Akhir Sebuah Penantian
Oleh Cut Atthahirah
Lorong-lorong berbunga. Dihiasi sorotan lampu warna-warni. Berkilauan bak mutiara yang begitu indah. Apalagi jika dinikmati pada malam hari. Sessy berjalan menelusuri lorong itu dengan langkah yang teramat pelan. Menikmati dalam-dalam suasana sentimentil yang jarang ditemui itu. Esok sahabatnya akan melaksanakan hari bahagia.
Hari yang selalu diimpi-impikan Sessy terjadi padanya. Namun, hingga usianya menginjak dua puluh sembilan tahun, belum pernah satupun lamaran yang ia terima. Entah apa yang difikirkan Sessy. Tiba-tiba langkahnya terhenti di penghujung lorong. Didapatinya foto sahabatnya begitu apik mengenakan gaun kebaya putih dipadukan dengan jilbab berwarna serupa dan sederhana.
Matanya seketika terbelalak tatkala mendapati foto yang satunya lagi, foto sang mempelai pria dengan jas hitam dan dasi merah menambah keelokannya. Dia!, tenggorokan Sessy seakan tercekik. Matanya berangsur-angsur basah. Tak kuasa membendung buliran bening yang keluar dari matanya. Lantas ia berlari pulang tanpa izin terlebih dahulu pada sahabatnya.
Malam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh. Sia-sia penantianku!, rutuknya dalam hati. Dipeluknya bantal erat-erat.
Tok tok tok..!
“Sessy sayang, makan yuk, Mama dah siapin nih.”
Sessy terkesiap.
”Bentar lagi ma, Sessy masih kenyang, mama dan yang lain makan duluan aja, gak usah tunggu Sessy,” jawab Sessy dengan isak ditahan.
Lantas suara mama menghilang.
Tak pernah ia duga, bahwa pria yang selama ini ia dambakan serta ia nanti-nanti, ternyata adalah jodoh sahabatnya sendiri. Ia lebih shock jika mengingat pada saat taaruf ia tidak bisa ikut menemani karena pekerjaan menumpuk. Tidak heran jika malam itu ia terkejut setengah mati. Malam pun kian larut dalam dingin dan sunyi. Semakin sunyi dengan terlelapnya Sessy.
Siang menjelang. Suasana gedung pesta nan apik begitu memikat hati setiap pengunjung. Akad nikah usai. Dan berlanjut dengan resepsi nan indah. Namun, tak terlihat sama sekali tanda-tanda kedatangan Sessy. Yuli, sahabat Sessy yang hari itu menjadi putri sehari pun tentu merasakan kekurangannya.
Ia memaksakan diri untuk ke toilet untuk menghubungi Sessy. Hingga beberapa panggilan, namun tidak ada jawaban.
Sessy, dimana kamu. Matanya berkaca-kaca. Tampak begitu sedih dan kecewa.
***
Setahun telah terlewati. Sessy betul-betul menghilang dari hadapan Yuli. Tepat di hari akad Yuli, Sessy berangkat ke Australia. Ia menerima pekerjaan yang sempat ia tolak sebelumnya. Ia patut beryukur karena perusahaan masih mau menerimanya.
Shalat zuhur usai. Ia lantas meninggalkan musala, hendak ke kantin mengisi perut. Tatkala sebelah kakinya mengenakan sandal, tiba-tiba terdengar salam menyapa dari belakang.
“Assalamu’alaikum, ukhti.”
“Wa’alaikumsalam,” mata Sessy seketika melotot,
Darahnya seakan berhenti mengalir setelah mengetahui siapa pemilik suara tersebut.
”Khaifa halukh ya ukhti? Sudah lama tidak berjumpa.”
”Senyumnya masih sama seperti beberapa tahun lalu di mahad.
Hmm…,Astaghfirullah!” mulut Sessy terkunci.
Hatinya justru yang berteriak tidak karuan, antara senang, sedih, terkejut, dan pelbagai perasaan.
“Ini benar Sessy kan? Apa saya salah orang?” tanya lelaki itu masih bingung.
“Hmm. Iya, benar, benar sekali!”
“Ana Sessy, Sessy Ramadhani. Kamu kok di sini? Bareng Yuli?”
“Yuli? Yuli siapa?” tanyanya balik, semakin bingung.
