Redaksi detak-unsyiah.com menerima sumbangan tulisan dari mahasiswa atau kalangan umum. Setiap tulisan dapat dikirim ke email [email protected] dengan disertai identitas penulis. Terima Kasih
Aku mengakui bahwa aku memang seorang junkies! Mungkin akan banyak yang terkejut sekaligus heran dengan pengakuanku itu. Tapi bagiku tak ada yang bisa dilakukan seorang pemakai sepertiku selain mengakuinya. Karena dengan menutupinya dan berlagak sok alim bagai manusia tanpa cela sama sekali tak mengurangi dosaku di hadapan Tuhan. Ya, disamping karena hingga kini aku masih menganggap bahwa seorang pemakai sepertiku tetap dalam posisi korban. Korban dari obat-obatan itu dan korban dari kebodohanku sendiri. Ironis memang!
Sudah dua tahun belakangan ini aku menjadi seorang junkies. Tak munafik, awalnya aku memang sekedar coba-coba. Tapi perlu kutekankan bahwa aku mengkonsumsi obat-obatan bukan sebagai pelarian dari masalah. Ini karena aku tak mau semua junkies dianggap sebagai orang-orang yang kalap ketika berhadapan dengan masalah.
Aku juga tak menarik diri dari lingkungan pergaulan, meski banyak sekali yang menjauhi aku seolah-olah aku ini orang yang tubuhnya penuh borok dan bisa menulari siapa saja. Kurasa ini juga yang menjadi penyebab kenapa banyak sekali junkies yang sulit untuk bisa normal kembali. Karena orang-orang di sekitarnya bukan mensupport malah menjauhinya.
Aku sendiri memiliki sebuah band yang diberi nama Strata, beranggotakan lima orang. Awalnya mereka memang menganggapku benar-benar seperti seorang pesakitan. Meskipun sebenarnya harus kuakui mereka tak lebih baik dariku. Davi si vokalis, terkenal sebagai playboy kelas kakap. Beberapa teman wanitanya malah sudah pernah diajak check-in. Sedangkan Tyo si gitaris, baru-baru ini berurusan dengan pihak berwajib karena terlibat tawuran antar fakultas. Lantas, mengapa seorang junkies sepertiku selalu menjadi yang paling hina? Toh, aku tak pernah merugikan orang lain. aku bukan koruptor. Aku juga tidak meracuni mereka-mereka untuk menjadi junkies sepertiku. So what??
****
28 Februari 2008…
Aku berjalan memasuki sebuah kafe tempatku biasa nongkrong dan langsung memilih meja yang letaknya agak disudut. Tak lama seorang pelayan berseragam coklat menghampiri dan mengangsurkan daftar menu.
“Jus alpukat dengan susu coklat dan sedikit es.” Aku mengorder pesanan.
Pelayan itu mencatat pesananku. “Terima kasih, sebentar lagi pesanan anda diantarkan.” Ujarnya sebelum berlalu.
Aku mengecek arloji, pukul 11.15. Hari ini aku memiliki janji dengan Bang Farid. Dia seniorku dikampus sekaligus teman berdiskusiku tentang banyak hal, dari isu-isu sosial sampai spiritual. Dia memang bukan ustad, tapi banyak sekali masukan-masukan positif darinya.
Kutengadahkan kepala kalau-kalau Bang Farid tak melihatku duduk di meja ini. Namun tiba-tiba pandanganku menangkap sosok Davi, vokalis bandku tengah duduk berdampingan mesra di salah satu meja dengan seorang gadis. Ada yang berbeda dengan teman wanitanya yang kali ini. Gadis itu berkerudung. Meskipun kaos hitam gantung dan celana jins super ketatnya agak kontras dengan kerudung yang dipakainya. Tapi aku tak ambil pusing apalagi untuk menyapanya. Bukan waktu yang tepat kurasa.
****
5 Maret 2008…
Studio berukuran lima kali enam yang kedap suara ini sama sekali tak bergairah. Padahal di dalamnya ada empat orang anak manusia yang seharusnya sedang latihan dan berdiskusi. Ya, aku dan teman-teman bandku minus Davi sedang membicarakan bagaimana kami akan tampil pada acara pensi di salah satu SMA swasta. Tapi tak satupun dari kami menaruh minat untuk berdiskusi dengan personil yang tidak lengkap.
Aku sedang memainkan stik drum tepat ketika ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Kulihat layar ponselku dan tertera sebuah nama inisial, KOY! KOY adalah pengedar tempatku bisa memesan barang. Memang beberapa hari yang lalu aku memesan beberapa item dalam jumlah kecil padanya. Untuk sekedar berjaga-jaga kalau-kalau tubuhku minta di saat-saat yang tidak tepat.
