Beranda Cerpen Bayar Zakat Fitrah Tak Harus ke Masjid

[DETaR] Bayar Zakat Fitrah Tak Harus ke Masjid

Ilustrasi. (Hanifah Safitri/DETaK)

Uswah Zilhaya | DETaK

Spanduk ajakan bayar zakat mulai dipasang di tepi halaman Masjid Kampung Pauh. Pengurus masjid tampak sibuk mengatur meja, kotak-kotak, dan keranjang. Beberapa orang juga terlibat, kalau dilihat-lihat sepertinya mereka panitia zakat tahun ini. Meja kayu diletakkan di depan kursi yang sudah disusun terlebih dahulu dan tak lupa beberapa lembar map biru di atasnya. Bapak berjanggut lebat mengecek air keran cuci tangan. Ia menunjukkan jempal kanannya, aman. Persiapan selesai.

Lamunanku pecah oleh tepukan Ahmad, kawan samping rumahku. Enam tahun lalu ia pindah ke kampungku, sejak itulah kami berteman.

IKLAN
loading...


“Zam, jangan melamun terus, nanti kesurupan baru tau rasa, mending kita nyari takjil,wess mantap,” seru Ahmad. Aku menjawab antusias.

Sore Ramadan memang indah, banyak yang membuka lapak sekadar menjual takjil. Hiruk-pikuk pedagang tidak seperti pasar kota. Ya, mengingat perut udah keroncongan, tenaga pun enggan untuk berpartisipasi. Jalanan belum terlalu padat, mungkin karena masih jam lima sore.  Kami mengayuh sepeda pelan-pelan, takut ada takjil enak yang terlewatkan. Walau sebenarnya perhatian kami sudah pecah oleh percakapan yang kian-kemari.

Aku menghentikan sepeda, perhatianku tertuju ke masjid berwarna hijau pudar berpagar sederhana. Tidak ada kesibukan seperti yang aku lihat di masjid tadi. Sepi, tidak ada kursi tersusun dan spandung terpasang. “Ah sudahlah, mungkin besok,” pikirku. Tapi sedikir rasa penasaran mengganggu pikiranku. Ini sudah hari ke-27 Ramadan, dan Idul Fitri tak lama lagi. Aku menepis pikiran tadi dan mengejar Ahmad yang sudah duluan.

Hari yang baru dimulai, ini Ramadan ke-28. Bangun kesiangan seakan hampir menjadi kebiasaan.

“Eh, udah bangun Zam,” Sapa ibu.

“Wah, tumben gak jam 10?”Ejek Kak Lais. Kakak kandungku.

Ibu tampak sibuk memasukkan beras ke kantung plastik. Dua kantung sudah diikat. Meski berumur 10 tahun, aku tau tujuan dari kantung beras itu. Ya, bayar zakat. Aku ingat kata alharhum bapak, kalau zakat itu bagusnya dibayar pas mau habis lebaran, sekitar lima hari terakhir. Biasanya kami menyerahkannya ke masjid depan rumah. Tapi, aku tidak tau apa alasannya.

Aku teringat masjid kemarin, yang tidak sibuk menyiapkan penerimaan zakat.

“Bu, kok masjid tepi jalan sana ga merima zakat?” ujarku membuka percakapan.

“Mesjid mana?” tanya ibu sembari memasukkan beras.

“Itu loh bu, masjid ijo dekat jualan takjil.”

Ibu menjelaskan, kalau tidak semua masjid yang menerima orang-orang yang membayar zakat. Orang-orang langsung membayar ke orang yang berhak menerimanya. Penduduknya akan mencari orang yang berhak menerima zakat. Aku ga terlalu paham dengan penjelasan ibu, sebab aku pikir membayar zakat itu ke masjid.

“Trus, misalnya kalau salah ngasih orang gimana Bu? Kan bisa aja orang ngasal-ngasal ngasih,” jawabku, belum mengerti.

“Zakat itu lebih utama diberikan kepada keluarga yang kurang mampu, jadi waktu lebaran ga ada orang yang kekurangan. Jadi, kalau kita rasanya punya keluarga yang kurang mampu kita bisa beri ke mereka”, lanjut ibu.

“Lah, kok kita ngasih beras sih Bu? Kenapa ga uang aja? Kan lebih….”

“Bermanfaat?, Maksud kamu itu?” tangkas ibu. Aku mengangguk pelan.

Diam beberapa detik, ibu melanjutkan penjelasannya. Ibu menjelaskan bahwa beras itu sesuai dengan ajaran Islam. Ketika orang memeberikan uang, bukan berarti itu salah. Namun, uang yang diberikan itu seharga dengan beras. Ibu hanya ingin mengikuti ajaran Islam, sebab kata ibu, ia tidak terlalu paham masalah agama. Jadi, ibu mengikut cermah ustad di masjid depan.

“Lagi pula, pihak masjid sudah tahu kepada siapa beras dan zakat kita kan disalurkan. Jadi, ya, ibu sebaiknya kasih lewat masjid aja,” Jelas ibu.

Siang itu aku ikut dengan ibu mengantar beras. Ini pertama kali bagiku. Biasanya ibu pergi ditemani Kak Lais, tapi kali ini aku bersikeras ikut. Benar, tidak hanya beras yang diberikan tapi ada sejumlah uang yang diberikan. Dan setumpuk map biru yang aku lihat kemaren berisi data yang berhak menerima zakat. Ada tiga map biru dan satu map merah, aku tak tahu isi map itu.

Pengurus masjidnya sempat mengatakan bahwa tujuan dicatata penerima zakat ini adalah agar penyebaran zakat ini merata, terkadang ada orang yang berhak menerima zakat tapi ia tidak diberi zakat. Salah satu hikmah zakat diberikan secara langsung adalah mempererat tali silaturrahmi dan membantu keluarga yang kurang mampu. Aku tersenyum, zakat fitrah ini unik. Islam punya pandangan yang luas terhadap kelangsungan umatnya.[]

#30HariBercerita