Beranda Opini Pema, Antara Hitam dan Putih

Pema, Antara Hitam dan Putih

BERBAGI

Bentrok antarmahasiswa di Unsyiah terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Tragedi Jumat, (14/5) menjadi titik nadir dari amarah yang tersimpan selama ini. Sejarah bentrok antarmahasiswa di Unsyiah selalu saja melibatkan dua pihak yang bersebarangan ideologi dan keyakinan, antara kawan-kawan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang biasa disebut anak “musala” dengan kawan-kawan yang biasa disebut anak “kantin”, walau dua benda mati musala dan kantin tak pernah tahu mengapa namanya ditabalkan pada kelompok tersebut.

Melihat sejarah bentrok mahasiswa di Unsyiah (setidaknya selama saya kuliah) ini merupakan yang keempat kalinya yang melibatkan dua kelompok berseberangan tersebut. Pertama terjadi ketika ritual Ospek 2006 lalu di Fakultas Pertanian yang berujung pada penghancuran sekretariat UKM Mapala Fakultas Pertanian dan Caniva. Kejadian ini memunculkan sebuah sebutan kepada para penyerang, yaitu pasukan berjubah, karena para penyerang berlakon ba’da magrib tersebut menggunakan jubah untuk menutupi wajah agar tak dikenali. Bentrok ini terjadi karena alasan Ospek. Ada secuil perbedaan pendapat ketika para mahasiswa berebut kesempatan untuk menampakkan pengaruhnya di depan mahasiswa baru yang notabene masih lugu walucu.

Bentrok kedua terjadi ketika kawan-kawan yang tergabung dalam Front Mahasiswa Aceh (FMA) Tolak BHP melakukan aksi demontrasi menolak UU BHP di kampus Unsyiah pada penghujung tahun 2008. Ketika melewati kantor Pema Unsyiah (yang waktu itu presiden mahasiswa dijabat oleh Hendra Koswara) terjadilah bentrok fisik antarmassa FMA dengan pengurus Pema Unsyiah, konon, katanya Pema Unsyiah sebagai lembaga mahasiswa tertinggi menolak untuk melakukan aksi menolak UU BHP.

Iklan Souvenir DETaK

Ujung dari bentrok tersebut adalah ditangkapnya dua aktivis FMA oleh Polisi Polsek Syiah Kuala karena pengaduan dari kawan-kawan pengurus Pema Unsyiah, sehingga Rektorat Unsyiah putar otak untuk dapat mendamaikan kedua belah pihak. Walau damai kemudian tercapai dan dua aktivis FMA dapat dikeluarkan dari jeruji besi Polsek Syiah Kuala pada malam hari. Rupanya masalah tak berhenti di situ saja. Menjelang subuh, beberapa orang tak dikenal menyerang kantor BEM Fakultas Pertanian dan mengeroyok beberapa pengurus BEM yang sedang terlelap dibuai mimpi fajar. Para penyerang yang berbadan tinggi besar wakekar (setidaknya ini menurut pengakuan korban kepada penulis) ini memakai sebo agar wajahnya tidak dikenali, hingga kemudian tersebutlah kata-kata pesukan bersebo menjadi ikon bagi para penyerang dalam kegelapan. Istilah ini kemudian mengalahkan istilah pasukan berjubah yang sudah tenar sebelumnya ketika penyerangan ke sekretariat Mapala Caniva. Penyerangan di subuh buta ini kemudian menjadi urusan pihak kepolisian walau sampai sekarang belum ada hasil apa-apa dari kepolisian.

Bentrok ketiga terjadi ketika Pemira (Pemilihan Raya) Presiden Mahassiwa tahun 2009 lalu. Bentrok terjadi di tengah malam gelap di Biro Rektorat pada saat perhitungan suara hasil Pemira. Akibat bentrok dua kubu calon Presma ini didamaikan oleh Pembantu Rektor III Unsyiah, Bapak Rusli Yusuf, perdamaian yang berakhir ketika calon presiden dari kelompok musala, Mujibarrahman (Presiden Mahsiswa sekarang) menangis terisak di depan forum, dan konon katanya tangisan inilah yang mengantarkan Mujiburrahman menjadi Presiden Mahasiswa Unsyiah sekarang, mengalahkan calon lainnya yang tak mampu “bersandiwara” mengeluarkan air mata.

Tragedi Gelanggang Unsyiah 14 (14/5) merupakan bentrok yang terakhir antara dua kelompok ini, tragedi yang menyisakan amarah mendalam bagi kedua belah pihak ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Aceh. Pasalnya bentrok ini sempat memenuhi rubrik beberapa media lokal dan nasional. Tragedi ini juga yang sampai hari ini belum ada sebuah penyelesaian baik dari kedua belah pihak maupun dari Rektor Usnyiah sebagai pihak yang berkuasa terhadap segala sesuatu yang terjadi di Unsyiah.

Konflik Ideologis

Dari sejarah bentrok yang terjadi, setidaknya dapat kita ambil kesimpulan bahwa bentrok terjadi antara dua kubu yang sama dari dulu, tidak pernah melibatkan pihak lain. Dua kubu inilah yang selalu menghiasi setiap perhelatan dunia politik kampus, mulai dari pemilihan ketua BEM di tingkat Fakultas sampai dengan pemilihan Presiden Mahasiwa (Presma) di tingkat Universitas. Penulis berpendapat bahwa ideologi kedua kelompok ini tidak akan pernah ketemu, pihak musala (Anak-anak LDK, Fosma) mengklaim bahwa anak-anak kantin merupakan mahasiswa yang berpikiran liberal, komunis, bahkan sampai mengatakan atheis. Anak-anak kantin mengklaim bahwa anak-anak LDK merupakan orang-orang yang sok suci, sok baik, sok alim dan sok-sok lainnya, mereka juga mengklaim bahwa LDK dan Fosma merupakan underbow dari partai politik nasional PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang tidak bisa menerima perbedaan dalam beragama.

