya di kampung halaman. Hmm. Paris.

Aku sungguh penasaran dengan kota itu. Jose pernah bilang bahwa Paris itu adalah salah satu kota terindah di dunia. Hanya sampai di situ ia bercerita, karena dipotong oleh suara ibu yang berteriak-teriak dari kejauhan menyebut nama kami bergantian.

”Jose, Muhammad!” Wajah ibu menyiratkan kegembiraan.

Setelah mendengar penuturan ibu, barulah kemudian kami berdua mengerti bahwa para perompak dan kapal yang dikemudikan Jose telah berada dalam wilayah orang yang tepat. Begitu Jose berkata padaku dengan bahasa Indonesia-nya yang masih terbata-bata. Namun, tetap membuat kami bersyukur karena masih bisa berkomunikasi dengannya. Meski sebelumnya, sempat membuatku heran, darimana ia belajar bahasa Indonesia.

”Aku nahkoda kapal, sering keliling dunia, termasuk Indonesia. Makanya, harus belajar banyak bahasa.” Katanya terbata.

”Hai, Muhammad! Hari sudah malam. Mari kita tidur,” katanya cepat sambil menutup mulut yang menguap.

”Duluan saja. Aku belum mengantuk,” aku tersenyum sembari menatapnya berlalu.

”Jose, kasihan kau. Kutahu kau ingin segera pulang.

Namun, masalah di sini harus diselesaikan dulu. Esok sidang terakhir. Semoga indah pada waktunya,” bisikku lirih pada langit dan laut.

Ya. Merekalah sahabat karibku. Tentu setelah Rini dan Dodot. Rini dan Dodot? Ah, bagaimana kabar mereka? Tentu sedang berjuang di perantauan menimba ilmu, lalu pulang dengan gelar sarjana nantinya.

”Aku merindu kalian berdua,”sambungku lirih, masih pada laut dan pasir.

Palu telah diketuk. Sidang berakhir dengan keputusan yang cukup membuat Jose puas. Tanpa sadar, ia sempat memelukku. ”Ill be back home! I hope so!” Matanya berkaca-kaca. Aku mengangguk-angguk sembari tersenyum tulus.

Saat itu senja, syahdu. Senja tersyahdu dari senja-senja tersyahdu dan kunikmati dengan syahdu. Siluet kuning keemasan di langit biru menjadi kenikmatan tersendiri saat itu. Lembayung merah bergradasi menuju warna putih awan di sisi lainnya tak kalah memabukkanku. Di sisi satunya melintas seekor burung besi yang makin jauh semakin mengecil di mataku. Hingga akhirnya tak terlihat lagi, kecuali asap putih membentuk garis lurus yang masih melayang.

“Jose sudah sampai di langit ke berapa, ya?” Pikirku konyol. Jose Martin. Ah, kau telah banyak berjasa padaku. Jika saja peristiwa naas kapalnya itu tak pernah terjadi. Mungkin hingga kini, esok, bahkan entah hingga kapan, aku tak pernah tahu bahwa bumi ini tak sebatas pesisir laut selatan. Namun, lebih dari itu. Ada belahan lain yang menempati bumi. Belahan lain itu bukan hanya Indonesia, bukan hanya Paris, namun dunia, Dunia!

”Aku ingin keluar dari sini! Aku ingin keliling dunia!” Aku berseru sambil melompat-lompat. Seakan ingin meraih langit.

”Tapi…” Tiba-tiba sebuah bayangan merenggut kebahagiaan itu. Bayangan ibu, bayangan bapak. Ah, ibu. Mengapa kau memenjarakanku oleh ruang masa lalumu? Bahkan, mungkin kau sengaja tak membiarkanku berteman dengan dunia pendidikan gara-gara itu.

*Cut Atthahirah, Bergiat di Komunitas Menulis Jeuneurob dan Mahasiswa Gemasastrin FKIP Unsyiah.