Lantas saja Sessy ikut-ikutan heran. “Yuli? Yuli istri kamu dong! Kamu Ridwan kan? Ridwan Muhammada Nur, kan?”
“Iya benar, aku Ridwan sahabat kamu dulu ketika di Mahad Darussalam semasa SMA, tapi saya tidak punya istri bernama Yuli. Boro-boro istri. Menikah saja belum,” ujar Ridwan seraya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Hmm begini saja, tunggu sebentar disini.” Sessy bingung, usai mengenakan sepasang sandalnya ia lantas duduk di bawah pohon di halaman musala sambil menunggu Ridwan yang masih di pelataran musala yang sedang menelepon seseorang.
Tak berapa lama Ridwan kembali.
“Assalamu’alaikum Sessy.”
“Ya, wa’alaikumsalam, bagaimana?”
“Hahaha, ternyata kamu salah paham. Baru saja aku menelepon saudara kembarku Yusuf, ternyata memang benar dugaanku. Yuli yang kamu maksud adalah istri Yusuf.”
“Apaaa?”Sessy kali ini benar-benar memasang wajah cukup aneh. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri. Sembari beristighfar dalam hati ia berusaha menetralkan emosi.
“Hmm. Jadi, Sejak kapan kamu punya kembaran?”
“Sejak lahir dong. Haha. Kenapa? Afwan jiddan ya tidak pernah memberitahumu. Toh, kita dulu memang menjaga hijab. Sedekat-dekatnya kita, kita selalu membahas hal-hal yang penting saja. Hanya teman-teman ikhwan yang tahu perihal ini.”
Sessy masih terpaku di tempatnya.
“Sessy, kamu kok bisa mengenal Yuli?”
“Hmm. Yuli adalah sahabatku. Ya Allah, Yuli!”
“Ada apa?”
“Hmm. Gak apa-apa. Ngomong-ngomong, kapan menyusul saudaramu?”
“Maksudmu?”
“Hmm”
“Oh! Menikah? Belum.”
“Mengapa?”
“Menunggumu.”
“Apa?”
“Hehe. Bercanda.” Seketika wajah Sessy memerah.
“Kau sendiri sudah punya anak berapa?”
“Apa, Anak? Hmm. Aku belum menikah,” jawab Sessy penuh malu.
“Kenapa?”
“Menunggumu.”
“Apa?” giliran wajah Ridwan memerah delima.
“Hahaha. Kenak kan? Gantian!” coloteh Sessy
”Ahaha. Kamu ini dari dulu gak berubah ya? Gak kreatif!”
“Yee!” cibir Sessy.
Begitulah di siang yang romantis. Ternyata perasaan Sessy sebelumnya tak beralasan. Penantiannya tidak sia-sia. Rasa lapar sirna dengan kehadiran sang idaman hati, namun sebaliknya bagi Ridwan.
“Duh, laper nih. Udah makan?”
“Belum”
“Makan di kantin favoritku yuk!” suasana hening sejenak.
“Hmm”
“Udahh. Gak usah sok jual mahal deh! aku yang traktir kok, InsyaAllah, Yuk!”
“Haha. Kalau dipaksa, oke aja deh!”
“Hahaha. Alasan!”
Siang yang terik pun perlahan luluh. Dari balik awan, mentari seakan malu-malu mengintip sepasang insan yang telah lama saling memendam rasa satu sama lain. Akhirnya, sebuah keajaiban yang mempertemukan mereka kembali.
Sementara dalam hati Sessy berbisik, “Nanti malam, aku akan meneleponmu Yuli.
“Maafkan akuu” Sessy lirih.
“Tapi, seandainya jodoh, kita bakal punya suami kembar identik” Sessy tersenyum berbatin.
“Mengapa senyam senyum sendiri ukhti?” tanya Ridwan kegeeran.
“Hmm. Gak apa-apa,” jawab Sessy menahan senyum.
Lalu senyum Ridwan semakin mekar mengiringi keyakinannya untuk melaksanakan suatu rencana indah.
“Ya, InsyaAllah”. bisiknya dalam hati.[]
Cut Atthahirah, adalah pegiat di Komunitas Menulis Jeuneurob, mahasiswa FKIP Gemasastrin Unsyiah, dan alumni SMAN 1 Langsa.
Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=4635