Beranda Opini Fatamorgana Anugerah Kihajar

Fatamorgana Anugerah Kihajar

BERBAGI

Oleh Devi Intan Chadijah

Ilustrasi (Sumber: Google)

Masyarakat Aceh tengah bahagia dengan penghargaan Kihajar yang di dapat. Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah dan Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal SE menghadiri penerimaan penghargaan Anugerah Kihajar tingkat nasional ini di Jakarta pada 20 November 2014 lalu. Penghargaan ini diberikan oleh Anies Baswedan selaku Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI. Penghargaan Anugerah Kihajar diberikan kepada pemerintah provinsi yang telah berhasil meningkatkan pendayagunaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) di bidang pendidikan. Yang paling membanggakan adalah penghargaan ini berturut-turut tiga kali di dapat oleh Provinsi Aceh. (Serambi, 22/11/2014).

Penghargaan Kihajar (Kita Harus Belajar) 2014 merupakan penghargaan yang diberikan kepada provinsi yang telah berhasil mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana edukasi. Berbicara tentang teknologi informasi dan komunikasi tidak lepas dari penggunaan komputer, internet dan segala macam bentuk IT untuk akses belajar-mengajar.

Iklan Souvenir DETaK

Disaat yang bersamaan Indonesia bahkan Aceh sedang dihebohkan dengan isu tindak pidana korupsi yang telah merasuk di berbagai bidang pemerintah, swasta, bahkan di bidang pendidikan. Salah satunya isu pada korupsi terbesar sektor pendidikan di dana alokasi khusus (okezone.com,15/11/2014). Dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang memiliki anggaran cukup besar dari APBN yakni sekitar 20%. Dana APBN ini diberikan kepada pemerintah daerah sebagai dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan bantuan operasional sekolah (BOS). Untuk anggaran pengadaan komputer dan alat IT bisa menggunakan dana DAK.

Mafia Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu upaya normatif yang merujuk pada nilai-nilai mulia dari kehidupan bangsa. Nilai-nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Pendidikan mampu membimbing manusia menjadi manusia yang mempunyai intelektual, moral  dan sosial. Dalam konteks perubahan sosial dewasa ini pendidikan tidak cukup berperan sebagaimana yang diharapkan.

Fenomena dana pendidikan menjadi peluang besar untuk melakukan korupsi. Dana alokasi khusus dan bantuan operasional sekolah seperti beasiswa, pengadaan buku dan computer, rehabilitasi sekolah, gaji honerer guru bahkan dana operasional perguruan tinggi menjadi sasaran oknum-oknum. Oleh sebab itu, dengan dana yang cukup besar membuat oknum-oknum tergiur untuk menikmatinya sehingga membuat korupsi di bidang pendidikan menjadi terstruktur dan sistematik. Bak mafia, mereka mempunyai seribu macam cara untuk beraksi. Adapun banyaknya kasus korupsi pada pengadaan komputer sekolah di Aceh salah satunya di Aceh Selatan dan Langsa (Tribunnews.com, 2/11/2014). Lantas apakah penghargaan Anugerah Kihajar yang di dapat sebanyak tiga kali berturut-turut ini hanya sebatas fatamorgana?

Menurut Sutayo dalam perspektif sosiologi ekonomi menyatakan bahwa setiap orang diharuskan untuk selalu mengambil sebuah keputusan atau pilihan. Sebuah pilihan atau keputusan akan dilakukan berdasarkan imbalan atau insentif. Jika dilihat secara praktis, insentif itu bisa berupa hadiah atau imbalan keuntungan atau bahkan berupa kerugian. Adapun merujuk pada teori ekonomi yang melihat orang akan membandingkan antara cost dan benefits sebelum keputusan atau tindakan itu dilakukan. Jika keuntungan lebih besar dari kerugian maka seseorang akan cenderung melakukan, demikian juga sebaliknya. Tindakan korupsi pada dunia pendidikan bisa dijelaskan dengan logika tersebut.

Jika kita telusuri, misalnya pada oknum-oknum dalam suatu birokrasi di bidang pendidikan. Sebagaimana diketahui, oknum-oknum ini tidak dapat hidup ‘mewah’ dengan penghasilan yang begitu pas-pasan. Keuntungan dengan melakukan korupsi menjadi jelas, yaitu menambah penghasilan. Nah bagaimana dengan kerugian, karena hukuman yang tidak efektif membuat kerugian yang berupa di penjara bisa dikesampingkan. Oleh sebab itu oknum-oknum tersebut akan cenderung untuk melakukan korupsi demi menambah penghasilan mereka.

