Tjoet Nja’ Dhien, Kisah Epik Pahlawan Wanita Indonesia

(Ilustrasi)

(Ilustrasi)

Judul : Tjoet Nja’ Dhien

Sutradara : Eros Djarot

Produser : Alwin Abdulah, Alwin Arifin, Sugeng Djarot

Distributor : Kanta Indah Film

Durasi : 150 Menit

“Hentikan Gambang, Allah Maha Besar. Gambang, sudahlah, ayahmu (Teuku Umar) telah syahid. Gambang, sebagai perempuan Aceh, pantang meneteskan air mata untuk orang yang telah syahid di medan perang. Bangkitlah! Agar arwah ayahmu tenang. Perjuangan kita masih panjang Gambang…”

 

Begitulah ucapan Cut Nyak Dhien dengan terbata-bata meneteskan air mata yang diperankan oleh Christine Hakim kepada putrinya Cut Gambang diperankan oleh Hendra Yuarti ketika Teuku Umar diperankan oleh Slamet Rahardjo wafat saat merebut Meulaboh.

Perjuangan keras wanita Aceh Cut Nyak Dhien untuk merdeka dari penjajah Belanda telah mendorong Eros Djarot mengkisahkan kembali dalam bentuk film. Film ini memiliki nilai religius dan nasionalisme yang tinggi. Film Tjoet Nja’ Dhien yang merupakan film drama biografi sejarah Indonesia pada tahun 1988 mengkisahkan perjuangan Cut Nyak Dhien.

Film Tjoet Nja’ Dhien sukses memenangkan piala citra sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988, film terlaris V di Jakarata (1988) dengan 214.458 jumlah penonton menurut data perfin. Selain itu, pemeran Cut Nyak Dhien (Christine Hakim) dianugerahi dan mendapat piala citra sebagai pemeran wanita terbaik.

Film Tjoet Nja’ Dhien menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh dan rekan seperjuangannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh dikala masa penjajahan Belanda di zaman Hindia Belanda. Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.

Film ini tidak hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja’ Dhien sebagai seorang pemimpin, namun juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan Belanda kala itu, dan bagaimana Tjoet Nja’ Dhien yang selalu bersikeras pada pendiriannya dan teman setianya. (wikipedia)

Film ini diawali dengan terdengarnya suara Tjoet Nja’ Dhien dan kemunculan Teuku Umar sebagai pemimpin. Berbagai perlawanan terhadap pemerintah Belanda dilakukan oleh Teuku Umar, pemerintah Belanda “pening” karena beberapa markas kekuatan Belanda sering diserang oleh Teuku Umar beserta pasukannnya, namun Belanda juga melakukan perlawanan sengit terhadap Teuku Umar. Beberapa kali Teuku Umar harus hijrah karena mendapat perlawanan keras dari pihak Kolonial Belanda.

Tokoh Teuku Umar selalu memberi semangat kepada seluruh rakyatnya untuk selalu jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah SWT), Teuku Umar menekankan agar sering membaca hikayat perang sabil, namun tokoh Teuku Umar wafat ketika merebut kembali Meulaboh. Pemerintah kolonial Belanda berjuang “licik” dengan hanya mengarahkan sasaran peluru kepada Teuku Umar saja tanpa saling berhadapan untuk berperang. Kematian Teuku Umar juga karena adanya campur tangan perngkhianat, salah satunya Teuku Leubeh yang diperankan oleh Muhamad Amin. Akhirnya, tokoh Teuku Umar wafat. Wafatnya Teuku Umar membuat Tjoet Nja’ Dhien dan putrinya Tjoet Gambang sangat bersedih hati.

Meninggalnya Teuku Umar, maka posisi kepemimpinan jatuh ke tangan Tjoet Nja’ Dhien (istri Teuku Umar) bersama dengan Pang Laot yang diperankan oleh Piet Burnama. Beberapa kali Tjoet Nja’ Dhien menyerang markas Belanda. Pemerintah kolonial Belanda seakan tidak percaya, mereka pikir dengan wafatnya Teuku Umar perang Aceh akan selesai, tapi perlawanan Tjoet Nja’ Dhien terhadap pemerintah kolonial Belanda semakin membara.

Teuku Leubeh ketika menuju Kuta Raja (Banda Aceh sekarang) bersama pengikut dan orang-orangnya langsung dihadang oleh Tjoet Nja’ Dhien bersama pasukannya saat dalam perjalanan. Teuku Leubeh meninggal ditangan Tjoet Nja’ Dhien sendiri.

Berbagai kekalahan dialami oleh Tjoet Nja’ Dhien karena pengkhianatan pengikutnya sendiri. Tjoet Nja’ Dhien semakin hari semakin tua, dan para pengikutnya semakin sedikit karena mengalami kematian dalam jumlah yang besar. Film ini semakin mengundang haru, saat Tjoet Nja’ Dhien tidak dapat melihat. Nya’ Bantu yang diperankan oleh Rita Zaharah sahabat dekat Tjoet Nja’ Dhien berusaha untuk menjaga keselamatan Tjoet Nja’ Dhien, maka Nya’ Bantu memimpin perang tanpa sepengetahuan Tjoet Nja’ Dhien, agar pemerintah kolonial Belanda mengira Nya’ Bantu adalah Tjoet Nja’ Dhien. Nya’ bantu gugur atas genjatan senjata Kolonial Belanda.

***

Pemerintah Kolonial Belanda mengepung tempat persembunyian Tjoet Nja’ Dhien. Maka timbul rasa iba di hati Pang Laot. Pang Laot menyerah dan meminta pihak kolonial Belanda agar merawat baik dan jangan pernah memisahkan Tjoet Nja’ Dhien dengan rakyat Aceh.

