Redaksi detak-unsyiah.com menerima sumbangan tulisan dari mahasiswa atau kalangan umum. Setiap tulisan dapat dikirim ke email [email protected] dengan disertai identitas penulis. Terima Kasih
Darussalam- Presiden Gerakan Wirausaha Aceh (GWAch), Suparno, mengatakan bahwa masyarakat Aceh pascatsunami seperti dimanjakan oleh bantuan yang sangat berlimpah sehingga masyarakat Aceh seperti tertidur untuk melakukan usaha-usaha yang bermanfaat kedepannya.
Ia menjelaskan, pascatsunami Aceh 26 desember 2014 lalu, kurang dari enam bulan setelah tsunami, berbagai bantuan banyak masuk ke Aceh. Bantuan yang tersalur melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh tersebut bahkan menyentuh angka 100 triliun. Pada saat itu masyarakat Aceh sangat mudah mendapat dana maupun pekerjaan yang ditawarkan oleh Non-Government Organisation (NGO) dengan bayaran yang tinggi.
“Akan tetapi hal itu sedikit me-ninabobok-kan kita,” ungkap Suparno dalam Seminar Kewirausahaan di Fakultas Ekonomi Unsyiah, Rabu, 26 Februari 2014.
Namun imbasnya, menurut Suparno, saat NGO maupun BRR tidak ada lagi di Aceh saat ini, aktivitas perekonomian Aceh turun drastis, dikarenakan ketergantungan masyarakat Aceh terhadap kedua lembaga tersebut.
Suparno menambahkan bahwa GWAch didirikan atas keprihatinannya terhadap Aceh. “GWAch hadir untuk mengajak masyarakat dan mahasiswa agar berani berwirausaha, dengan tidak selalu bergantung pada bantuan maupun pemerintah,” katanya.
Ia juga berharap, khususnya bagi mahasiswa, untuk dapat memupuk motivasi berwirausaha sejak kuliah. “Sejak dari kampus mulailah ide-ide untuk berusaha,” tutupnya. []
Redaksi detak-unsyiah.com menerima sumbangan tulisan dari mahasiswa atau kalangan umum. Setiap tulisan dapat dikirim ke email [email protected] dengan disertai identitas penulis. Terima Kasih
GWAch: Bantuan Pascatsunami Ninabobokkan Aceh
Tajul Ula | DETaK
Tajul Ula | DETaK
Darussalam- Presiden Gerakan Wirausaha Aceh (GWAch), Suparno, mengatakan bahwa masyarakat Aceh pascatsunami seperti dimanjakan oleh bantuan yang sangat berlimpah sehingga masyarakat Aceh seperti tertidur untuk melakukan usaha-usaha yang bermanfaat kedepannya.
Ia menjelaskan, pascatsunami Aceh 26 desember 2014 lalu, kurang dari enam bulan setelah tsunami, berbagai bantuan banyak masuk ke Aceh. Bantuan yang tersalur melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh tersebut bahkan menyentuh angka 100 triliun. Pada saat itu masyarakat Aceh sangat mudah mendapat dana maupun pekerjaan yang ditawarkan oleh Non-Government Organisation (NGO) dengan bayaran yang tinggi.
“Akan tetapi hal itu sedikit me-ninabobok-kan kita,” ungkap Suparno dalam Seminar Kewirausahaan di Fakultas Ekonomi Unsyiah, Rabu, 26 Februari 2014.
Namun imbasnya, menurut Suparno, saat NGO maupun BRR tidak ada lagi di Aceh saat ini, aktivitas perekonomian Aceh turun drastis, dikarenakan ketergantungan masyarakat Aceh terhadap kedua lembaga tersebut.
Suparno menambahkan bahwa GWAch didirikan atas keprihatinannya terhadap Aceh. “GWAch hadir untuk mengajak masyarakat dan mahasiswa agar berani berwirausaha, dengan tidak selalu bergantung pada bantuan maupun pemerintah,” katanya.
Ia juga berharap, khususnya bagi mahasiswa, untuk dapat memupuk motivasi berwirausaha sejak kuliah. “Sejak dari kampus mulailah ide-ide untuk berusaha,” tutupnya. []
Editor: Hilda Rahmazani
Related posts
» Antara FISIP dan RKU?
» Pererat Silaturrahmi Mahasiswa Melalui COPA DE FISIP
» Mental dan Prilaku Aparatur Pemerintahan Aceh
» Kekerasan dan Intimidasi “Lagu Lama”
» HIMA BK Adakan Ragam Lomba di Peringatan Maulid
» Adakan Lustrum Perdana