DETaK | Opini
Rasialisme, perilaku rasis, dan isu sara di Indonesia
Dalam kehidupan sehari-hari, pastilah kita sudah sangat sering mendengar kata ‘rasis’. Namun, apakah kita benar-benar mengetahui apa sebenarnya rasis, bagaimana perilaku rasis dan juga dampaknya?
Jurnal Mental Health Impacts of Racial Discrimination in Australian Culturally and Linguistically Diverse Communities: A Cross Sectional Survey menyebutkan bahwa rasis atau rasisme merupakan jenis perilaku, praktik, kepercayaan dan prasangka yang mendasari ketidaksetaraan sistemik dan dapat dihindari dalam kekuatan sosial dan kesempatan lintas kelompok dalam masyarakat berdasarkan ras, suku, budaya atau agama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “rasis” atau “rasialisme” adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelag terhadap (suku) bangsa yang berbeda, paham bahwa ras sendiri adalah ras yang paling unggul. Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida.
Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Di Indonesia sendiri, isu sara atau rasis sudah melekat sejak lama. Hal ini berkaitan degan penduduk Indonesia yang beragam, terdiri dari 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa daerah, serta masyarakat yang memiliki kepercayaan berbeda seperti yang telah diakui di Indonesia, yakni 5 agama.
Seperti yang telah kita ketahui, beberapa waktu belakangan kerap muncul berbagai permasalahan yang menyangkut isu sara. Mungkin karena kebanyakan masyarakat di Indonesia merasakan rasisme dalam hal agama, terutama di kalangan minoritas. Sebut saja kaum muslim yang tinggal di bagian timur Indonesia yang mayoritas penduduknya non-muslim. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan masyarakat non-muslim merasakan hal yang sama ketika berada di daerah dengan penduduk mayoritas beragama Islam.
Selain itu, isu sara yang sering mucul di kalangan masyarakat Indonesia yakni yang berkaitan dengan suku dan budaya. Dalam hal ini mungkin tidak banyak kita jumpai atau rasakan, terlebih apabila tinggal di “tanah sendiri”. Sebaliknya, apa yang terjadi jika kita yang tinggal di “tanah orang”?
Baik, mari saya tunjukkan contoh nyata dari tindakan rasisme di seitar kita. Kejadian ini terjadi tahun 2015 silam dalam satu mata kuliah di Universitas Syiah Kuala. Ketika itu, di dalam ruang kuliah umum terdapat seorang mahasiswi berkulit gelap dan tidak mengenakan jilbab seperti mahasiswa lain. Di tengah kuliah, dosen menyinggung tentang agama lain dan non-muslim.
Selanjutnya, dosen langsung menunjuk ke arah mahasiswi berkulit gelap tersebut sambil berkata, “Hei, Papua!” dan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ibadah yang dilakukan oleh agama yang ia anut dan lain-lain.
Lalu, apa yang terjadi pada mahasiswi tersebut? Dia tidak pernah kembali lagi ke kampus Unsyiah.
Begitu mirisnya potret keberagaman di Indonesia. Jika yang kita tahu mengenai kejahatan yang berkaitan dengan isu sara hanya ada di luar negeri, seperti di Amerika pada tahun 1990an, penembakan sering terjadi di jalan-jalan kota antara si “kulit putih” dengan “kulit hitam” atau antara orang barat dengan orang asia atau mungkin masyarakat hanya mengingat genosida terbesar yang dilakukan oleh NAZI di Jerman sebagai satu-satunya perang karena isu sara.
Sayangnya, tidak banyak masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa sebenarnya di negeri sendiri pun banyak perilau rasis yang terjadi, atau bahkan diri kita sendiri pernah melaukan hal tersebut pada orang lain.
Contoh nyata kejadian besar yang pernah ada di Indonesia meyangkut rasisme yaitu adanya perang sampit yan terjadi di Kalimantan antara penduduk asli dengan imigran asal Madura. Tidak perlu terlalu jauh, kita bisa mulai melihat sekeliling kita. Pasti banyak tindakan rasial yang kita anggap biasa saja padahal dampak yang akan terjadi pada korbannya sangat serius.