Aku menghapus pesan dari KOY setelah membacanya. Tepat ketika Tyo meluapkan kekecewaannya dengan menendang kursi.
“Sialan si Davi! Kalau dia mangkir latihan terus, gimana nasib kita!”
Aku kaget dan menghindar dari kursi yang jatuh disampingku karena ditendang Tyo.
****
10 Maret 2008…
Ini benar-benar keterlaluan. Davi sudah mangkir latihan empat kali dan yang kelima kalinya kalau hari ini dia tidak muncul juga. Sudah lewat dua jam dari waktu latihan yang dijanjikan. Aku dan anak-anak mulai kesal. Ditambah lagi mendadak tubuhku terserang panas dingin.
‘Gelagat sakaw,’ batinku. Tapi parahnya barang-barang itu justru kutinggalkan di saat-saat seperti ini. ‘Sialan!’ Aku mengutuk dalam hati.
Tiba-tiba saja pintu studio terbuka dan Davi masuk sambil menggandeng gadis berkerudungnya itu tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Sorry bro, aku sedikit terlambat. Ada urusan yang lebih penting tadi!” Ujarnya begitu santai.
Tyo tampak sangat kesal. Namun belum sempat dia bersuara, Davi sudah lebih dulu memotong. “Oya, aku Cuma bisa latihan sebentar hari ini. Yaa…sekitar sejaman lah!”
Entah mengapa kalimat terakhirnya itu sangat menyulut emosiku. Dengan pikiran yang tidak begitu jernih akibat gelagat sakaw ini, aku maju ke hadapannya.
“Kau sudah mangkir latihanempat kali dan sekarang kau mau pergi seenaknya!” Ujarku dengan nada tinggi. Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi yang pasti aku sangat kesal dengan sikap semena-menanya terhadap tanggung jawab latihannya itu. Wajah Davi mendadak mengeras. Jelas sekali ia tak suka dengan ucapanku barusan.
“Apa yang kau maksud Ryan?” Tanyanya dengan suara kaku.
“Kau tau arti sebuah prioritas, Bung!” Balasku lagi sambil mengacungkan stik drum ke depan wajahnya. Seketika dia menagkis tanganku. Stik drum yang kupegang terpental ke lantai. Aku sudah siap mengeluarkan kata-kata lagi ketika kemudian sebuah bogen mentah melayang keras ke wajahku. Ketiga temanku tersentak melihat apa yang terjadi. Tak tau apa yang ada dalam kepalaku saat itu.
Karena terhuyung aku jatuh menubruk drum set. Pukulan bertubi-tubi pun dihujani padaku. Kondisi setengah sakaw membuatku tak bisa berbuat banyak. Davi tampak kalap sekali sedangkan ketiga temanku berusaha menahannya untuk tidak menghadiahiku sebuah pukulan lagi.
“Itu pelajaran agar kau bisa lebih menjaga omonganmu!” suara Davi yang emosi berdengung di telingaku.
Aku benar-benar limbung sekarang. Pandanganku kabur seketika. Yang kudengar hanya bentakan dan teriakan seiring dengan suara benda ditendang.
****
Mataku berat sekali untuk dibuka. Hanya samar dan sedikit aku bisa menangkap kondisi di sekelilingku. Lampu yang menyala, dinding putih, bau tajam obat-obatan yang menusuk hidung dan selang infus yang terhubung ke nadiku, menyadarkan aku sedang berada dimana.
Aku melirik sekilas, tampak ayahku yang sedang berbicara serius dengan seorang dokter dan ibuku yang tampak sangat pucat dan lesu. Aku merasa sangat bersalah padanya atas apa yang terjadi padaku. Kakak perempuanku berdiri disamping ibu dan berusaha menenangkannya.
Di sisi lain aku melihat tiga orang teman bandku dan Bang Farid, yang aku sendiri kurang tahu darimana dia tahu insiden yang menimpaku ini. Perlahan aku menutup mata kembali sambil merasai sakit disekujur tubuhku. Aku tak punya daya untuk berbuat apapun. Aku pernah berkali-kali sakaw dan nyaris tewas karena OD (over dosis), tapi tidak seperti apa yang kurasakan saat ini. Dengan mata tertutup, telingaku sempat menangkap suara samar-samar, junkies…gegar otak ringan…rahang patah…operasi…dan tangis histeris ibu… Lalu semuanya hilang begitu saja.
****
Oleh: Putri Arimbi.