Akting Christine Hakim tidak diragukan lagi dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Seperti adegan Cut Nyak Dhien tidak hentinya membaca dan mengagungkan ayat-ayat Alquran dalam kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, dalam adegan kondisi buta serta derasnya hujan di tengah hutan lebat, Tjoet Nja’ Dhien tetap pada posisi pendiriannya tidak ingin menyerah pada pemerintah Kolonial Belanda.

Maka Pang Laot menghampiri tubuh Tjoet Nja’ Dhien untuk meminta maaf sepenuh hati karena rasa iba yang sangat besar terhadapnya sehingga melakukan penyerahan kepada pihak Kolonial Belanda, kondisi kesehatan Tjoet Nja’ Dhien yang memburuk dan tidak mungkin memenangkan bila berperang dengan Kolonial Belanda membuat Pang Laot menyerah. Tiba-tiba saja Tjoet Nja’ Dhien mencoba melawan dengan berteriak; pengkhianat sembari melukai tubuh Pang Laot dengan rencong.

Pemerintah Kolonial Belanda merawat Tjoet Nja’ Dhien dengan baik, namun pemerintah Kolonial Belanda tidak menepati salah satu janjinya, Belanda menjauhkan Tjoet Nja’ Dhien dari rakyat Aceh. Tjoet Nja’ Dhien diasingkan ke Jawa hingga wafat di sana.

Secara garis besar seluruh perjuangan Tjoet Nja’ Dhien belum terekam dalam film ini. Masih banyak hal perjuangan dan kegigihan Tjot Nja’ Dhien yang belum terdapat dalam film ini. Film Tjoet Nja’ Dhien memperlihatkan perang iman yang dilakukan oleh Tjoet Nja’ Dhien beserta pengikutnya.

***

Hari Jumat, tanggal 30 Maret 2012 lalu, Indonesia memperingati hari film Indonesia. Saat ini Indonesia perlu diakui masih kurang akan film sejarah (histori) atau film yang mengangkat kisah-kisah sejarah di Indonesia. Indonesia masih terlalu rentan menghasilkan film yang “berbau” percintaan dan  horor bercampur pornografi. Film-film tersebutlah yang langsung dinikmati oleh kalangan remaja dan penerus bangsa ini. Sangat disayangkan, betapa Indonesia kaya akan sejarah yang panjang dan tokoh-tokoh hingga pahlawan yang seharusnya menjadi panutan, tapi sepertinya kesempatan mengkisahkan kembali sejarah, tokoh, dan pahlawan-pahlawan tersebut tidak dimanfaatkan baik oleh para sutradara film saat ini.

Film sangat berpengaruh terhadap budaya-budaya suatu bangsa. Masyarakat butuh hiburan, namun tidak semua hiburan dan film dapat dinikmati. Seperti seorang sutradara sibuk mencari artis yang rela bertelanjang untuk memproduksi film, bahkan seorang sutradara mengundang artis luar negeri yang rela melakukan keburukan di dalam adegan film. Film tersebut memang benar dikatakan sebagai hiburan, namun setelah menikmati film tersebut, dampak apa yang akan terjadi pada orang yang telah menyaksikan film itu? Tentu berbeda sekali dampak saat masyarakat ketika selesai menikmati film Tjoet Nja’ Dhien, secara batiniah akan timbul rasa nasionalisme yang amat besar bagi kalangan yang menikmatinya. Mencintai negara Indonesia dan pahlawan-pahlawan tentu akan timbul setelah menikmati film Tjoet Nja’ Dhien.

Film “nikmat” yang baik untuk penerus bangsa ini masih sangat minimum, seperti; Tjoet Nja’ Dhien (1986), Naga Bonar, Gie, dan Laskar Pelangi (2008) yang diadaptasi dari novel Andrea Hirata. Film-film tersebut menggugah rasa nasionalisme seperti terkandung dalam film Tjoet Nja’ Dhien dan meningkatkan semangat yang kuat untuk berpendidikan tinggi walaupun rakyat rendahan seperti kisah dalam film Laskar Pelangi.

***

Tidak dipungkiri lagi, para calon penerus bangsa atau calon pemimpin generasi akan datang belum tentu mengetahui sejarah dan perjuangan Tjoet Nja’ Dhien di masa lalu. Tjoet Nja’ Dhien adalah seorang wanita yang paling ditakuti oleh pemerintah Kolonial Belanda saat menjajah Indonesia. Dengan adanya film Tjoet Nja’ Dhien, tentunya akan bertambah pengetahuan untuk mengenali pahlawan dan sejarah perjuangannya. Tentunya film ini menyebabkan dampak positif.

Semoga dengan ulang tahun film Indonesia (30 Maret 2012), tentunya akan memunculkan film-film tokoh, pahlawan, dan sejarah yang sangat penting untuk generasi akan datang, tentunya para sutradara film menghasilkan film terbaik seperti Tjoet Nja’ Dhien agar generasi bangsa ini mengenali siapa saja pahlawan-pahlawan kemerdekaannya sampai anak cucu nanti. Semoga saja![]

 

Ramajani Sinaga, lahir di Raot Bosi, Sumatera Utara, 5 Oktober 1993. Mahasiswa semester dua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah Aceh. Beberapa karyanya telah dipublikasikan di surat kabar Medan dan Aceh.

 

 

VN:F [1.9.14_1148]
Rating: 10.0/10 (3 votes cast)
VN:F [1.9.14_1148]
Rating: +6 (from 6 votes)
Tjoet Nja’ Dhien, Kisah Epik Pahlawan Wanita Indonesia, 10.0 out of 10 based on 3 ratings

Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=4962