Isolasi sosial sebagai dampak perilaku rasis bagi individu
Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia (RI), isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang intim, hangat, terbuka, dan interdependen dengan orang lain. Buku Diagnosa Keperawatan Nanda Nic-Noc menjelaskan bahwa isolasi sosial adalah ksendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu pernyataan negative atau megancam.
Isolasi sosial berhubugan erat dengan depresi. Seseorag yang mengalami isolasi sosial akan sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kebanyakan orang yang mengalami isolasi sosial akan mengurung diri dalam waktu yang lama dan menghindari kontak dengan individu lain.
Ada beberapa gejala yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami isolasi social, yaitu merasa tidak berminat dengan hal-hal yangada di sekitarnya, meraa berbeda dengan orang lain, merasa tidak mampu memenuhi harapan, merasa sendirian, menolak interaksi dengan orang lain, dan merasa tidak diterima oleh orang lain atau lingkungannya.
Selain itu, individu yang mengalami isolasi sosial juga akan merasa bahwa ia tidak mendapat dukungan dari orang-orang yang dianggapnya penting, tidak ekspresif dan sering menampakkan ekspresi sedih, meraa tidak berarti, tidak ada kontak mata ketika berkomuikasi, menyendiri dan tidak komunikatif.
Dampak apabila seseorang megalami isolasi sosial adalah individu tersebut akan acuh terhadap kebutuhan dasarnya seperti makan dan mandi. Akibatnya, ia akan kekurangan nutrisi dan gangguan pada perawatan dirinya. Selainjutnya, seseorang yang mengalami isolasi sosial sangan beresiko melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Hal ini berkaitan erat dengan depresi dan perasaan sendiri, tidak dipedulikan dan merasa tidak adanya dukungan dari orang terdekat.
Lalu, bagaiamana perilaku rasis bisa menyebabkan individu mengalami isolasi sosial?
Jika kembali dikaitkan dengan perilaku rasis yang terjadi di kalangan masyarakat, tentunya sangan berhubungan.
Penelitian yang dilakukan dalam jurnal Mental Health Impacts of Racial Discrimination in Australian Culturally and Linguistically Diverse Communities: A Cross Sectional Survey menyebut bahwa tidakan rasisme yang dialami oleh imigran atau penduduk minoritas di Australia menyebabkan penurunan tingkat kesehatan mental korban.
Tidak jauh berbeda, dalam jurnal Effects Over Time of Self-reported Direct and Vicarious Racial Discrimination on Depressive Symptoms and Loneliness Among Australian School Students menemukan bahwa diskriminasi rasial langsung memiliki efek terus-menerus terhadap gejala depresi dan kesepian di kalangan siswa sekolah dari waktu ke waktu.
Dalam jurnal-jurnal tersebut, dijelaskan bahwa individu dari rasa tau etnis minoritas yang mengalami tindakan diskriminatif atau rasial mengalami tekanan psikologis yang tinggi. Maka bisa disimpulkan bahwa, jika tindakan rasial terus menerus dilakukan pada individu tertentu maka individu tersebut akan mengalami tekanan psikologis yang berat atau sangat berat sehingga memungkinkan munculnya depresi, rasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak diterima, merasa sendirian dan lain sebagainya. Semua perasaan tekanan yang muncul akibat dari tindakan rasial tersebut nantinya akan membuat individu menarik diri dari lingkungan sehingga timbul isolasi sosial pada individu tersebut.
Sama halnya dengan contoh yang saya paparkan sebelumnya, tentang seorang mahasiswi berkulit gelap yang berasal dari wilayah timur Indonesia yang mengalami tindakan rasial di dalam ruang kuliah. Perilaku diskriminatif yang didapat oleh mahasiswi tersebut pastilah menyebabkan tekanan psikologis yang sangat berat, terlebih lagi hal tersebut dilakukan oleh dosen pengajar serta di depan banyak mahasiswa lain. Tentunya hal ini beresiko besar menyebabkan munculnya depresi hingga kemungkinan terjadinya isolasi sosial.
*Penulis bernama Dhenok Megawulandari, mahasiswi jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Unsyiah angkatan 2015. Saat ini aktif sebagai pengurus DETaK Unsyiah.
Editor: Mohammad Adzannie Bessania