Opini | DETaK
Pancasila hanya sebagai lambang bukan Ideologi
Dalam suatu negara atau pemerintahan yang berdaulat tentulah memiliki ideologi atau dasar pikir yang menjadi landasan dan acuan dalam segala perkara kebangsaan, dewasa ini dapat kita ketahui bahwa ada beberapa ideologi diantaranya komunis, kapitalis, sosialis dan fasisme yang memang masing-masing dari ideologi tersebut memiliki pandangan dan ciri khas dalam prosedural serta pengaplikasiaannya.
Pancasila sendiri menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia yang pada tahun 1945 dirumuskan oleh Ir.Soekarno dan Muhammad Yamin. Pada tahun tersebut kedua orang ini mempersoalkan tentang filosofi negara, pandangan hidup, ideologi, yang akan dibentuk. Pada waktu itu rumusannya sangat sederhana, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Bila ideologi itu adalah sebuah sistem nilai yang dianut oleh satu masyarakat yang punya konsepsi antropologis, kosmologis, dan filsafat sejarah yang jelas, maka apakah Pancasila layak disebut ideologi? apakah Pancasila punya konsepsi yang terang tentang Tuhan, manusia, dan alam serta sejarah? ternyata tidak, Pancasila tidak punya sistem pengetahuan yang jelas dan konsepsional. Bahkan sila-sila yang ada dalam Pancasila itu sendiri saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya Pancasila hadir dan lahir dengan konsep yang sedimikan rupa, yang dijadikan dasar negara dan harus dilaksanakan dalam berkebangsaan dan bernegara di Indonesia.
Nyatanya adalah, dengan berjalannya waktu yang semakin modern, kini Pancasila yang di gadang-gadang akan menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia hasilnya hanya menjadi hiasan atau simbol di dinding ruang sekolah dan kantor yang tertata rapi namun tidak tahu menahu apa arti dari Pancasila itu sendiri, kurangnya sosialisasi serta pemahanan Pancasila oleh masyarakat menjadi permasalahan yang berakar apabila tidak ditindak dari sekarang. Mungkin orang-orang hanya tahu bahwa Pancasila itu hanya bagian dari alur jalannya upacara bendera yang dilaksanakan rutin setiap hari Senin, tidak sadar bahwa yang dibaca itu adalah sebuah ideologi yang dijadikan dasar negara dalam berkebangsaan.
Demokrasi untuk Indonesia
Dalam hal ini apakah kita dapat mengangkat atau menyepakati agama sebagai ideologi negara? jawabnya “Iya” ada beberapa negara yang menjadikan agama sebagai dasar pandangannya baik secara politik, ekonomi dan lain-lain. Ideologi negara tentulah hal yang sangat urgent disebabkan tanpa ideologi yang menjadi dasar pandang masyarakat serta sistem pemerintahan akan kesulitan dalam menentukan kebijakan serta arah peradaban masyarakat itu sendiri, Indonesia sendiri mayoritas berpenduduk 90% beragama Islam, untuk itu menurut Hasan Tiro, Islam adalah suatu falsafah, ideologi, dan agama yang hidup dan berakar dalam masyarakat Indonesia. Atas dasar penduduk beragama Islam inilah yang menjadi alasan baginya untuk untuk menjadikan Islam sebagai falsafah hidup dan ideologi masyarakat Indonesia. Tiro menyakini bahwa Islam mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kehidupan kebangsaan Indonesia, karena Islamlah satu-satunya kekuatan yang mampu mempersatukan sebagian besar dari bangsa-bangsa Indonesia yang alamnya, sejarahnya, bangsanya, bahasanya, kepentingan ekonominya, politiknya, dan adat istiadat tidak pernah mengenal kesatuan itu.
Maka dari itu Tengku Hasan Muhammad di Tiro seorang yang awal masa mudanya sangat nasionalis yang sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS, di kota tempat PBB bermarkas itu pula Tiro menamatkan program doktor pada Columbia University.
Pada tahun 1958, setelah 8 tahun berada dan kuliah di Amerika Serikat, Hasan Tiro menulis buku yang berjudul “Democracy for Indonesia” dalam bahasa Inggris dan juga Melayu. Tiro mengatakan bahwa “Pancasila bukan filsafat atau suatu ideologi yang hidup dalam masyarakat Indonesia.” Tiro berpendapat bahwa Islamlah yang dijadikan filsafat atau ideologi negara karena ia hidup dan berakar dalam masyarakat Indonesia. Tiro juga menolak bentuk ketatanegaraan Republik Indonesia yang bersifat unitaris, karena bentuk seperti demikian akan menimbulkan dominasi suku. “Demokrasi untuk Indonesia” ala Hasan Tiro adalah sebuah tatanan negara yang keterwakilan politiknya berdiri diatas dua kamar besar, suku bangsa disatu kamar dan perbedaan ideologi dikamar yang lain, keterwakilan ideologi adalah keterwakilan lewat partai politik. Sementara keterwakilan suku bangsa adalah keterwakilan sebagaimana layaknya lembaga Kongres dalam tatanan negara Amerika Serikat, dimana setiap “Provinsi” memiliki keterwakilannya di pemerintah pusat, cara pemilihan berdasarkan “Electoral District System”, dimana orang yang dipilih menjadi wakil suatu daerah haruslah berasal dari daerah tersebut yang benar-benar mengerti kebutuhan daerah tersebut.
