Beranda Buku Sepatu Dahlan, Antara Perjuangan dan Cita-cita

Sepatu Dahlan, Antara Perjuangan dan Cita-cita

BERBAGI

Fitria Anggraini | DETaK

(Foto: buntelanbuku.wordpress.com)

Judul buku : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Jumlah halaman : 392
Tahun : Cetakan I, Mei 2012

Kisah inspiratif seseorang yang dapat membawa pembacanya masuk ke dalam cerita tersebut tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi si pembaca. Apalagi ketika sebuah novel tidak hanya menyajikan sebuah cerita belaka, namun juga dapat memberikan inspirasi bagi pembaca. Hal ini yang kemudian memicu Khrisna Pabichara melahirkan sebuah karya ke-14nya, dalam sebuah novel inspiratif yang terinspirasi dari kehidupan semasa kecil dan remajanya seorang tokoh Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Iklan Souvenir DETaK

Novel yang memiliki alur maju mundur ini, dikisahkan dengan sangat ringan penuh makna kehidupan yang apa adanya. Seperti kata Dahlan Iskan dalam pembuka novel, “hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Cerita yang dituangkan dengan nuansa sastrawi oleh Khrisna Pabichara sangat menarik dari awal hingga akhir. Sehingga novel ini mampu membuat candu pembaca untuk terus membacanya hingga lembar terakhir.

Cerita yang diawali dengan peristiwa yang mengharuskan Dahlan Iskan melakukan operasi cangkok liver dibuat menegangkan oleh Khrisna Pabichara. Dengan bermodalkan doa, “Tuhan, terserah Engkau sajalah,” Dahlan menguatkan diri menjalankan operasi. Saat bius disuntikan, ia tidak benar-benar pingsan. Tubuh Dahlan serasa mengambang dan melayang-layang pergi ke sebuah kota tua tempat masa remajanya.

Di Kampung Kebon Dalem, kampung kecil dengan enam buah gubuk adalah tempat kelahiran Dahlan. Di kampung inilah Dahlan dididik oleh kerasnya kehidupan. Kebon dalem diberkahi tanah yang subur dan gembur sehingga padi dan palawija tumbuh dengan baik. Namun warga Kebon Dalem miskin termasuk keluarga Dahlan. Karena sebagian tanah yang ada di Kebon Dalem adalah milik tuan tanah, sedangkan warga kampung itu sendiri hanya pekerja saja.

Ketegasan sang Ayah, kelembutan Ibu, keceriaan adik kecilnya dan sahabat yang ia punya membuat Dahlan tidak pernah mengeluh dengan kemiskinan melekat pada dirinya. Ayah Dahlan sering berkata bahwa “kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan mematangkan jiwa.” Dari petuah bijak sang Ayah inilah yang memberi dorongan agar Dahlan terus berjuang. Berjuang menuntut ilmu, karena seperti kata Ustaz Ilham, bahwa kemiskinan bukan halangan untuk mereguk ilmu sebanyak mungkin. Serta berjuang keras meraih cita-cita terbesarnya untuk memilki sepatu dan sepeda. Dahlan kecil harus rela kakinya lecet-lecet akibat jalan berkilo-kilo meter menuju ke sekolah tanpa menggunakan alas kaki. Dahlan juga tidak tau bagaimana rasanya menggunakan sepatu.

Novel ini tidak hanya menceritakan mengenai bagaimana Dahlan meraih cita-cita terbesarnya, melainkan juga mengisahkan perjuangan hidup Dahlan. Mulai dari duduk di bangku pendidikan, di mana ketika tamat sekolah rakyat Dahlan ingin melanjutkan sekolah ke SMP Magetan, namun keinginannya ditentang oleh Ayahnya, salah satu alasannyanya adalah biaya. Ayahnya menyarankan agar Dahlan melanjutkan ke Tsanawiyah Takeran. Dahlan merasa sedih dan tidak terima dengan keputusan Ayahnya, Dahlan pun berniat ingin membohongi Ayahnya, agar keinginannya terwujud.

Dahlan juga melakukan banyak pekerjaan sepulang sekolah, dari mulai nguli nyeset, nguli nandur, ngangon domba sampai melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Bukan berarti Dahlan kehilangan kesenangan masa kecilnya. Novel ini juga memaparkan kisah Dahlan bersama sahabat-sahabatnya. Pengarang juga menyisisipkan kisah cinta Dahlan kepada seorang gadis, anak seorang mandor ladang tebu.

Kisah dalam novel ini menjadi lebih menegangkan lagi ketika Dahlan kehilangan Ibunya dan ditinggal kedua kakaknya yang harus kerja dan kuliah ditambah lagi sang Ayah yang sering pergi untuk mencari uang. Kesedihan makin terasa saat Dahlan harus siap manahan lapar bersama adiknya, hanya air yang dapat mereka minum.

Sosok Dahlan yang penulis kisahkan dalam novel ini tidak ditampilkan sebagai sosok yang sempurna, melainkan sama seperti anak-anak lain pada dasarnya, yang pastinya pernah melakukan kesalahan. Dahlan juga melakukan kenakalan-kenakalan layaknya anak-anak lain. Dalam novel diceritakan bahwa Dahlan mencuri tebu, membongkar lemari ayahnya agar bisa mendapat uang untuk membeli sepatu, memiliki nilai merah di raportnya. Teringat tulisan tangan Dahlan pada buku catatan hariannya ketika mendapat nilai merah. “Maaf, pak, Dahlan sudah mengecewakan bapak dengan dua angka merah. Dahlan sudah berusaha , tapi hasilnya seperti ini, pak. Dahlan masih boleh sekolah, kan?”

Setiap novel pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena keduanya saling mengikat seperti kata pribahasa, “di mana ada gula, pasti di situ ada semut”. Begitu juga dengan novel ini, ada kisah yang menarik tetapi tidak ditampilkan. Kisah pada saat Dahlan berhasil mendapatkan sepatu, tetapi Dahlan tetap nyeker sampil menenteng sepatunya agar sepatunya tetap awet. Hal ini diungkapkan Dahlan Iskan pada pengantar novel ini. Namun banyak hal-hal menarik yang dapat dijumpai ketika membaca novel ini. Pembaca pastinya akan kagum dengan kesungguhan yang dimiliki Dahlan, dan berusaha mendapatkan cita-citanya dengan hasil jerih upayanya sendiri.[]