Beranda Opini Inattentional Blindness :Suatu Kebutaan Nurani

Inattentional Blindness :Suatu Kebutaan Nurani

BERBAGI

Ketika anda menyaksikan pertunjukan sulap, baik secara langsung maupun yang ditayangkan di televisi, anda sudah pasti pernah “tertipu” dengan trik-trik cepat yang disajikan para pesulap itu. Mungkin anda sudah sering menyaksikan adegan ekstrim Harry Houdini di televisi, sang ahli meloloskan diri, ataupun aksi fenomenal David Copperfield kala datang berkunjung ke Jakarta dulu dan menurunkan hujan salju. Selalu saja ada trik-trik baru dan susah diterima akal sehat sederhana yang dipertunjukkan oleh mereka. Bagaimanapun, kita pasti selalu dibuat terkagum-kagum oleh aksi panggung para pesulap tersebut.

Sulap adalah seni yang menakjubkan bagi banyak orang. Namun dalam kekaguman itu, ada satu pertanyaan mendasar yang muncul dalam diri kita: “Bagaimana mungkin mereka bisa melakukannya?” Ada bermacam-macam cara, mulai dari penggunaan benda-benda biasa yang sudah “dikondisikan” sampai pemakaian kostum, set panggung, dan penghasil efek khusus. Namun, yang menjadi andalan utama seorang pesulap pada dasarnya hanyalah gerakan tangan, tubuh, dan kata-katanya serta pengetahuan akan mata dan pikiran manusia yang tidak sempurna.

Para pesulap itu sebenarnya hanya melakukan suatu gerakan anggota tubuh dengan sangat cepat sehingga bisa luput dari penglihatan kita selama proses sulap berlangsung. Dengan begitu, hal-hal yang sebenarnya bisa dicerna dengan logika sederhana luput dari pengamatan kita. Jika anda mengalami hal ini ketika menyaksikan para pesulap beraksi, maka anda termasuk manusia normal yang memiliki kelemahan persepsi yang disebut dengan inattentional blindness.

Iklan Souvenir DETaK

Inattentional blindness merupakan suatu fenomena di mana orang seolah-olah “buta” terhadap sesuatu yang berada di wilayah pandangannya dan jelas-jelas ia (mampu) melihatnya. “Kebutaan” ini disebabkan karena pada saat itu kita sedang tidak memerhatikan, atau perhatian kita sedang terpusat pada hal lain, sementara jangka perhatian kita terbatas. Dengan adanya “kebutaan” ini, sang pesulap bisa dengan mudah mengecoh perhatian kita dalam melakukan trik-trik sulapnya, sehingga menimbulkan kesan bahwa apa yang dilakukannya itu benar-benar murni tanpa rekayasa.

Jika diasosiasikan dalam konteks realitas psikososiokultural saat ini, agaknya fenomena inattentional blindness begitu mewabah dalam praktik kehidupan masyarakat. Indikator-indikator ini bisa dilihat sendiri dalam dinamika sosial politik suatu bangsa atau negara yang dijalankan oleh pejabat pemerintah maupun stakeholder yang diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk mengemban suatu posisi atau jabatan yang sebenarnya sarat tanggungjawab baik moral maupun sosial, namun mereka mengingkarinya. Hal ini terjadi karena “kelemahan persepsi” akut sehingga lupa sampai di mana saja batasan yang menjadi hak dan mana pula yang menjadi kewajibannya.

Lucunya, mereka ini benar-benar tidak sadar diri lagi dengan keadaan diri yang sebenarnya. Layaknya pengaruh inattentional blindness, mereka seakan terhipnotis dengan gemerlapan dan gaya hidup yang hedonis, sementara di pinggiran desa yang tertinggal jauh peradabannya dan tak pernah diberikan sosialisasi tentang apa itu teknologi, masih banyak sekali orang yang mulai frustasi dan ingin bunuh diri demi memikirkan sesuap nasi untuk anak-anaknya hari ini.

Dalam kegeraman dan kegamangan publik “mencerna” realitas sosial-politik yang sedang carut-marut ini, berbagai kekecewaan dan keputusasaan yang dirasakan publik di masa lalu semakin memantapkan persepsi kognitif publik itu sendiri dengan asumsi bahwa sikap apatisme pemerintahan terhadap eksistensi publik benar-benar sudah mengakar sangat kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan “subordinasi masyarakat/publik”. Bagaikan fenomena gunung es, berbagai dinamika yang telah terjadi hanyalah bagian atas gunung es yang menjulang di permukaan, sementara yang ada di bawah permukaan (mungkin) selamanya tak akan pernah diketahui oleh publik lagi. Hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa berbagai kasus dan persoalan yang terjadi, sejatinya sangat begitu kompleks.