Dua kekuatan ideologis ini sedang bertarung dalam memperebutkan eksistensi di Unsyiah. Anak-anak musala sedikit berkuasa selama ini karena mereka menguasai Unit Program Pendamping Mata Kuliah Agama Islam (UP3AI) yang diberikan oleh Rektorat Unsyiah. UP3AI inilah yang selalu menjadi mesin politik bagi anak-anak musala untuk menarik mahasiswa baru yang masih bersih putih ideologinya. Sampai sekarang kelompok kantin selalu mencoba menggugat program yang digunakan untuk kepentingan politis ini.

Konflik ini (baik fisik maupun pikiran) adalah konflik hitam-putih dan sampai kapan pun tidak akan pernah bertemu dua ujung, karena pangkalnya selalu tegak untuk merobek pangkal yang lain. Konflik ini juga menyeret ke arah perebutan kekuasaan, dan barang siapa yang mendapatkan legalitas kekuasaan tertinggi Pema Unsyiah maka mereka akan sedikti di atas angin.

Konflik ideologis juga telah menyebabkan kerenggangan antara mahasiswa dengan pemimpin kampus Unsyiah dalam hal ini Rektor dan juga Dekan. Seorang tokoh mahasiswa lebih mendengarkan “seniornya” di luar kampus (yang bisa jadi tokoh politik) daripada Rektor Unsyiah yang merupakan orang tua di sebuah kampus. Dan tidak heran pula ketika Pema Unsyiah di bawah kepemimpinan Hendra Koeswara memilih melaporkan aktivis FMA ke polisi daripada menyerahkan penyelesaian masalah kepada rektorat. Potret yang sama terulang kembali ketika Mujiburrahman melaporkan puluhan mahasiswa Forum BEM dan UKM ke polisi karena diduga melakukan pengrusakan terhadap aset kampus (yang sebenarnya bukan haknya) daripada harus menunggu penyelesaian perdamaian yang dilakukan oleh rektorat Unsyiah.

Sejatinya rektorlah yang harus menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan bukannya Mujiburrahman sebagai mahasiswa menempelkan ek leumoe (taik lembu) ke muka rektor dan seluruh insan Unsyiah. Logikanya adalah, ketika sebuah piring beterbangan karena konflik dalam rumah tangga tak eloklah jika polisi turun tangan, sungguh sebuah sikap yang tidak menghargai orang tua di kampus jika jalan itu yang ditempuh.

Sejatinya membangun inteletual kampus dan juga budaya berpolitik yang santun harus melepaskan diri dari ideologi luar, karena kampus kita telah menciptakan ideologinya sendiri yaitu intelektualitas, kepedulian sosial dan juga kerakyatan, setidaknya itu yang diucapkan Sokarno ketika mengunjungi Darussalam puluhan tahun silam.

Perebutan Kekuasaan

Selain itu, ini juga menjadi catatan penting dalam tulisan ini, bahwa dalam tataran parktis konflik ideologis tersebut berwujud dalam perebutan kekuasan tertinggi mahasiswa di Unsyiah. Ini terus menjadi tujuan utama para kelompok yang bertikai untuk menyingkirkan yang lainnya dan ini merupakan sebuah ancaman besar yang selama ini kita sadari maupun tidak. Oleh karena itu harus ada sebuah reformasi dalam perpolitikan mahasiswa, harus ada sebuah terobosan yang kita buat bersama untuk menghindari ancaman ini, jika kita memang tak ingin konflik ideologis ini terus melahirkan bentrok fisik antarkelompok.

Penulis berpikir jika memang ancaman ini tidak bisa dihindari maka lebih baik bubarkan saja Pema atau kegiatan perpolitikan mahasiswa di tingkat universitas ditiadakan saja. Lebih baik semuanya diserahkan kepada mahasiswa di fakultas, karena kerenggangan dan potensi konflik di fakultas itu lebih kecil dan bahkan kekeluargaan di fakultas itu lebih hidup daripada di tingkat universitas. Karena kebersamaan itu selalu ada di fakultas, bukan di universitas apalagi di gelanggang mahasiswa yang tak seberapa lebar itu jika dibandingkan dengan 25.000 lebih mahasiswa Unsyiah. Dan selama saya melahap secuil pendidikan di Unsyiah, belum pernah mendengar ada konflik kepentingan di fakultas yang menyebabkan bentrok yang melibatkan kedua kubu ini, jika ada konflik kepentingan maka itu hanya konflik dalam sebuah forum dan kemudian cair kembali seperti biasa di luar forum.

Tragedi 14 (14/5) menjadi pelajaran bagi kita semua dan juga tamparan bagi semua intelektual Unsyiah yang selama ini sering bercuap-cuap di luar kampus, di forum-forum besar hotel berbintang. Kepada semua para profesor, doktor atau apalah gelarnya. Tragedi ini seperti ingin mengatakan kepada kita semua bahwa ada masalah besar dalam kehidupan mahasiswa di Unsyiah, maka benahi itu dulu jika memang ingin menjadikan Unsyiah sebagai jantoeng hate rakyat Aceh, bukan jantoeng pisang uteun.. !

Oleh: Muhajir