Menurut hemat saya, dampak korupsi di bidang pendidikan ini bukan hanya pada nominal kas negara yang tersedia, namun berdampak langsung pada peserta didik dikarenakan terjadinya penurunan kualitas pendidikan bahkan merampas hak-hak anak untuk menikmati pendidikan. Disisi lain menurut UUD 1945 pendidikan menjadi indikator sangat penting untuk pembangunan negara dengan cara mencerdaskan bangsa. Namun faktanya pendidikan dijadikan sebagai komoditas atau pembangunan kas pribadi.

Aceh Negeri Madani

Merujuk pada konsep kota madani dan ingin mengembalikan kodrat Aceh sebagai Serambi Mekkah. Menurut Azyumardi Azra dalam menuju masyarakat madani menyatakan bahwa masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan pada konsep kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW tahun 622 M. Konsep madani inipun berpedoman pada pelaksanaan syariat islam. Banyak konsekwensi dari penerapan syariat islam di Aceh yang telah diimplementasikan salah satunya jarimah, maisir, khamar serta khalwat. Namun untuk penerapan hukuman bagi kasus pidana korupsi masih diatas angan-angan. Jika memang ingin memakai konsep kota madani yang bersyariat islam, maka ada baiknya harus totalitas.

Cara-cara konvensional yang telah dilakukan terbukti sampai saat ini belum mampu memberantas korupsi, bahkan semakin hari kasus korupsi semakin canggih. Melihat fenomena ini dan merujuk pada pelaksanaan syariat islam, diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis dan perangkat hukum yang dapat memberikan efek jera.

Menurut penulis, tidak ada salahnya jika diterapkan hukuman potong tangan, penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. ? Seperti di China, lambat laun tindak pidana korupsi menjadi berkurang setelah diterapkannya hukuman mati. Namun penerapan hukuman mati sampai saat ini masih menjadi polemik di kalangan pemerintah atau pun kalangan para ahli sendiri, tidak sedikit yang menolak diterapkannya hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Alasannya adalah penerapan hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Layaknya dramaturgi, pelaksanaan syariat islam di Aceh belum sepenuhnya mengacu pada perspektif hukum islam. Sebaiknya elit-elit politik meriview lagi qanun sehingga relevan dengan konsep syariat islam yang kita gunakan. Jika ditinjau dari hukum Islam untuk pelaku korupsi wajib di jatuhi hukuman maksimal (seperti potong tangan, penjara seumur hidup, atau hukuman mati) yang disesuaikan dengan nominal anggaran yang di korupsi. Karena hukum islam mempunyai tujuan awal yaitu untuk mewujudkan kebaikan (kemaslahatan) sekaligus mencegah terjadinya kerusakan. Sejalan dengan penafsiran extentif dan teleologis, maka sebenarnya penerapan hukuman mati tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi jauh lebih besar dari kejahatan genosida, terorisme, serta kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang kejam lainnya.

Selain penguatan hukum yang berefekkan jera pada para pelaku, strategi pemberantasan korupsi juga memerlukan prinsip transparan dan bebas dari kepentingan. Transparansi membuka akses masyarakat terhadap sistem yang berlaku, juga menjadi mekanisme penyeimbang. Adapun strategi pemberantasan lain yang merupakan bagian dari elemen masyarakat yaitu pers. Transparansi dapat di fasilitasi dengan baik tentu karena adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat.

Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat lebih meningkat lagi. Artinya seluruh jajaran harus bersatu dan mempunyai satu tujuan, agar terciptanya jajaran-jajaran yang mengedepankan kemaslahatan lebih kuat dari oknum-oknum korupsi. Sehingga kasus korupsi di bidang pendidikan, spesifik pada korupsi pengadaan IT sebagai penunjang globalisasi pendidikan. Agar penghargaan anugerah kihajar tidak hanya cantik dipermukaan saja. Tidak seperti fatamorgana, “nyata dari jauh palsu dari dekat”. []

Penulis adalah Devi Intan Chadijah, Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unsyiah.

Editor: Riska Iwantoni