Oleh Cut Atthahirah
Senja melambai belahan bumi, pesisir yang masih menyatu dengan tubuh Serambi Mekkah itu masih saja indah seperti pertama kali kupijak tanahnya. Arah pukul sembilan dari tempatku duduk terdapat sebuah gubuk yang terlihat lumayan seram, pandanganku dari luar. Gubuk itu. Ah, ada nyeri di ulu hati acapkali aku melihatnya. Trauma itu ternyata masih membekas di jiwaku.
Siang itu, kala mentari perlahan berpamitan. Aku yang masih kelas lima sekolah dasar belum juga pulang ke rumah. Aku sedang asyik bermain tanpa sadar hari telah uzur, azan menyadarkan aku dan teman-teman. Lantas aku panik. Orangtuaku tentu akan memarahiku, jika aku telat pulang. Apalagi setelah ayah tak berhasil menemukanku di sekitar rumah. Karena aku bermain di kampung sebelah. Hari ini, pertandingan bola antara tim terbaik kampungku dan kampung tetanggaku. Pun kegelisahanku kian bertambah tatkala petir tanpa diundang tiba-tiba saja datang. Lalu disusul air yang tumpah dari langit.
”MasyaAllah,” ringisku.
Petir pertama dan kedua kulewati. Pada petir berikutnya aku sungguh tak dapat berkutik. kondisi hujan dan petir membuat suasana langit menjadi gelap. Hanya petir yang sesekali memberi penerangan jalan.
”Oh, bagaimana ini?”.
Tanpa pikir panjang, aku berhenti dan berteduh di sebuah gubuk reot yang dihuni oleh seorang nenek tua.
”Mari, cu, berteduhlah di dalam?,” sahutnya dengan logat daerah yang masih kental.
”Oh, tak usah nek. Aku di sini saja,” tanganku mendekap tubuh kuyup, tak berhasil menutupi getaran tubuh yang menggigir dipagut dingin.
”Tuh, kau bisa-bisa masuk angin dan sakit. Ayo masuk. Jangan takut,”
Kakiku melangkah masuk dan cahaya dari dalam perlahan menerangi pandanganku. Cahaya teplok dari arah kamar nenek tua itu. Tanpa dipersilahkan, aku segera duduk di lantai tanah beralaskan tikar lusuh di ruang sempit itu. Tak lama ia pun kembali sembari membawa segelas teh hangat serta teplok yang seperti hanya itu miliknya. Meski merasa canggung, teh hangat itu perlahan habis aku seruput. Lantas hujan kian deras terdengar dari luar. Aku dan nenek tua ramah itu berbincang ringan.
Sekitar satu jam lebih aku bernaung di gubuk itu. Namun, hujan tak kunjung reda. Pun kesunyian kian meraja. Keresahan yang sempat tertunda karena perbincangan hangat antara aku dan nenek tua kembali melanda.
”Kau pulang setelah hujan reda saja”
”Tapi, sepertinya hujannya masih sangat lama reda, nek”
”Yasudah, kau pulang besok saja”
”Oh, tak mungkin nek. Aku takut orang tuaku marah.”
”Tak mengapa”
“Nanti biar nenek yang menjelaskan pada mereka.”
Setelah itu aku tak berkata-kata lagi. Diam. Pasrah. Sembari dalam hati berdoa agar langit berbaik hati padaku agar hujan segera berlalu. Dan petir pun lenyap, kendati sebentar saja.
Ternyata doaku belum terkabulkan. Atau memang ada hal lain di balik semua itu. Hujan masih saja turun dengan gairahnya. Hanya petir sesekali baru menyala. Namun begitu pepohonan masih meliuk, membungkuk, nyaris mencium tanah tertiup angin yang kencang.
Nenek tua kembali dari kamar lalu memegang tanganku tanpa suara. Kupikir itu merupakan isyarat untukku supaya segera tidur. Anehnya, aku seperti tengah bersama nenekku sendiri. Jadilah aku tidur bersamanya di kamar yang begitu sempit. Di atas kasur usang yang terhampar di tanah.
Mataku perlahan terbuka, kurasakan jantungku berdegub kencang tak karuan. Ada yang aneh. Tubuhku seperti dikerubungi laba-laba. Serasa geli, kubuka perlahan mataku. Dan, sial!.
Menyadari hal yang tak wajar hendak terjadi. Aku segera berlari menerobos kegelapan. Kudobrak pintu berbahan nipah hingga rusak sebagian sisinya. Tak perduli, berlari menembus rinai hujan yang kian menipis. Antara petir yang masih menyisakan suara-suara menggelegar. Aku berlari sekuat tenaga. Setengah sadar, setiba di rumah tubuhku ambruk, Lalu gelap.
Esoknya, gubuk nenek tua itu ramai dikunjungi pelayat. Kabarnya ia mati tersambar petir. Hingga kini gubuk itu dibiarkan begitu saja. Sesekali bila malam minggu tiba anak muda berkumpul dan menghabiskan malam di sana.
”Gluduk”
”Astaghfirullah”
Kutatap langit, bagai suatu jaringan yang di dalamnya terdapat urat-urat yang terungkap secara tak teratur. Dan urat-urat itu memancarkan kilatan cahaya yang sampai ke bumi. Tak lama berselang.
”Byuurr,” aku beranjak dari ambal pasir putih lalu berlari pulang. Tepat, kala tubuhku bersisian dengan gubuk tua itu, kilatan cahaya menyorot ke bumi. Sedetik, sosok nenek tua tersenyum di pintu rumahnya dan hilang bersama gelap yang kembali. Kupercepat langkah, entah seberapa cepat.[]
Cut Atthahirah, mahasiwa Gemasatrin dan pegiat di Komunitas Menulis Jeuneurob
Comments
comments