Skeptisisme Publik

Salah satu faktor utama penyebab hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan ini adalah harapan besar yang dipercayakan publik kepada mereka (expectation) untuk memperbaiki setiap kebobrokan maupun degradasi moral serta berbagai ketimpangan dan ketidakdilan sosial yang tak pernah henti melanda negeri ini, namun nyatanya realitas empirik yang ada (achievement) sangatlah kontradiktif dengan apa yang diimpikan publik. Adanya kontradiksi antara tingginya harapan yang bertolak belakang dengan yang terjadi di lapangan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik baru. Konflik inilah yang membuat publik merubah pola kognitifnya menjadi lebih skeptis terhadap berbagai kebijakan, komitmen maupun retorika-retorika klasik yang disampaikan oleh para stakeholder suatu pemerintahan. Hal ini menjadi semacam trigger (pemicu) munculnya sikap skeptis pada publik.

Sudah seharusnya berbagai kasus-kasus bombastis yang mencuat ke permukaan menjadi salah satu pembelajaran empiris (punishment) baik bagi mereka yang dipercayakan sebagai pemimpin level nasional dan lokal maupun bagi publik sendiri agar memiliki kesadaran (awareness) secara keseluruhan untuk sama-sama membangun negeri ini menuju ke arah yang lebih baik, bukan sekedar retorika bualan belaka. Berbagai polemik yang melanda ini bukanlah seperti bahan hafalan siswa di sekolahan yang hanya perlu dihafal, namun perlu analisis mendalam untuk memahami kompleksitas masalah, kemudian dievaluasi dan diambil ibrar sebagai landasan untuk disikapi secara bijak dan diselesaikan dengan stabilitas emosi secara bersama-sama.

Untuk mengimplementasikan semua itu, maka diperlukan sebuah instrumen sebagaimana yang diformulasikan Abraham Maslow, yaitu aktualisasi-diri (self-actualization) baik bagi pemerintah maupun masyarakat sendiri yang menyadari eksistensinya sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini sebagaimana yang diindikasikan Allah SWT. dalam Alquran. Pemerintah bersama masyarakat dan berbagai pihak bahu-membahu membangun peradaban menuju puncak kegemilangan. Jika alternatif terakhir ini pun hanya ditanggapi dengan sikap pesimisme dan dianggap sebagai retorika semata juga, maka jangan berharap banyak, karena kesadaran untuk berubah cenderung tak akan terpatri dalam diri.

Dalam hal ini, pemerintah sudah seharusnya kembali menggalakkan implementasi peraturan-peraturan yang tingkat kedisiplinannya semakin diperketat. Jika para aparatur Negara benar-benar menetapkan hukum tanpa pengecualian, Insya Allah kasus-kasus kriminal dan amoral yang memalukan setidaknya akan terminimalisasi. Sebagai contoh, komitmen PM China dalam rangka pemberantasan korupsi. Ketika dilantik jadi Perdana Menteri China pada tahun 1998, Zhu Rongji berkata, “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu!” Zhu tidak asal bicara. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis China, dihukum mati karena terlibat suap US$ 5 juta, tanpa ampun.

Permohonan banding Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan. Jika para aparatur Negara di Indonesia bersikap seperti PM China tersebut, artinya bukan sekedar retorika pemanis wibawa saja namun benar-benar diterapkan dan konsisten dengan apa yang dikatakan, maka siapkan saja peralatan untuk mendokumentasikan sejarah peradaban baru hukum Indonesia.

Dan, masyarakat juga jangan hanya tinggal diam. Bagaimanapun, masyarakat harus tetap menjadi kontrol bagi pelaksanaan berbagai peraturan dan kebijakan dari pemerintah, karena hal itu sesuai dengan prinsip demokrasi sendiri; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika ada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai lagi dengan visi-misi semula ataupun tidak berpihak kepada masyarakat, diam bukanlah alasan yang tepat untuk membenarkan segala bentuk ketakberdayaan melawan berbagai ketimpangan. Bagi mahasiswa sendiri yang merupakan ikon perubahan serta gerakan kontrol sosial (social control) tentunya juga mengemban tanggungjawab moral sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mengontrol arah dan kebijakan pemerintah agar tak menyimpang dari aspirasi-aspirasi rakyat.

Maka dari itu, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh akhir tahun 2011 nanti, semua elemen masyarakat harus jeli melihat perubahan-perubahan iklim politik yang terjadi. Masa pembentukan kesan pertama di ranah publik yang sudah mulai dijejali oleh mereka yang mencalonkan diri di bursa Pilkada tahun ini nantinya juga akan membentuk opini publik (public opinion) tersendiri dalam masyarakat melalui apa yang mereka tunjukkan di ranah publik itu sendiri.

Siapapun yang akan terpilih menduduki kursi kepemerintahan nantinya, jika sudah melangkahi batasan-batasan yang dibuat dan disepakati bersama, maka seluruh elemen masyarakat harus “mengingatkan” mereka agar menjadi shock theraphy bagi mereka yang duduk di pemerintahan. Jika tidak, maka yang menjadi ketakutan utama kita semua adalah terulangnya fenomena inattentional blindness dalam birokrasi pemerintahan yang baru terpilih.

Agaknya kita masih ingat bait-bait puisi Wiji Thukul yang berjudul “Peringatan”, apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ dituduh subversif dan mengganggu keamanan/ maka hanya ada satu kata: lawan!

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Psikologi Unsyiah dan Kelas Menulis Muharram Journalism College (MJC) Banda Aceh