Beranda Opini Pengaturan Kos Buruk, Picu Seks Bebas Lingkungan Kampus

Pengaturan Kos Buruk, Picu Seks Bebas Lingkungan Kampus

BERBAGI

Oleh Nanda Najih Habibil Afif

Tidarumah kosank bisa dimungkiri, kos merupakan salah satu hal yang tidak bisa lepas dari mahasiswa, apalagi bagi mahasiswa rantau. Faktor inilah yang menjadi kesempatan bisnis bagi warga sekitar kampus untuk berlomba-lomba mendirikan rumah kos senyaman mungkin bagi mahasiswa dengan harga bersaing.
Umumnya, lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia masih terpusat di perkotaan, sehingga pertumbuhan jumlah kos pun didominasi di kota-kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Kontrol parental yang semakin berkurang saat remaja menyandang status mahasiswa serta kehidupan perguruan tinggi yang menekankan pada kesadaran individu membuat banyak mahasiswa terjerumus dalam ketidaksiapan pola kedewasaan yang menuntut mereka untuk menjaga diri secara mandiri, terutama dari sisi pergaulan.

Walaupun mahasiswa sudah diberikan bekal moral dan spiritual yang cukup kuat sejak berada dalam pengawasan keluarga, upaya-upaya tersebut menjadi sia-sia manakala pergaulan di lingkungan kampus memberikan peluang besar, bahkan “godaan-godaan” untuk membuat mahasiswa terjerumus. Sisi pergaulan adalah satu titik yang perlu dicermati oleh berbagai pihak di lingkungan kampus. Pasalnya, setiap kota pendidikan di Indonesia yang didominasi oleh kampus-kampus besar selalu identik dengan fenomena seks bebas. Faktor utama yang memicu adanya seks bebas di lingkungan kampus adalah buruknya pengaturan rumah kos.

Iklan Souvenir DETaK

Rumah kos di lingkungan kampus dinilai masih tergolong buruk dari segi pengaturan sistem. Sistem mixing gender atau pencampuran antara laki-laki dan perempuan dari setiap kamar-kamar kos secara nyata masih umum diterapkan oleh pemilik kos di kawasan kampus di Tanah Air. Ketiadaan batasan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap kos menimbulkan adanya peluang besar terjadinya tindakan asusila remaja berupa seks bebas. Seyogianya, walau pemilik kos menerima laki-laki dan perempuan untuk tinggal di rumah kosnya, setidaknya perlu adanya pembatas atau pemisah khusus antara kamar laki-laki dan perempuan. Minimal, antara kamar laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh ruang keluarga pemilik kos atau tingkat lantai. Namun kenyataannya, masih banyak rumah kos yang memberikan sistem bebas antara ruang kamar untuk mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Selain itu, hal yang perlu ditinjau kembali adalah sistem penerimaan tamu lawan gender dalam rumah kos yang masih tidak etis. Inilah salah satu yang paling pokok untuk dicermati, bahwa perihal pembatas area dan waktu kunjungan di rumah kos adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Masih sering dijumpai kasus mahasiswa yang seenaknya masuk ke kamar temannya yang berlawan jenis dengan dengan dalih mengerjakan tugas, atau keperluan lain yang dianggap penting. Begitupun dengan jam berkunjung yang tanpa batasan bagi lawan jenis. Semuanya menjadi pemicu munculnya seks bebas di lingkungan kampus, terutama di rumah kos yang menjadi pusat tempat tinggal mahasiswa pada umumnya. Adalah fenomena yang biasa dengan istilah “kos bergoyang” di kalangan mahasiswa untuk kawasan kos yang amat bebas dan menjadi tempat terjadinya seks bebas.

Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya manajemen yang didesain secara struktural. Bahkan pihak kampus dan aparat keamanan setempat perlu menyurvei sistem penataan rumah kos di lingkungan kampus. Perizinan rumah kos yang layak seyogianya diterapkan dan diatur sedemikian rupa untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terkait permasalahan seks bebas. Kesemuanya merupakan salah satu langkah untuk menjaga lingkungan kota pendidikan agar “benar-benar” menjadi kawasan pendidikan, bukan sarang masalah pergaulan dan degradasi moral yang lebih kompleks.[]

Nanda Najih Habibil Afif
Adalah Mahasiswa Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran (Unpad)

sumber: kampus.okezone.com