Beranda Cerpen Old School Classic

Old School Classic

Old School Classic (Buhari Hapiansyah | DETaK)

Cerpen | DETaK

“Haiii, ketemuan yuk!”

Sebuah notifikasi pesan dari Whatssap-ku, dari seseorang dengan ID “Lelaki Jantan”. Sungguh ID yang ambigu, aku pun membalas notif tersebut dengan pesan “Yuksss”. Kemudian aku bergegas menemui si Lelaki Jantan. Aku bangkit dari ranjangku yang nyaman, karena tidur adalah kenyamanan, “Hahahaha,” candaku dalam hati.

IKLAN
loading...


Hari itu menunjukkan pukul 11.00 siang, sungguh hari yang panas. Seketika ada bisikan yang berbisik, “sudah kamu tidak usah menemui si Lelaki Jantan, nanti kulit kamu hitam”

“Cuihhh!” pikirku dalam otak.

“Emangnya gua wanita,” lanjutku dalam hati.

Aku langsung menuju sebuah pintu yang terbuat dari emas (cat kuning maksudnya), yang tidak lain dan tidak bukan adalah pintu rumahku. Aku pun memegang gagangnya, membuatnya menurun sekitar 45 derajat ke bawah. Pintu pun terbuka. Ketika pintu terbuka, aku melihat ada suatu benda yang bercahaya di bawah terik sinar mentari, di mana cahaya tersebut langsung menusuk mataku, ibarat tembakan sniper yang menembak ke mata ‘Headshoot’.

Aku pun mengucek mataku untuk melihat lebih jelas apa yang bercahaya tersebut. Ketika aku mengucek-ngucek mataku, aku melihat ada bintik hitam di benda tersebut. Karena aku begitu penasaran, terpaksa aku menempelkan tanganku di sekitaran kulit area mata untuk membuka mataku lebar-lebar, dan itu merupakan mata terlebar yang pernah kubuka. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sebuah tulisan pada benda yang membuatku penasaran tadi, tulisan tersebut ialah… Jeng, jeng, jeng! “SWALLLOW”.

Iya, benda tersebut merupakan sandal Swallow yang merupakan sandal favoritku, karena bentuknya yang klasik, simple, dan warnanya yang tidak terlalu lebay. Tanpa berlama-lama aku pun langsung meletakkan kakiku yang indah ini di atas sandal tersebut. Saat berada di pangkuan Swallow, kakiku bergumam sendiri dengan mengatakan, “ini merupakan suatu kenyamanan, pengganti rebahan dan juga hobiku yaitu makan.”

“Hahaha,” ucap dirinya sendiri.

“Ribut kali kau!” saut tangan yang sudah mulai menghitam dan terlanjur emosi akibat teriknya mentari.

Aku pun langsung pergi menemui si Lelaki Jantan yang mengajakku ketemuan tadi. Melewati sinar mentari yang begitu terik, rumah demi rumah, langkah demi langkah dan disambut dengan butiran air yang menurun dari atas ke bawah (keringat), tak lupa Swallow yang membuat kakiku nyaman. Tak terasa aku sudah berjalan sekitar 500 meter dari rumahku. Ketika itu dengan saut angin sepoi-sepoi yang tidak terasa, aku mendengar suara seorang pria memanggil.

“Haloooooo!” sapanya.

Ketika aku menoleh, aku melihat ternyata ia adalah si Lelaki Jantan tadi. Aku pun membalas sapaannya, “Haloo juga.”

Aku memasuki rumah si Lelaki Jantan itu. Aku harus rela melepas sandal Swallowku yang indah ini dan langsung naik ke teras rumah si Lelaki jantan. Tak lupa aku bersalaman dengan beliau. Iya, beliau atau si Lelaki Jantan merupakan seorang lelaki yang sudah berumur 64 tahun bernama Sumardi Kartono atau biasa dipanggil dengan Opung Dian, ia merupakan seorang lelaki Jawa kelahiran Sumatera atau biasa dikenal dengan (Pujakesuma).

