Beranda Cerpen Janji Sang Dokter

Janji Sang Dokter

BERBAGI
(Foto: Istimewa)

Janji adalah hutang,  setiap hutang harus dibayar jika tidak ingin mendapat siksa di akhirat kelak. demikian guru mengaji mengatakan padaku, setiap muslim seharusnya tahu betul akan makna sebuah janji, terlebih orang asli dari kota ini. Maklum saja, disini katanya kota syariat. di kota ini banyak gadis-gadis berjilbab, sedangkan pemudanya banyak juga menggunakan celana sepaha ketika menendang bola kesana kemari dilapangan. Namun tetap sudah pasti bahwa kotaku ini berpenghuni muslim. Disini juga banyak sekali aturan, hanya ternak yang kiranya sungguh sering melanggar aturan tersebut. Terbukti dengan banyaknya sapi yang ikut lalu lalang dijan-jalan kota. Aku bahkan pernah menabraknya hingga mengalami luka cukup serius. Namun inilah kotaku duhai rakan.

Dikota ini juga terlahir bang Jaimi, seorang dokter yang kini sudah diusia senja. Beliau adalah ahli kesehatan keluargaku selama bertahun-tahun. Nah sekarang sang dokter mulai menjadi bahan hujatan ribuan bahkan jutaan orang di kotaku tinggal. Bagaimana tidak, dulunya dia adalah seorang dokter yang memiliki reputasi mentereng karena terkenal dengan kehebatannya, sedangkan sekarang beliau adalah seorang wali kota. Yang membuat beliau banyak dihujat bukan karena beliau bodoh, bukan pula karena beliau pernah terbukti korup. Hanya saja beliau tidak menepati janjinya pas waktu kampanye. Hahaha….. sungguh manis janji dokterku ini, juga sungguh aneh warga kotaku bisa termakan oleh janji itu. Hampir seluruh dunia tahu bahwa beliau menjanjikan uang bulanan sebesar satu juta rupiah untuk setiap kepala keluarga. Weleh weleh….memang, yang namanya janji politik itu susah dipercaya. Terbukti sudah hingga kini kami sekota belum menerima sepeser pun.

Dulu sewaktu hendak mencalonkan diri beliau sempat curhat sama ayah. Maklum, ayahku cukup dekat dengan beliau.

Iklan Souvenir DETaK

“ Insya Allah saya akan mencalonkan diri Pak. Saya melihat bahwa kota ini hanya akan maju bila dipimpin oleh penduduk asli ”

Ayahku yang notabenenya bukan berasal dari bangsa asli balik bertanya.

“apa dokter yakin yakin? Warga kota ini juga banyak yang bukan bangsa asli”

“saya yakin, seribu persen yakin. Mereka orang luar hanya mengacaukan semuanya. Kita harus mengulang sejarah emas kota ini. Dari zaman dulu warga sini disegani hingga kemana-mana”

Ayahku hanya mengangguk tanpa makna. Mungkin dokter ini bahkan tidak tahu bahwa dia sedang menyinggung lawan bicaranya. Ayahku pendatang dari pulau seberang.

Beberapa bulan kemudian beliau ditetapkan menjadi kandidat walikota, dan tidak tanggung-tanggung, beliau menang besar, dipilih oleh lebih dari separuh warga kota. Umpan politiknya pun begitu muluk-muluk  dengan menjanjikan uang satu juga untuk tiap kepala keluarga jika dirinya terpilih.

“maka dari itu pilihlah kamiiiiiiiii” begitu beliau meyakinkan massa nya dalam bahasa khas kotaku. “hanya kita yang udang, yang lain batu” lanjutnya

Hehehe….

Aku senang bukan main mendengar janji calon pemimpin yang satu ini. Aku langsung berandai-andai. Ayah dan ibuku sama-sama pegawai negeri yang mempunyai gaji tetap, dan aku adalah anak tunggal. Tidak salah agaknya bila uang satu juta pemberian dokter ini nanti kulahap habis. Ayah pasti tidak keberatan, toh ayah dan ibu punya penghasilan sendiri.

“waah…. Mudah-mudahan bang Jaimi menang. Bisa berduit diriku….. hahaha….” aku tersenyum sendiri mengingat uang satu juta dalam genggaman setiap bulan. Bang Jaimi juga bilang  akan menyekolahkan warga kota dengan gratis .

“dapat darimana ya uangnya?”

Oh…. Waktu itu  aku sungguh tidak sadar bahwa ternyata warga kotaku adalah pemilih yang buruk dan mudah di bohongi.

Waktu terus berlalu, dan janji tinggal janji. Uang itu tidak pernah kami terima. Tidak pula ada teman temanku yang sekolah gratis. Semuanya harus bayar. Yang semakin maju hidupnya hanyalah para dokter, tunjangan dokter dinaikkan setinggi langit. Selain dari golongannya sendiri, Tidak ada perubahan yang terjadi sepanjang hematku. Malah hal-hal aneh yang banyak terjadi sepanjang tahun ini. Mulai dari Pak guru jadi camat hingga pak camat jadi kasir. Hehehe….. lucu.

“kau tidak usah heran nak, politik itu memang kejam sangat. Kalau kau besar, sebagai jadi pedagang saja” nasihat ayahku

“kenapa gitu ayah? Malah lebih enak kayak ayah, jadi pegawai negeri” timpalku

“kau harus merubah caramu berpikir, sukses itu bukan Cuma jadi pegawai” lanjutnya

Ayahku menjelaskan panjang lebar tentang kemauannya akan masa depanku. Aku mendegarkan dengan begitu serius. Hingga akhirnya aku berkata.

“jadi bang Jaimi itu nanti masuk neraka yah?”

“yaa.. kalau beliau tidak menepati janjinya, Allah sudah menjanjikan azab yang pedih”

Oh kasihan juga bang Jaimi, padahal beliau sering membantuku menurunkan demam. Memberi obat batuk untuk ayah, juga membuat gatal-gatal ibuku berkurang atas izin Allah. Mengapa beliau tidak menjadi dokter saja. Sepertinya aku semua harus bilang wow untuk dokter Jaimi.

“dika, jangan keras-keras ya bilang nya, dia sekarang bukan orang sembarangan. Nanti kamu bisa kena getah” ayah mengingatkan

“Getah apa yah?”

“Getah panah !”

Uh… aku bingung dengan sastra ayah.

Hadi Luthfy Dhahira
Mahasiswa FISIP Unsyiah Jurusan Ilmu Politik