(Mahasiswi Ilmu Komunikasi-FISIP)
Redaksi detak-unsyiah.com menerima sumbangan tulisan dari mahasiswa atau kalangan umum. Setiap tulisan dapat dikirim ke email [email protected] dengan disertai identitas penulis. Terima Kasih
CATATAN HARIAN SEORANG JUNKIES
22 Februari 2008…
Aku mengakui bahwa aku memang seorang junkies! Mungkin akan banyak yang terkejut sekaligus heran dengan pengakuanku itu. Tapi bagiku tak ada yang bisa dilakukan seorang pemakai sepertiku selain mengakuinya. Karena dengan menutupinya dan berlagak sok alim bagai manusia tanpa cela sama sekali tak mengurangi dosaku di hadapan Tuhan. Ya, disamping karena hingga kini aku masih menganggap bahwa seorang pemakai sepertiku tetap dalam posisi korban. Korban dari obat-obatan itu dan korban dari kebodohanku sendiri. Ironis memang!
Sudah dua tahun belakangan ini aku menjadi seorang junkies. Tak munafik, awalnya aku memang sekedar coba-coba. Tapi perlu kutekankan bahwa aku mengkonsumsi obat-obatan bukan sebagai pelarian dari masalah. Ini karena aku tak mau semua junkies dianggap sebagai orang-orang yang kalap ketika berhadapan dengan masalah.
Aku juga tak menarik diri dari lingkungan pergaulan, meski banyak sekali yang menjauhi aku seolah-olah aku ini orang yang tubuhnya penuh borok dan bisa menulari siapa saja. Kurasa ini juga yang menjadi penyebab kenapa banyak sekali junkies yang sulit untuk bisa normal kembali. Karena orang-orang di sekitarnya bukan mensupport malah menjauhinya.
Aku sendiri memiliki sebuah band yang diberi nama Strata, beranggotakan lima orang. Awalnya mereka memang menganggapku benar-benar seperti seorang pesakitan. Meskipun sebenarnya harus kuakui mereka tak lebih baik dariku. Davi si vokalis, terkenal sebagai playboy kelas kakap. Beberapa teman wanitanya malah sudah pernah diajak check-in. Sedangkan Tyo si gitaris, baru-baru ini berurusan dengan pihak berwajib karena terlibat tawuran antar fakultas. Lantas, mengapa seorang junkies sepertiku selalu menjadi yang paling hina? Toh, aku tak pernah merugikan orang lain. aku bukan koruptor. Aku juga tidak meracuni mereka-mereka untuk menjadi junkies sepertiku. So what??
****
28 Februari 2008…
Aku berjalan memasuki sebuah kafe tempatku biasa nongkrong dan langsung memilih meja yang letaknya agak disudut. Tak lama seorang pelayan berseragam coklat menghampiri dan mengangsurkan daftar menu.
“Jus alpukat dengan susu coklat dan sedikit es.” Aku mengorder pesanan.
Pelayan itu mencatat pesananku. “Terima kasih, sebentar lagi pesanan anda diantarkan.” Ujarnya sebelum berlalu.
Aku mengecek arloji, pukul 11.15. Hari ini aku memiliki janji dengan Bang Farid. Dia seniorku dikampus sekaligus teman berdiskusiku tentang banyak hal, dari isu-isu sosial sampai spiritual. Dia memang bukan ustad, tapi banyak sekali masukan-masukan positif darinya.
Kutengadahkan kepala kalau-kalau Bang Farid tak melihatku duduk di meja ini. Namun tiba-tiba pandanganku menangkap sosok Davi, vokalis bandku tengah duduk berdampingan mesra di salah satu meja dengan seorang gadis. Ada yang berbeda dengan teman wanitanya yang kali ini. Gadis itu berkerudung. Meskipun kaos hitam gantung dan celana jins super ketatnya agak kontras dengan kerudung yang dipakainya. Tapi aku tak ambil pusing apalagi untuk menyapanya. Bukan waktu yang tepat kurasa.
****
5 Maret 2008…
Studio berukuran lima kali enam yang kedap suara ini sama sekali tak bergairah. Padahal di dalamnya ada empat orang anak manusia yang seharusnya sedang latihan dan berdiskusi. Ya, aku dan teman-teman bandku minus Davi sedang membicarakan bagaimana kami akan tampil pada acara pensi di salah satu SMA swasta. Tapi tak satupun dari kami menaruh minat untuk berdiskusi dengan personil yang tidak lengkap.
Aku sedang memainkan stik drum tepat ketika ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Kulihat layar ponselku dan tertera sebuah nama inisial, KOY! KOY adalah pengedar tempatku bisa memesan barang. Memang beberapa hari yang lalu aku memesan beberapa item dalam jumlah kecil padanya. Untuk sekedar berjaga-jaga kalau-kalau tubuhku minta di saat-saat yang tidak tepat.