Di dalam masyarakat kampung ini, Opung Dian biasa dikenal sebagai kakek gaul, karena ia sangat aktif bermain media sosial. Di mana awal mula ia bermain media sosial ialah ketika dirinya sudah pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di medsosnya ia selalu meng-upload koleksi motor-motor klasik yang ia punya. Akan tetapi yang paling menarik perhatian orang dari beberapa motnor klasiknya ialah, motor Astreanya yang ciamik.

Dengan balutan warna biru ditambah dengan lapisan mesin krom di luar body motornya, serta adanya keranjang di motor tersebut, terlebih kereta tersebut selalu dirawat dan dibersihkan. Motor Astreanya tersebut dikenal juga dengan sebutan si Biru Awan, karena tampilannya yang bersih dan cerah bagaikan awan.

Itulah yang membuat media sosialnya selalu ramai terlebih lagi oleh para penikmat motor klasik. Selain motor Astrea, di garasi rumahnya juga terdapat beberapa motor klasik seperti Rx King 1994, Vespa 1960, Win 100, dan juga Suzuki RGR 150. Bisa dikataan Opung Dian ini di saat memasuki masa pensiunnya masih memiliki usaha sampingan yakni jual beli motor klasik.

Iu jugalah yang menjadi alasanku datang untuk menemui Opung Dian, untuk berbicara seputar motor klasik. Karena Opung Dian ini merupakan temanku di dalam bincang-bincang mengenai dunia motor klasik, terlebih kami berdua merupakan pecinta motor klasik. Selain itu, aku juga terkadang membantu Opung Dian untuk melakukan penjualan motor klasik tersebut, bersama dengan anak Opung Dian yang sudah berusia 30 tahun bernama Susanti.

Bagi yang belum tau, namaku Anto, panjangnya Anto Lubis. Aku seorang remaja yang sudah berumur 17 tahun. Aku merupakan pecinta motor klasik dan juga sandal Swallow sekaligus kolektor Swallow (karena mamakku jualan Swallow di kedai samping rumah), aku memang biasa main ke rumah Opung Dian, untuk ngobrol sebagai sesama pecinta motor klasik.

Opung Dian pun membawaku ke teras belakang rumahnya dan mempersilahkanku duduk di lantai teras belakang yang berhadapan dengan pohon mangga. Menambah sejuk di saat hari sudah panas, ditambah dengan pemandangan sawah nan hijau yang terbentang luas di belakang rumah Opung Dian, ditemani oleh awan biru serta langit yang cerah membuat kesan ciamik akan indahnya suasana siang waktu itu. Tak luput juga Honda Astrea yang menatap kami selagi berbincang di siang hari.

Ditemani teh hangat yang sudah diantar oleh Kak Susanti serta kacang rebus sisa semalam, aku dan Opung Dian pun mulai berbincang mengenai suatu hal yang klasik yaitu motor klasik. Mulai dari berbincang mengenai knalpot kolong Rx King yang ingin diganti oleh opung Dian, lampu Vespa yang mati, hingga bagaimana membersihkan karburator King yang sudah kotor hingga membuat mesinnya mampet. Sampailah kami pada topik mengenai Astrea yang sudah ditawarkan orang untuk dibeli, dengan pemandangan Astrea yang menatap kami seolah tak mau berpaling.

Sembari berbincang-bincang mengenai hal yang klasik tersebut, ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang menambah kesan sejuk di siang tersebut, aku melihat bahwa sandal Swallowku sudah tak berada di tempatnya lagi!!!! Aku pun bangkit diliputi kepanikan untuk mencari kemana hilangnya sandal Swallowku tersebut. Yang mungkin berada di sekitaran rumah Opung Dian.

Selagi mencari-cari sandal tersebut, aku berpapasan dengan Kak Susanti di samping kanan rumah sembari bertanya mengenai sandalku yang hilang.

“Kak, tadi ada nampak sandal swallowku?” tanyaku.

“Tidak, emang kenapa? Hilang ya?” Kak Susanti balik bertanya.

“Iya, Kak,” jawabku.

“Emang kamu tadi memakai sandal swallow ke sini, ya?”

“Iya, Kak.” Sembari bingung dengan jawaban Kak Susanti tersebut.

