Auliana Rizky [AM] | DETaK
Tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke pantai ketika menginjakkan kaki di Kota Banda Aceh. Berkunjunglah ke Pantai Lampu’uk. Pantai Lampu’uk merupakan salah satu wisata paling terkenal yang terletak di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Pantai yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota ini selalu padat dikunjungi oleh pelancong lokal. Mereka berasal dari Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe dan lainnya.
Hamparan pasir putih yang bersih dan pemandangan biru air laut menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat ombak, maupun sekedar melepaskan dahaga dengan es kelapa muda di bawah pondok. Sebelum terjadi tsunami pada tahun 2004 silam, pantai Lampu’uk dianggap sebagai ‘primadona’ Aceh. Sayangnya, keindahan pantai ini hanyut bersama gulungan ombak tsunami. Penginapan maupun hotel disekitar pantai rusak dan estetika pantai lenyap seketika.
Hari ini, pantai Lampu’uk mulai menampakkan keindahannya. Butuh sekitar 15 kilometer perjalanan dari kota Banda Aceh jika ingin menikmati suasana Pantai Lampu’uk bersama tiupan angin lautnya. Pelancong datang silih berganti setiap hari, terutama pada hari minggu. Mereka butuh sebuah tempat untuk melepas penat setelah seminggu penuh melakukan beragam kegiatan.
Air laut yang berwarna biru cerah, pasirnya yang putih mengkilap, serta dikelilingi pondok-pondok di tepi pantai dan tebing yang menjulang tinggi cocok untuk menggambarkan suasana di pantai ini. Tak heran jika pelancong memilih Pantai Lampu’uk sebagai salah satu destinasi wisata. Pantulan matahari yang terik tidak menjadi penghalang bagi pelancong untuk menyalurkan hobinya di pantai ini, salah satunya adalah mengambil gambar atau berfoto.
Popularitas pantai ini juga menjadi berkah bagi masyarakat di sekitar pantai. Hobi berfoto yang banyak dilakukan oleh pelancong dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menggali pundi-pundi rupiah. Mereka membangun sebuah ‘objek foto’ berupa ayunan dan tempat duduk di tepian pantai. Pengunjung yang ingin berfoto di tempat tersebut akan dikenakan tarif perorangnya.
Sudah barang tentu ayunan-ayunan tersebut ada pemiliknya; Yuli adalah orang tersebut. Pelancong yang ingin bermain sambil mengambil gambar di ayunan Yuni akan dikenakan biaya 10 ribu rupiah per-orang. Ayunan yang dibangun dengan modal pribadi ini dapat meraup keuntungan sekitar 3 juta rupiah perbulannya.
“Ayunan yang saya bangun ini bukan menggunakan uang dari pemerintah, tetapi modal dari saya sendiri. Itulah mengapa saya tarifkan biaya 10 ribu perorangnya,” katanya.
Namun sayangnya, jarak ayunan yang Yuni bangun terlalu dekat dengan laut. Akibatnya, semprotan air laut membasahi bunga-bunga yang telah dililitkan pada ayunan tersebut. Lilitan bunga yang berada pada ayunan ternyata ampuh menarik pelancong untuk bermain disana—tentunya menghasilkan uang. Yuni harus sering merawat ayunan-ayunan nya.
“Ayunan ini juga harus dilakukan perawatan atau renovasi sekitar dua atau bahkan satu bulan sekali,” tuturnya.
Keindahan Pantai Lampu’uk, beserta tebing-tebing, pondok-pondok ikan bakar, dan ayunan-ayunan yang berdiri di tepi pantai, ternyata tidak dapat ‘terlihat’ oleh suami Yuli dan donatur yang ikut bersama suaminya. Saat itu, mereka sedang berjalan-jalan melihat dan mengecek keadaan pantai.
“Setelah berkeliling, mereka bilang ‘kenapa banyak sekali sampah di pantai ini’. Padahal, pantai ini bagus,” sambung Yuli.
Di mata suami Yuni dan donaturnya, Lampu’uk merupakan pantai eksotis sekaligus tempat sampah. Para komunitas sampah yang peduli dengan kebersihan Lampu’uk pun juga mengeluh tentang banyaknya sampah di sekitar pantai. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan, komunitas sampah berinisiatif menyumbang tempat sampah berbentuk jaring-jaring yang mereka letakkan di sekitar pantai.
“Kalau (tempat sampah) yang berbentuk plastik yang ada di tepi pantai, memang ada beberapa masyarakat yang terketuk hatinya dan sengaja membeli langsung tempat sampah. Tempat sampah yang mereka beli kemudian mereka kasih ke pengurus pantai. Pengurus pantai tinggal kelola saja (tempat sampah nya),” kata Yuli terlihat bahagia terhadap inisiatif masyarakat tersebut.
Tidak hanya komunitas sampah dan masyarakat saja yang berinisiatif untuk menjaga kebersihan pantai, para pelancong kini juga ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan. Walaupun terlihat sederhana, Yuli merasa bersyukur karena pelancong masih memiliki inisiatif untuk membuang sampah di tempat sampah, baik itu kantong plastik makanan, botol minuman, dan sampah lainnya.
“Harapan saya, semoga para pengunjung dapat menjaga kebersihan laut, apalagi laut ini bukan tempat kawasan mandi. Boleh mandi, tetapi hanya di pinggir saja. Jangan berenang ke tengah laut atau ombak-ombak yang tinggi,” lanjutnya.
Salah satu pelancong bernama Dinda juga memberikan tanggapan mengenai kebersihan di Pantai Lampu’uk. Dinda berharap, pelancong seperti Dinda harus berinisiatif sendiri untuk tidak mencemari air laut, yakni dengan membuang sampah pada tempat sampah. Selain itu, Dinda juga menginginkan syari’at Islam lebih ditegakkan di pantai yang berada di Bumi Serambi Mekkah ini.
“Semoga Pantai Lampu’uk dapat menjadi wisata favorit di Aceh, sehingga dapat menjadi titik penghasilan devisa untuk masyarakat Aceh,” tutup Dinda.[]
Editor: Mohammad Adzannie Bessania