Memperbaiki Citra Apoteker di Mata Masyarakat
Oleh Raihanul Akmal
Setiap kali mendengar nama apoteker, banyak di antara kita yang langsung membayangkan sebuah apotek. Tidak salah memang, karena sejak dulu apoteker dikenal sebagai pembuat obat atau penjual obat di apotek.
Pengertian apoteker secara spesifik adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian). Pendidikan apoteker dimulai dari pendidikan sarjana (S-1), yang umumnya ditempuh selama empat tahun, ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi apoteker. Seperti yang kita ketahui, pencitraan dalam sebuah keprofesian merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan profesi tersebut dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Citra sebuah profesi di mata masyarakat memberikan gambaran tentang sejauh mana masyarakat mengenal dan merasa terbantu oleh pelayanan profesi tersebut. Ketika masyarakat merasa puas dan terbantu serta profesi tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka citra profesi tersebut dapat dikatakan baik atau tinggi. Di luar negeri, terutama negara-negara maju apoteker menjadi salah satu profesi kesehatan yang memiliki citra baik di mata masyarakatnya. Apoteker memiliki andil yang sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Akan tetapi, citra profesi apoteker di mata masyarakat Indonesia kurang dipercaya. Padahal seorang apoteker mempunyai ilmu farmasi yang telah ia pelajari secara susah payah dan penuh perjuangan selama di perkuliahan, tetapi ketika mereka membaginya kepada masyarakat, terkadang masyarakat tidak mempercayai kredibilitas seorang apoteker. Bahkan masyarakat lebih percaya pada dokter.
Bagi masyarakat, dokterlah yang lebih sering menerangkan mengenai obat dibandingkan apoteker. Dalam berbagai penyuluhan tentang obat-obatan pun yang menjadi pemateri adalah seorang dokter bukan seorang apoteker.
Contoh lainnya, menteri Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lagi-lagi adalah seorang dokter bukan seorang apoteker. Padahal seorang apoteker lebih mengetahui tentang standarisasi produk makanan dan obat-obatan karena itu merupakan salah satu bidang ilmunya. Bahkan, terkadang ketika seorang apoteker sedang melakukan konsultasi kepada pasien, pasien akan memanggilnya dengan sebutan “dok” karena anggapan orang awam yang mengetahui tentang obat-obatan itu adalah seorang dokter dan apoteker adalah orang yang menjual obat di apotek. Sungguh hal ini sangat miris. Yah, miris sekali memang, jika dikaitkan dengan profesi apoteker yang seolah berada dibawah dokter. Padahal, dokter dan apoteker mempunyai fungsi masing-masing profesi yang saling terkait dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Di banyak belahan dunia, apoteker telah memainkan peran penting dalam penyediaan layanan kefarmasian. Di Singapura, seorang apoteker sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya dikenal sebagai seorang ahli pembuat obat saja akan tetapi juga dihargai sebagai profesi yang ikut peduli secara langsung terhadap kesehatan masyarakat, bukan hanya berada di belakang layar namun juga ikut tampil sebagai seseorang yang mengerti seluk beluk farmakoklinik.
Apoteker dan dokter bekerja sama dalam menangani masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan, di Negara-negara Eropa dan Amerika, profesi apoteker merupakan profesi yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dari masyarakat, bahkan profesi apoteker dapat dijadikan jaminan jika ingin meminjam uang di bank atau lembaga peminjaman lainnya. Di Negara-negara maju seorang dokter hanya menuliskan diagnosa dari penyakit pasien, kemudian ia menyerahkan kepada apoteker untuk pemilihan obat yang tepat.
Pasti muncul pertanyaan dari benak kita, lantas mengapa apoteker di Indonesia tidak seperti itu? Hal ini disebabkan karena peran apoteker yang tidak berjalan sesuai dengan yang semestinya dan tidak tegasnya hukum yang berlaku di Indonesia. Terkadang, selama apotek buka atau beroperasi apotekernya tidak ada ditempat, sehingga apotek kerap beroperasi tanpa diawasi apoteker.
Menurut PP No 51: “Pekerjaan Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”, selain itu pada pasal 21 ayat 2 yang berbunyi: “Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Jadi, “terlarang” bagi apotek yang apotekernya tidak ada di tempat untuk melayani resep dokter. Selain itu, Kurangnya pengawasan terhadap jalannya regulasi kefarmasian, membuat pelayanan apotek komunitas di tanah air berjalan seperti hal biasa.
Masyarakat mengenal apotek sebagai tempat membeli obat, bukan tempat yang memberi manfaat lebih bagi percepatan perbaikan kesehatannya. Yah, itulah kenyataan yang tejadi yang harus kita terima tetapi tidak kemudian menjadi alasan untuk tidak melakukan langkah apa-apa, karena seharusnya apoteker sadar akan tanggung jawabnya.
Beberapa tanggung jawab penting seorang apoteker, Pertama, memberikan berupa resep-resep yang dibawa oleh pasien ataupun keluarga pasien untuk ditukarkan dengan obat akan diperiksa (screening) oleh apoteker meliputi nama pasien, umur pasien, obat apa yang dibutuhkan pasien, dan bagaimana cara meminumnya.
Kedua, promosi dan edukasi apoteker seharusnya melakukan promosi dan edukasi kesehatan kepada masyarakat, dapat berupa pembagian pamflet atau brosur dan juga pemberian penyuluhan mengenai penyakit maupun informasi obat-obatan dan.
Ketiga, pelayanan residensial (homecare) apoteker seharusnya selalu melakukan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau perkembangan kesehatan pasien berkaitan dengan pengkonsumsian obat. Untuk menjalankan tanggung jawab tersebut Apoteker harus bergerak maju, tidak lagi cukup hanya bekerja di belakang meja atau hanya sekedar menyiapkan pil atau tablet saja, namun harus mulai melayani pasien secara langsung.
Tidak ada masa depan dari hanya sebatas dispensing. Kegiatan dispensing dapat dan akan diambil alih oleh internet, mesin, atau teknisi terlatih. Fakta bahwa apoteker mendapat pendidikan akademik dan sebagai sebuah profesi dalam pelayanan kesehatan mengharuskan apoteker untuk memegang tanggung jawab yang lebih dari yang sekedar yang mereka lakukan sekarang ini. karena apoteker lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep rasional.
Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana? kapan? dan mengapa?” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter. Apoteker lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman. Apoteker lah yang merupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional.
Jadi, untuk memperbaiki citra profesi kefarmasian/ apoteker dikalangan masyarakat harus didasari pada kesadaran diri sendiri seorang apoteker dengan cara mengabdi dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati.[]
*Penulis adalah Raihanul Akmal, Mahasiswi Farmasi di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh angkatan 2015.