“Ohh, Kakak kurang tau juga sihh, karena tadi Kakak tidak melihat sandal swallow lain selain sandal swallow punya Kakak yang sedang Kakak pake ini,” jawab kak Susanti.

“Ooo, okedeh, Kak,” balasku sembari melihat sandal swallow yang dipakai oleh kak Susanti.

Di saat kak susanti mulai berjalan meninggalkanku, aku melihat bahwasanya sandal swallow yang dipakai oleh Kak Susanti sangat mirip dengan sandal swallow milikku, karena adanya tanda “A” yang terbuat dari tip ex di lapisan hitam sandal swallow tersebut. Karena hal tersebut, aku curiga bahwa sandal swallow kesayanganku telah dicuri oleh kak Susanti.

Karena pencarian di sekitaran rumah Opung Dian tak berhasil, aku pun terpaksa pulang sambil nyeker ke rumah. Sesampainya di rumah, ibuku pun berkata, “Kemana sandal swallow yang kamu pake tadi?”

“Hilang tadi di rumah Opung Dian, Bu.”

“Kok bisa hilang?” tanya Ibu.

“Aku pun kurang tau, Bu. Tetapi ada yang aneh sih.”

“Apanya yang aneh?”

“Sandalnya hilang dan sudah saya cari di sekitaran rumah Opung dian dan gak ketemu.”

“Terus?”

“Tapi aku melihat bahwa sandal yang dipake Kak Susanti sangat mirip dengan punyaku, Bu.”

“Lalu kamu sudah tanya Kak Susanti tentang swallow yang ia pake tersebut?”

“Sudah, Bu, tapi ia berkata bahwa sandal yang ia pake merupakan sandal swallow miliknya, Bu.”

“Kalau begitu coba kamu pastiin lagi deh, mana tau sandal yang ia pake tersebut merupakan sandal kamu.”

“Baik, Bu.”

Mendengar kata tersebut aku pun langsung pergi ke rumah Opung Dian kembali untuk memastikan bahwa sandal swallowku masih berada di tempat tersebut. Sesampainya aku di rumah tersebut, aku mendapati Opung Dian sudah berdiri tegap di depan pintu rumahnya dengan wajah memerah bagaikan harimau yang siap untuk menangkap mangsanya.
Dengan perasaan marah Opung Dian pun berteriak kepadaku.

“Kenapa kamu mencuri Astreaku?!!!”

“Mencuri apanya, Pung?” tanyaku terheran-heran.

“Ngaku kau!” teriak Opung Dian dengan marah.

“Ngaku apanya, Pung?” tanyaku kembali, masih heran.

“Tadi anakku Susanti melihat kamu membawa Astreaku diam-diam saat aku tadi masuk ke rumah untuk mengambil nasi!” Teriak Opung Dian lagi.

“Lho, itu fitnah, Pung. Orang tadi aku pulang gak ada bawa apa-apa, kok,” jawabku yang merasa difitnah. “Justru sandal swallow kesayanganku yang hilang tadi di sini, Pung” lanjutku kembali dengan sedikit berteriak.

“Betul kau?” tanya Opung Dian.

“Betul, Pung,” jawabku.

Mendengar jawabanku, Opung Dian pun memanggil Kak Susanti untuk menjelaskan apa yang terjadi. Kak Susanti pun datang dan menjelaskan dengan tenang.

“Iya, tadi aku melihat bahwa Anto membawa Astrea Opung, bahkan dia pun mengaku-ngaku bahwa sandal swallowku merupakan swallow kesayangan dia, Pung,” jelas Kak Susanti.

“Itu fitnah, Pung,” jawabku dengan perasaan kesal sekaligus marah.

“Tadi swallowku hilang di rumah Opung, terus aku mencari-cari tapi gak ketemu dan aku gak ada bilang kok bahwa sandal swallow yang dipake Kak Susanti merupakan sandal swallowku, Pung,” jawabku memberi penjelasan.

“Bohong dia tu, Pung,” tuduh Kak Susanti.

“Bohong apanya?” bantahku.

