Sayed Jamaluddin | DETaK
Banda Aceh – Forum Alumni Muharram Journalism Collage (FAMJC) memutar film garapan P. Ramlee, sutradara legendaris Malaysia, di sekolah MJC-AJI Banda Aceh, Senin, (21/1/2013) malam tadi. Pemutaran serta diskusi tersebut menghadirkan Mansor bin Puteh, pekerja film dan penulis asal Malaysia.
Kenapa film P.Ramlee? Salman Mardira, Sekretaris Jenderal FAMJC menyebutkan, antara sang sutradara, Aceh dan melayu tidak jauh. P. Ramlee yang mempunyai nama lengkap Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh lahir dari seorang ayah asal Lhokseumawe, Aceh.
“Kita mencoba mengaitkan antara pelaku film zaman sekarang dengan film-film melayu masa lalu. Dimana di Malaysia itu ada sosok legendaris yang memang putra dari orang Aceh. Tentu ada kaitan antara Aceh, Malaysia dan kebudayaan kebudayaan melayu di nusantara. Kita sama-sama satu rumpun,” kata Salman.
Salman menambahkan, sebuah kehormatan, Mansor Puteh bisa hadir ditengah-tengah mereka. Apalagi, ini merupakan kelas diskusi perfilman lintas internasional pertama yang digelar FAMJC, bahkan untuk pertama di Aceh tahun 2013 ini. Rencananya FAMJC akan rutin menggelar diskusi dan pemutaran film di sekolah MJC. “Kita buat semacam bioskop, yaitu clinic film.”
Sedangkan Mansor berpendapat, kebudayaan melayu, khususnya Malaysia tak lepas dari peranan Aceh. “Kita tidak hanya mengkaji dari film, melayu di malaka itu mungkin tidak menjadi islam tanpa ada adanya Aceh. Masuknya melalui Aceh dan kenapa kita orang melayu tidak memfilm-kan kisah heroik itu?” Tanya Mansor bin Puteh.
“Filmnya P.Ramlee di Malaysia kan juga sangat maju. Dan P.Ramlee itu orang Aceh.”
Kancah perfilman melayu memang dikuasai oleh pasarnya Hollywood dan Bollywood. Padahal, menurut Mansor, film Bollywood merupakan adaptasi negeri arab pra islam masa nabi Muhammad, yaitu zaman jahiliyah. Dimana, perempuan-perempuan menari dengan pakaian minim di depan ka’bah, tempat suci orang islam. “Sekarang kita semua tonton film itu,” kata Mansor bin Puteh.
Ia juga menyayangkan pengaruh film Hollywood di melayu nusantara yang begitu kental. Dimana, Mansor menilai film tersebut berhasil mempengaruhi otak anak muda di melayu, bahkan di Malaysia dan Indonesia. “Padahal, kalau kita kaji, film mereka tidak lebih dari propaganda.”
Ia memberi contoh Amerika yang banyak mengisahkan kisah heroik seorang korban penculikan. Hal tersebut, ketika difilmkan berhasil menarik simpati para penonton.
“Padahal dalam dunia melayu dan islam banyak kisah heroik yang sangat patut kita bikin. Misal palestina, kalau itu kisah kita filmkan, luar biasa. membesarkan sebuah negara ya dengan film, tidak bisa dengan batu,” ujar mansur memberi kiasan.
Bangsa melayu dinilainya mempunyai sebuah kelemahan, dimana membanggakan kejayaan orang lain, dan sering melihat kejayaan diri sendiri sebagai suatu hal yang biasa. Padahal, sebut Mansor, tugas bersama memajukan bangsa, dalam hal ini perfilman melayu.
Karenanya, ia bersama beberapa pengkaji sinema melayu mencanangkan sebuah perkumpulan berbentuk sinema malayu nusantara sebagai pusat untuk mengembangkan film-film melayu.
“Kita harus bersama-sama saling mendukung. Ini bukan hanya film Malaysia, atau Indonesia, tapi ini filmnya kita orang melayu. Dengan begitu kita sudah mencoba. Untuk pemerintah selaku orang yang punya kepentingan harus mendukung.”
Rencana terbitkan buku
Mansor Puteh yang juga pernah membuat pesta film melayu di Manila, London, dan Iran ini berencana menerbitkan 60 judul buku dalam bahasa melayu dan bahasa inggris secara serentak. Sebagian besar diantaranya adalah novel, yang lima buah berlatar Indonesia, yaitu Bunga Raya di TIM (Jakarta), di Malioboro Yogyakarta, Medan, Ubud di Bali, dan sebuah novel dengan latar Aceh.
Ia akan menjadi penulis Malaysia pertama yang menuliskan novel latar seting Indonesia. “Ini akan menciptakan rekor dunia,” ujarnya. Buku tersebut lahir dari perjalanan panjangnya selama 30 tahin mengarungi 35 negara.[]