Oleh: M. Fajarli Iqbal
……
Gelap pandanganku gelap
Pendidikan tidak memberi pencerahan
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran
………
Petikan puisi Rendra yang ditulis 38 tahun yang lalu itu terasa masih relavan dengan dunia pendidikan sekarang. Pendidikan kita masih terasa hambar ilmu. Pendidkan kita terlihat stagnan dan tetap begitu-begitu.
Annas Salahuddin dalam bukunya Filsafat Pendidikan memaparkan bahwa pendidikan merupakan proses mendidik, membina, mengendalikan, mengawasi, memengaruhi, dan mentransmisikan ilmu pengetahuan yang dilaksanakan oleh pendidik kepada anak didik untuk membebaskan kebodohan, meningkatkan pengetahuan, dan membentuk kepribadian yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Berangkat dari pemikiran dasar itu dan beberapa ahli yang sependapat dengan Annas, mari kita bertanya, sudahkan pendidikan kita menerapkan dasar filsafat tersebut dalam sistem pendidikan nasional? Saya rasa belum sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan kita kehilangan esensi dalam proses mendidik.
Jenjang demi jenjang serta setiap administrasi dan birokrasi pendidikan dilalui oleh anak negri. Namun pernahkan kita memahami esensi ilmu dari apa yang telah dipelajari? Atau sudahkan generasi kita berubah menjadi lebih baik dengan sistem pendidikan yang sekarang? Atau jangan-jangan pendidikan kita hanya persoalan formalitas sekolah yang katanya wajib belajar 9 tahun dan setelah itu tak meninggalkan bekas pendidikan dan ilmu pengetahuan yang nyata bahkan tak memperlihatkan etika seorang yang terpelajar.
Tak ada yang tahu kapan tatanan pendidikan menjadi seperti itu. Namun sejak ijazah muncul semua kalangan sangat mengagungkannya, sebagai bukti resmi seorang telah menaikan derajat hidup. Ijazah dan gelar akademik punya tempat sendiri dalam tatanan sosial. Awalnya mungkin hanya bersifat sebagai bukti dan legal resmi sebuah fase pendidikan. Namun lama-kelamaan secarik kertas dan sederet gelar itu menjadi orientasi utama tanpa memikirkan esensi ilmu dan tujuan pendidikan.
Pendidkan sekarang agaknya lebih mementingkan legal resmi ijazah sampai pada tahap mengaburkan esensi ilmu itu sendiri. Lihat saja siswa SMA atau SMP tingkat akhir yang ‘ngebut’ belajar demi mengahadapi ujian nasional yang pada akhirnya hanya mempelajari bagaimana cara menjawab soal yang berserakan di buku-buku lembar kerja. Tujuannya untuk apa? Tentu saja untuk mendapatkan ijazah yang memiliki nilai tinggi dan bisa digunakan untuk keperluan birokrasi lainnya.
Persoalan ini seharusnya tak dipandang sebagai rentetan kasus yang tak penting. Sebenarnya inilah dasar permasalahan pendidikan kita. Percayakah kita kepada seorang dokter yang semasa kuliah dulu tidak benar-benar belajar? Sudikah kita mempercayakan pendidikan anak kita kepada guru yang tak mengerti cara mendidik? Sangat tepat ketika Rendra menyebut ‘budak birokrasi’ sebagai sebuah cermin retak dunia pendidikan yang lebih berorientasi pada sistem birokrasi bukannya tatanan budaya atau keagungan ilmu pengetahuan.
Sebuah jawaban
Sistem pendidikan nasional tentu sudah ditata rapi dengan sedemikian rupa dengan cara menghindari celah kecurangan dengan berbagai instansi. Badan akreditasi, penjamin mutu, pengawas sekolah, bahkan polisi juga ikut mengontrol tatanan agung dunia pendidikan. Namun kadang kita sering lupa tujuan sebenarnya dari sebuah budaya pendidikan. Kadang kita telalu mementingkan teknis sehingga melupakan esensi.
Menjawab semua itu, kita perlu menguatkan basis mendidik yaitu pendidikan dalam keluarga. Percaya atau tidak, ternyata pendidikan dalam keluarga sangat luar biasa berpengaruh dalam kehudupan dan tatanan pendidikan nasional. Jika seorang anak dalam keluarganya didik rapi dan teratur maka di sekolah ia akan lebih paham bagaimana tentang hidup disiplin.
Penguatan basis pendidikan dalam bermasyarakat kadang sering kita lupakan. Kadang sering dari kita yang menyerahkan semua persoalan pendidikan di sekolah padahal kita tahu pendidikan di rumahlah yang sangat berpengaruh.
Baru-baru ini muncul kisah tentang uniknya pendidikan di rumah. Seorang anak yang masih berumur 13 tahun telah memperoleh ijazah SD, SMP sampai SMA samapai kemudian mengambil tes untuk masuk pergurua tinggi melalui SBMPTN. Ternyata selama ini ia belajar di rumah bersama orang tuanya dan mengikuti ujian kesetaraan SD sampai SMA dan ikut masuk dalam tes sebuah perhuruan tinggi elit. Uniknya, saat diwawancarai media ia mengaku dapat menjawab 90 persen dari soal tersebut.
Itulah kekuatan dari pendidikan di rumah. Boleh saja mempercayai lembaga pendidikan untuk menjamin pendidikan anak. Namun, pendidikan di rumah sangatlah diutamakan. Mendidik dengan hati dan perasaan dari seorang yang sangat ia kenal maka apa pun yang diajarkan akan melekat dan menjadi jalan hidup seorang anak.
Tentu saja, dalam mendidik pun kita perlu memperhatikan berbagai aspek. Kita harus memahami bahwa mendidik adalah mencerdaskan bukan mengekang dengan pola pikir keliru dan terpaksa. Biarkan anak berpikir bebas dan merdeka. Orang tua hanya perlu memicunya. Dan yang paling penting kita harus memperlihatkan mana yang baik dan mana yang buruk dari sebuah tatanan kehidupan dan aspek moral. Mari kuatkan basis pendidikan di rumah untuk menuju tatanan agung pendidkan dan peradaban yang lebih sempurna.[]
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan jurnalis di portal berita online detakusk.com dan portalsatu.com.