“Mengada-ngada ceritanya itu, Pung,” sahut Kak Suanti.

Karena darahku sudah mendidih sejak awal dengan fitnah tersebut ditambah lagi perkataan Kak Susanti yang begitu mengompori, perasaan marahku pun bertambah semakin menggebu-gebu ibaratkan bom atom yang ingin meledak. Dengan perasaan marah yang tak terbendung lagi, aku berjalan lima langkah dan berhadapan dengan Kak Susanti. Kuletakkan tanganku di rambutnya lalu menarik lurus dengan cengkraman yang begitu erat, Kak Susanti pun berteriak kesakitan.

Melihat hal tersebut Opung Dian langsung marah. Layaknya singa yang ingin memakan mangsanya, ia langsung mendorongku dan meninjuku dengan tepat di bagian hidung. Hidungku tidak berdarah tetapi memerah, akan tetapi bukan merah merona bahagia yang didapat melainkan rasa sakit yang luar biasa dari cengkraman singa yang sudah memakan mangsanya.

Aku langsung bangkit untuk membalas. Ketika akan membalas, Kak Susanti menahan tanganku dengan kekuatan penuh yang ia bisa. Ia pun meninju perutku, seketika aku terjatuh, dalam hati aku berkata, “Pandai juga cewek ini meninju orang.” Biarpun rasa sakit sudah kurasakan di bagian hidung dan perut dari dua orang yang memiliki hubungan darah yang sama, aku tidak menyerah begitu saja. Aku pun mulai bangkit kembali untuk membalas rasa sakit yang mereka buat.

Ketika aku mulai bangkit kembali untuk membalas serangan mereka berdua, aku melihat Opung Dian mengambil sebuah kayu yang dilapisi dengan paku yang sudah sangat berkarat. Melihat hal tersebut, aku pun mengambil ancang-ancang sembari menatap Opung Dian dengan penuh harap, berharap ia tidak memukulkan kayu yang dilapisi paku tersebut kepadaku.

Akan tetapi dengan tatapan tajam setajam pisau silet, nampaknya Opung Dian tidak peduli dengan tatapan harapku tersebut, tanpa sadar dari belakang Kak Susanti sudah menahan dua tanganku. Dengan mengayun-ayunkan kayu tersebut sembari mengumpulkan kekuatan penuh, Opung Dian tanpa ragu memukulkan kayu yang dilapisi paku tersebut tepat di kepalaku. “Sssskkkkkkk” bunyi sebuah suara, aku pun terbangun sembari melihat Opung Dian yang membersihkan telingaku menggunakan lidi yang ia dapat dari sapu lidi di rumahnya. Ternyata semuanya itu hanyalah “mimpi”.

Rupanya tadi sembari berbincang dengan Opung Dian di lantai teras belakang rumahnya tanpa sadar aku tertidur. Karena melihatku tertidur, Opung Dian pun mengangkat tikar dari dalam rumahnya dan membentangkannya seraya mengangkatku ke tikar tersebut. Karena Opung Dian merupakan kakekku dan ibuku merupakan anak Opung Dian, aku sudah terbiasa bermain di rumah Opung untuk berbicara mengenai suatu hal yang klasik. Sembari menikmati suguhan cemilan yang biasanya disediakan oleh Kak Susanti dengan memandang sawah nan luas, ditemani oleh suguhan langit yang cerah juga terkadang muncul hujan yang tak terduga.

Setelah aku bangun dari tidurku, tak lama berselang azan Dzuhur berkumandang. Aku dan Opung pun langsung bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Dzuhur berjamaah. Sembari berjalan keluar rumah dengan memakai swallow kesayangan dan berangkat menggunakan Astrea kesayangan Opung. Kami berangkat sambil bercerita mengenai mimpiku tadi kepada Opung yang membuat Opung tertawa terbahak-bahak. Hari itu merupakan sebuah kenangan akan suatu hal yang klasik yang ada.

-Tamat-

Penulis bernama Buhari Hapiansyah, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Syiah Kuala. Ia juga aktif sebagai kru DETaK TV di UKM Pers DETaK.

Editor: Della Novia Sandra