Maka dari itu, Tiro pun mengatakan bahwa bentuk negara sistem federasi adalah tepat untuk negara keberagaman seperti Indonesia. Keleluasaan pengelolaan sumber daya alam dan demokrasi lokal menjadi kekuatan utama yang membuat negara ini maju.
Hasan Tiro menegaskan bahwa kesalahan pemerintahan ini bukanlah terletak pada apa yang disebutkannya sebagai kesalahan satu suku yaitu suku Jawa, namun diakibatkan oleh pemaksaaan susunan negara kesatuan dengan demokrasi yang disebutnya sebagai “Demokrasi Primitif” yang telah dilakukan oleh pemerintah. Tiro mengatakan bahwa persatuan kita adalah persatuan yang berdasarkan pada kesepakatan dan bukan pada kesamaan budaya dan identitas kebudayaan yang tunggal. Namun kesepakatan itu tidak lantas berakibat lahirnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena konsepsi kerakyatan dan demokrasi kita juga tidak rasional dan terutama tidak sesuai dengan konteks kebangsaan kita yang majemuk itu. konsepsi kerakyatan dan demokrasi ala Pancasila itu menurut Tiro hanyalah membuka peluang pada ketidakadilan itu sendiri. Menapa demikian? Sebab konsepsi demokrasi kita adalah demokrasi mayoritas. Tiro pada dasarnya tidak menolak nilai suara mayoritas sebagai kriteria demokrasi, Namun Tiro melihat bahwa suara terbanyak yang tanpa mempertimbangkan keadaan demografi Indonesia akan mengancam eksistensi suku bangsa lain yang tidak punya jumlah penduduk yang besar. Tiro mengusulkan untuk sistem negara federal yang jelas punya keterwakilan di setiap suku bangsa. sebab bagi Tiro, yang nyata dan obyektif itu dan yang pantas disebut rakyat adalah rakyat lokal yang majemuk.
Bagi Tiro, berapapun sedikitnya jumlah penduduk di suatu daerah, mereka tetap harus punya wakil di parlemen, jika mereka adalah satu suku bangsa yang punya kebudayaan, karena konsep kesatuan inilah, maka yang muncul adalah ketidakadilan pembangunan untuk seluruh rakyat Indonesia. suku Jawa sudah pasti lebih punya kesempatan besar membangun masyarakatnya, sebab jumlah penduduknya begitu besar. Karena itulah, maka wakil-wakil yang berasal dari Jawa akan lebih banyak bicara tentang kepentingan sukunya, sedangkan suku bangsa lain oleh karena tidak banyak jumlah penduduknya, maka kepentingannya dengan demikian menjadi tidak terwakili, padahal mereka adalah suku bangsa yang masuk dan memperkaya Indonesia itu sendiri.
Tiro menginginkan agar konteks demografis yang tidak sama itu harus diwadahi dengan kerelaan memberi dan menerima. Orang luar Jawa punya daya tawar, yaitu sumber daya alam yang mereka miliki. Namun, mereka tidak punya sumber daya politik sebagai akibat dari tidak terwakilinya kepentingan mereka. Seharusnya kedaan ini bisa diatasi dengan kesediaan memberi dan menerima. Orang luar jawa mesti rela berbagi rezeki dengan saudaranya yang kurang punya sumber daya alam itu. dan orang jawa harus memberi jaminan atas pembangunan di daerah-daerah atau suku selain jawa. Namun, keadaan yang demikian ini sulit untuk diterapkan, sebab bagaimanapun, orang Jawa dengan kekuatan politiknya sudah barang tentu punya kelebihan untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berasal dari luar Jawa untuk kepentingan suku Jawa sendiri. akibatnya, orang luar Jawa hanya menjadi kuli dinegara yang katanya milik semua suku bangsa ini. Karenanya, Tiro mengatakan bahwa sentralisasi kekuasaan merupakan efek logis dari model negara yang berbentuk kesatuan ini. Adapaun sila terakhir yang berbunyai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu dengan sendirinya menjadi gugur, sebab dasarnya sudah tidak kokoh sedari awal. []
Penulis adalah Azhari, Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL), FISIP Unsyiah.