Aku menghapus pesan dari KOY setelah membacanya. Tepat ketika Tyo meluapkan kekecewaannya dengan menendang kursi.
“Sialan si Davi! Kalau dia mangkir latihan terus, gimana nasib kita!”
Aku kaget dan menghindar dari kursi yang jatuh disampingku karena ditendang Tyo.
****
10 Maret 2008…
Ini benar-benar keterlaluan. Davi sudah mangkir latihan empat kali dan yang kelima kalinya kalau hari ini dia tidak muncul juga. Sudah lewat dua jam dari waktu latihan yang dijanjikan. Aku dan anak-anak mulai kesal. Ditambah lagi mendadak tubuhku terserang panas dingin.
‘Gelagat sakaw,’ batinku. Tapi parahnya barang-barang itu justru kutinggalkan di saat-saat seperti ini. ‘Sialan!’ Aku mengutuk dalam hati.
Tiba-tiba saja pintu studio terbuka dan Davi masuk sambil menggandeng gadis berkerudungnya itu tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Sorry bro, aku sedikit terlambat. Ada urusan yang lebih penting tadi!” Ujarnya begitu santai.
Tyo tampak sangat kesal. Namun belum sempat dia bersuara, Davi sudah lebih dulu memotong. “Oya, aku Cuma bisa latihan sebentar hari ini. Yaa…sekitar sejaman lah!”
Entah mengapa kalimat terakhirnya itu sangat menyulut emosiku. Dengan pikiran yang tidak begitu jernih akibat gelagat sakaw ini, aku maju ke hadapannya.
“Kau sudah mangkir latihanempat kali dan sekarang kau mau pergi seenaknya!” Ujarku dengan nada tinggi. Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi yang pasti aku sangat kesal dengan sikap semena-menanya terhadap tanggung jawab latihannya itu. Wajah Davi mendadak mengeras. Jelas sekali ia tak suka dengan ucapanku barusan.
“Apa yang kau maksud Ryan?” Tanyanya dengan suara kaku.
“Kau tau arti sebuah prioritas, Bung!” Balasku lagi sambil mengacungkan stik drum ke depan wajahnya. Seketika dia menagkis tanganku. Stik drum yang kupegang terpental ke lantai. Aku sudah siap mengeluarkan kata-kata lagi ketika kemudian sebuah bogen mentah melayang keras ke wajahku. Ketiga temanku tersentak melihat apa yang terjadi. Tak tau apa yang ada dalam kepalaku saat itu.
Karena terhuyung aku jatuh menubruk drum set. Pukulan bertubi-tubi pun dihujani padaku. Kondisi setengah sakaw membuatku tak bisa berbuat banyak. Davi tampak kalap sekali sedangkan ketiga temanku berusaha menahannya untuk tidak menghadiahiku sebuah pukulan lagi.
“Itu pelajaran agar kau bisa lebih menjaga omonganmu!” suara Davi yang emosi berdengung di telingaku.
Aku benar-benar limbung sekarang. Pandanganku kabur seketika. Yang kudengar hanya bentakan dan teriakan seiring dengan suara benda ditendang.
****
Mataku berat sekali untuk dibuka. Hanya samar dan sedikit aku bisa menangkap kondisi di sekelilingku. Lampu yang menyala, dinding putih, bau tajam obat-obatan yang menusuk hidung dan selang infus yang terhubung ke nadiku, menyadarkan aku sedang berada dimana.
Aku melirik sekilas, tampak ayahku yang sedang berbicara serius dengan seorang dokter dan ibuku yang tampak sangat pucat dan lesu. Aku merasa sangat bersalah padanya atas apa yang terjadi padaku. Kakak perempuanku berdiri disamping ibu dan berusaha menenangkannya.
Di sisi lain aku melihat tiga orang teman bandku dan Bang Farid, yang aku sendiri kurang tahu darimana dia tahu insiden yang menimpaku ini. Perlahan aku menutup mata kembali sambil merasai sakit disekujur tubuhku. Aku tak punya daya untuk berbuat apapun. Aku pernah berkali-kali sakaw dan nyaris tewas karena OD (over dosis), tapi tidak seperti apa yang kurasakan saat ini. Dengan mata tertutup, telingaku sempat menangkap suara samar-samar, junkies…gegar otak ringan…rahang patah…operasi…dan tangis histeris ibu… Lalu semuanya hilang begitu saja.
****
Oleh: Putri Arimbi.
(Mahasiswi Ilmu Komunikasi-FISIP)
Related posts
» Cita-cita mulia
» Menanti Sunset
» Pramuka Unsyiah Gelar Perkemahan se-Aceh
» Emak Menatap Lautan
» Tips Menulis Novel ala Tere Liye
» Sungai Berdarah